Rabu, 26 Agustus 2015

Pemuda Tinggi

Hallo pemuda Tinggi.
Senang bisa bertemu denganmu.
Masih ingat saat kita pertama kali bertemu pada bazaar ramadhan sore itu. Yups, ibu yang memperkenalkan kita. lebih tepatnya memperkenalkan kepada semua teman-temanmu juga.
Masker yang menutup gidung dan sebagian wajahmu hingga hanya tersisa sorot mata yang bersinar meski harus mendongak untuk melihatnya. Kamu satu-satunya pemuda dalam kelompok kece itu.
Kalau tidak salah ingat, kamu pakai kaos merah saat itu. Sekitar satu minggu sebelum lebaran.
Senang sekali rasanya bertemu pemuda tinggi sepertimu. Lagi-lagi karena kamu anak pertanian. Namun seminggu setelah itu ibu bilang kalau kamu dan teman-temanmu sudah pulang ke daerah masing-masing, dan baru akan kembali setelah lebaran.
Meskipun lebaran datang di tanggal 17 Juli, namun aku baru sempat melihatmu lagi tanggal 17 Agustus. Cukup lama karena sebulan tidak melihat pemuda tinggi sepertimu.
Eits, maaf kak. Aku mencuri fotomu. Sengaja aku buat DP BBM agar orang-orang menganggap kamu pemudaku. Dan rasanya senang sekali saat ada orang lain yang menilai kamu kece seperti penilaianku.
Waktu itu aku belum mengetahui namamu. Sempat aku tanyakan pada ibu, namun ibu tidak menjawabnya. Sedikit kecewa memang, namun aku tidak berani bertanya lebih tentangmu. Takut-takut ibu balas memberikan segudang pertanyaan yang susah terjawab.
Tanggal 24 Agustus aku sengaja membatalkan acara nontonku karena ingin melihatmu. Dan disitulah aku mengetahui siapa namamu. Ah… sebenarnya ada rasa penyesalan sedikit. Kenapa aku tidak bertanya dari dulu kepada Dinda. Dinda tau lebih banyak tentangmu. Dan dari Dinda lah aku tahu namamu “Akbar” sebelum akhirnya kamu memperkenalkan dirimu sendiri.
Senangnya bisa duduk dibelakangmu. Menikmati potretmu dari belakang, namun kekecewaan akhirnya hadir lagi saat ibu bilang kamu harus sudah pulang tanggal 31 Agustus nanti. Kenapa cepat sekali? Bahkan sebelum aku mengenalmu lebih jauh lagi kak.
26 Agustus, aku sudah mengatakan beberapa kali bahwa pemuda dengan kaos/baju/kemeja hitam itu terlihat gimanaa gitu, kesannya itu… Beda . Aku melihatmu menyeberang jalan dengan kaos hitam. Seketika rasanya meleleh sore itu. Sebelum akhirnya Dinda yang duduk dibelakangku mengatakan bahwa kamu akan pulang besok. Bukannya ibu bilang tanggal 31, kenapa sekarang semakin cepat.
Mungkin sore itu terakhir kalinya aku bisa melihatmu kak, sosok pemuda tinggi yang memiliki simpati meski hanya sorotan mata yang terlihat. Namun ternyata bukan sore di tanggal 26 Agustus terakhirku melihatmu, namun siang di tanggal 27 Agustus. Saat kamu dan teman-temanmu berkunjung ke rumah budheku. Yups… inilah hari terakhir aku melihatmu kak.
Andai aku mengenalmu lebih awal lagi, kapan lagi aku bisa melihat sosokmu selain dari foto hasil curian beberapa minggu lalu itu. 

Good bye kamu, pemuda tinggi.
Cepat buat laporan, cepat menyelesaikan study, cepat skripsi, cepat wisuda :D 

Sabtu, 15 Agustus 2015

Moon Light

“MOONLIGHT”
PROLOG
“Gak bosen apa nontonnya Twilight terus” gerutu Ima dari arah belakang
“Gak kok. Eh mau kemana, Ma” tanyaku melihat Ima yang sudah dalam keadaan rapi.
“Mau ngumpul sama teman-teman sekolah dulu. Mau gabung gak, Sil. Daripada nonton mulu”
“Em… boleh deh” ucapku setuju dan segera masuk ke kamar untuk ganti baju.
Aku dan Ima sudah bersahabat sejak masuk ke dunia perkuliahan. Tidak jarang dia datang ke kost tempatku tinggal meskipun rumahnya terbilang cukup jauh dari tempatku.
Keadaan kost yang sepi tiap akhir minggu membuatku selalu ikut kemana Ima pergi. meskipun kadang aku merasa benar-benar asing di lingkungannya.

Dingin menusuk tulang-tulangku malam itu,
"Sudah pukul 9 malam" pikirku dalam hati. "Kapan kita akan pulang?".
Ku toleh kepalaku ke kiri. "Siapa dia?"
Tidak henti-hentinya mataku mencuri pandang pada sosok pemuda yang duduk tidak jauh dibelakangku.
 
Seketika dingin malam itu tidak terasa. Lenyap bersama senyum yang tersungging dari sudut bibir pemuda itu. "Apa aku harus bertanya siapa namanya?". Belum sempat pikiran jail itu datang, seorang pemuda lain mengucap satu nama.
"Arga, sudah disini?" Seorang pria di sebelahku bertanya pada dia.
"Jadi itu pria yang disebut-sebut dengan nama Arga beberapa menit yang lalu?" Kepalaku memanggut-manggut layaknya memahami sesuatu. "Pantas saja. Namanya saja tampan".
 
Karena statusku yang hanya seorang tamu dalam event itu, aku pun tidak berani menyapa saat tidak ada yang berusaha memperkenalkanku.
 
"Sil, kamu sudah ngantuk?" Tanya teman di sampingku.
"Belum, Ma" jawabku singkat. Siapa pula yang bisa mengantuk melihat pemandangan segar di hadapannya?
Ku habiskan batagorku,
"sesuap lagi" pikirku. 
"Kalau begitu, bisa nemenin aku belanja dulu dong" .
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban ya. Seketika itu, pandangan mata yang terasa hangat menyentuh menatap penuh rasa keakraban. Tidak ketinggalan senyum manis yang kian terlihat membuatku semakin salah tingkah untuk memasukkan batagor terakhir kedalam mulutku. Pemuda itu mendekat, lalu berkata
"ini masih bersih kan, Ma" sambil memberikan senyum mautnya kepada temanku.
"Masih kok, Ga. Atau yang ini aja?" Timpal Ima dengan senyum manisnya yang membuatku semakin bertanya-tanya.

Gelembung sabun yang tertiup angin mulai satu persatu pecah mengenai tubuhku. Ramai masih saja menyelimuti alun-alun kota. Kantukku mulai menjadi saat jam tangan menunjukkan pukul 10 malam. Temanku masih saja tertawa dan bercanda bersama teman-teman sekolahnya dahulu. Memang ini bukan keputusan yang tepat, saat aku memaksa diri untuk ikut bergabung untuk mencari suasana baru. Arga menghampiriku dan duduk tepat di sampingku.
"Kenapa diam saja, Sil?" Tanyanya ramah.
"Aku kan
 gak tau harus ngomong apa, Kak".
"Gak usah manggil kak. Kita kan seumuran. Eh atau aku lebih muda darimu? Kamu kan angkatan setahun diatasku" ucapnya sambil tertawa.
"Tua-tua gini aku masih muda loh, Dik"
"Haha... Apa tadi katamu? Dik? Kamu memanggilku dik? Memangnya aku semuda itu buatmu" 
"Tadi katamu, aku lebih tua darimu" jawabku cemberut.
"Aku hanya bilang mungkin, Sil"
Aku tertawa menyeimbangi tawanya yang renyah.
Rasa kantukku tiba-tiba saja terasa hilang. Entah angin apa yang membuat mataku sebening ini saat mulutku tetap saja menguap. 
"Aku pamit dulu ya, Sil" ucapnya sambil berdiri. Lalu menghampiri Ima dan kawan-kawannya yang lain untuk berpamitan.

Masih tampak jelas kejadian beberapa jam yang lalu dalam remang-remang kamar kost. Rasa penasaran terhadap Arga memaksaku untuk memberanikan diri bertanya pada Ima. Awalnya, aku pikir rasa penasaran itu akan hilang setelah aku mendapatkan jawaban dari temanku itu. Namun ternyata penasaran itu makin menjadi membuatku susah memejamkan mata malam ini. 
"Ma, yang tadi itu namanya Arga kan?"
"Ya. Kenapa, Sil?" Jawabnya singkat dengan tatapan tajam yang seakan mengatakan bahwa a
ku salah telah bertanya mengenai Arga padanya.
"Nggak kenapa-kenapa sih, Ma. Cuma tanya aja"
"Aku harap kamu tidak berusaha mendekatinya" jawabnya ketus.
"Bagaimana bisa aku mendekatinya, kamu saja nggak ngenalin aku sama dia kan, Ma" aku makin yakin bahwa Ima tidak hanya menganggap Arga sebagai temannya. Dan itulah yang membuatku pesimis untuk sekedar memperkenalkan diri.
"Arga itu nggak seperti anak lain, dia istimewa" Ima mulai menjelaskan dengan kalimat-kalimat yang semakin membutaku bingung dengan nada yang sedikit lebih santai.
"Arga itu... Sudahlah, memangnya kenapa kamu tanya-tanya tentang dia"
"Aku... Aku hanya ingin kenal saja"
Ima menjawab pernyataanku dengan seulas senyum kecut dan sebuah dengusan serta helaan nafas berat. 
"Kamu jangan menyukainya, Sil"
"Suka? Aku saja belum kenal. Gimana bisa suka"
"Aku tahu kamu suka kan, dan aku harap kamu lupakan rasa penasaranmu" Ima melangkah pergi meninggalkan sejuta penasaran tentang siapa Arga sebenarnya dan apa hubungan Ima dengannya. 

Aku berjalan menyusuri gang kecil yang akan membawaku ke kost yang bertahun-tahun telah aku tempati. Tiba-tiba suara langkah kaki semakin terdengar jelas mengikutiku dari belakang.
Ku tolehkan kepalaku ke belakang melihat siapa orang lain yang berjalan di tempat ini, namun nihil. Hanya ada kabut yang menyelimuti kegelapan. Dingin malam ini membuatku semakin merinding, ku putuskan untuk tetap berjalan sampai akhirnya langkahku terhenti saat anjing tetangga sebelah tiba-tiba keluar dan menggonggong sekan melihat sesuatu.
Ku percepat langkah kakiku, berusaha berlari meninggalkan tempat seram yang membuatku berpikiran negative. Tidak lama kemudian, terasa pundakku disentuh oleh tangan kekar namun hangat. Karena perasaan takutku mulai menjadi, spontan tas tanganku menjadi senjata untuk memukulnya tepat dikepala.
“Aduh…” Terdengar jeritan pemuda dalam kegelapan.
“Arga. Kamu ngapain sih jail banget” kataku dengan nada marah
“Jangan marah dong, Sil. Tadi aku cuman lewat aja. Terus liat kamu jalan cepet banget, sampai aku panggil-panggil gak denger”
Aku hanya tersenyum mendengar caranya membela diri. Jika dia hanya ingin menyapaku, kenapa harus dengan cara yang membuatku takut. Namun ketakutan itu tidak berlangsung lama. Arga mengantarku sampai depan kost dan segera meninggalkan tempat dimana dia berdiri tepat setelah aku menutup pintu. Sebenarnya siapa Arga? Kenapa dia terlihat berbeda dari pemuda-pemuda lain? dan kenapa dia ada di lingkungan ini? Apa dia juga tinggal di sekitar sini?

Terik matahari sudah sangat menyengat. Padahal jam masih menunjukkan pukul setengah 10 pagi. Selesai mengantar tugas ke ruang dosen, aku menyusul Ima yang sudah lebih dulu duduk di taman samping parkiran kampus. Ima menatapku dengan tajam, seakan dia sudah tahu apa yang akan aku katakana padanya. Seperti merasa bersalah karena telah melanggar ucapanku untuk tidak mencoba mendekati Arga, akupun duduk dalam diam dan sesekali menengok kearah Ima yang masih memperhatikanku.
“Kamu mengajak Arga bertemu hari ini?” tanyanya Ketus.
“Eh… sebenarnya … bukan begitu, Ma. Aku hanya… Lagian Arga juga gak bisa”
“Kamu kenapa pingin banget sih deket sama Arga, Sil”
“kamu juga kenapa bersikeras melarangku berteman dengannya, Ma?” tanyaku dengan sedikit kesal.
“Kamu suka sama Arga ya, Ma” tanyaku dengan nada pasrah.
“Hahaha… kamu lucu ya, Sil” jawabnya singkat dengan tawa yang terbahak-bahak. Tawa Ima membuatku semakin jengkel. Ima tidak berusaha menjawab pertanyaan yang sedari kemarin menggangguku namun justru menertawakanku.
“Sudahlah, Ma. Aku tidak ingin kita bertengkar hanya karena Arga. Aku pergi dulu” ucapku sambil berdiri hendak meninggalkan Ima. Langkahku terhenti saat pergelangan tanganku terasa ada yang memegang dan menariknya kembali duduk.
“Bentar dong, Sil. Tadi bukannya kamu tanya, kok sekarang malah pergi”
Aku hanya diam, menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikatakan Ima sebagai wujud pembelaan diri.
“aku tidak melarangmu dekat dengan Arga, tapi… hanya saja Arga itu istimewa” Ima kembali tersenyum manis saat mengatakan bahwa Arga itu istimewa. Sebenarnya seistimewa apakah Agra bagi Ima? Sepertinya memang benar, aku tidak bisa mengganggu hubungan mereka yang sudah sangat baik itu. Ima meminum kembali air putih dari botolnya kemudian melanjutkan kalimatnya.
“Aku tidak melarangmu, Sil. Hanya saja, jika Arga tidak bisa menuruti kehendakmu untuk bertemu, aku mohon kamu tidak memaksanya” kalimat Ima membuatku semakin penasaran terhadap Arga, apa dia bisa menolak ajakanku? Sepertinya tidak.
“Baiklah, Ma” jawabku singkat dengan perasaan sedikit lega karena Ima tidak lagi memelototiku.
Ku perhatikan pantulan tubuhku dalam cermin yang tergantung di dinding kamar.
“Bagaimana Arga bisa menolakku?” ucapku percaya diri dengan setengah berbisik. Entahlah, meskipun aku tahu bahwa aku akan kembali diam dan merasa terkucilkan, aku tetap memaksa ikut Ima utuk menghadiri acara ulang tahun salah satu teman sekolahnya dahulu. Jalanan di malam hari memang membawa suasana tersendiri. jalanan gelap dengan lampu-lampu berwarna kuning menerangi setiap sisi, semilir dingin angin malam menambah kenikmatan saat capucino hangat menuruni tenggorokan. Mata dan kepalaku masih berputar-putar mencari sosok pemuda yang hingga sekarang belum juga muncul. “Apa dia tidak datang?” pikirku dalam hati.
“Aku datang, Sil” Ucap seorang pemuda dibelakangku. Seperti bisa membaca pikiranku, Arga menjawab pertanyaan yang baru saja terlintas di pikiranku. Senyumnya membuatku melupakan kekesalan yang sedari tadi mengusikku, setidaknya lima menit sebelum Ima menghampiri kami dan mengambil Arga dariku. Semua orang pasti dapat merasakannya,bahwa diantara Ima dan Arga terdapat hubungan istimewa yang berusaha mereka sembunyikan.
Capucino yang awalnya aku yakini masih hangat tiba-tiba berubah dingin. Mereka tampak sangat akrab satu sama lain. bukan hanya bercanda, namun juga saling memeluk.
“Aku ingin pulang dulu” kataku dengan nada suara tinggi hingga semua orang mengarah kepadaku .
“Biar aku antar” ucap Arga memberikan tawaran. Jika saja aku tidak sedang kesal karena mereka berdua, sudah pasti aku akan segera meng-iya-kan.
“Tidak  perlu, aku bisa pulang sendiri” jawabku singkat kemudian berlalu meninggalkan tempat yang memuakkan itu.
Ku percepat langkah kakiku menyusuri gang gelap dan sepi. Sebenarnya aku sangat takut jalan sendiri seperti ini. Namun, demi menjaga image maka kuberanikan diri melangkah dengan bulu kuduk yang semakin merinding.
“Sepi sekali malam ini” pikiran negative ku mulai bermunculan, mulai dari hantu, orang mabuk, begal, preman, dan lainnya. Membayangkan hal itu semakin membuatku merinding. Kembali terdengar tapak kaki dari arah belakang seperti kejadian beberapa minggu yang lalu.
“Apa mungkin itu Arga? Ah… tidak mungkin, kenapa pula Arga lewat sini”
“Hey siapa kamu?” Teriakku saat melihat bayangan hitam mulai mendekat. Segera kubalikkan tubuhku hendak berlari meninggalkan tempat itu. Namun sialnya tali sepatuku terlepas dan terinjak. Spontan aku terjatuh di jalanan yang dingin dan semakin dingin saat bayangan hitam kekar mulai mendekat. Wajahnya sama sekali tidak terlihat karena membelakangi lampu jalan.
Aku benar-benar takut dan memejamkan mata. Tidak lama kemudian, suara pemuda itu memecahkan kedinginan malam
“Buka matamu, ayo bangun”
Ku buka mataku pelan dan berusaha melihat siapa dia. Setelah bangun dengan dibantunya, aku baru dapat melihat jelas siapa pemuda tersebut.
“Arga”
“Maaf aku mengagetkanmu, Sil”
“Kenapa sih kamu selalu membuatku takut”
“Maaf , Sil” ucapnya dengan nada menyesal.
Pikiran jailku mulai masuk. Mungkin ini waktu yang tepat untuk meminta sesuatu darinya sebagai wujud permintaan maafnya.
“Baiklah aku memaafkanmu. Tapi ada syaratnya, Ga”
“Apa?” tanyanya dengan sedikit antusias
“Besok kita jalan ya, kita bertemu disini” pintaku dengan sedikit memaksa
“Tapi, Sil. Aku gak bisa”
“Pokoknya harus bisa. Kalau tidak, aku tidak memaafkanmu.” Aku tidak habis pikir, kenapa pemuda ini begitu mudah menolak ajakanku. Apa aku tidak semenarik Ima?
“Baiklah, demi permintaan maafmu aku akan menemuimu pukul 8 pagi disini”
“Oke” jawabku tegas menyetujui waktu yang ditetapkannya tanpa bertanya kenapa harus pagi-pagi.
Rasanya malam ini berlalu sangat lama. Berulang kali kulihat jam weker di meja sebelah tempat tidurku, namun masih saja waktu menunjukkan tengah malam. Tidak sabar rasanya menunggu hari esok. Aku memikirkan seribu rencana untuk mengajaknya keluar esok hari. Mulai sarapan bersama, jalan-jalan ditaman, makan siang, dan lain-lain. Lamunanku buyar saat pintu kamarku tiba-tiba diketuk.
“Sil, kamu belum tidur kan?” suara Ima dari balik pintu membuat desahan berat dari tenggorokanku.
“Ada apa sih, Ma” tanyaku sembari membuka pintu.
“Aku hanya ingin memastikan, apa kamu benar-benar mengajak Arga pergi besok?”
“Ya, kenapa? Itu perwujudan maafnya karena sudah dua kali membuatku takut”
“Apa kamu tidak ingin jalan-jalan pada malam hari saja?” tanya Ima mencoba menawari pemandangan malam lebih menyenangkan.
“Kenapa? Apa karena siangnya kalian sudah ada janji?”
“Bukan begitu, Sil. Tapi…”
“Bukannya kamu sudah pernah bilang kalau kamu tidak akan menghalangiku, Ma. Kamu bilang juga kan, kalau aku boleh pergi dengan Arga jika dia mau” ucapku dengan nada kesal. Sebenarnya kenapa Ima begitu melarangku jalan dengan Arga besok? Jika mereka juga memiliki janji di jam yang sama, seharusnya Arga menolak ajakanku bukan.
Aku menutup pintu kamar tanpa berpamitan pada Ima. Dengan penuh kekesalan, ku lemparkan tubuhku diatas kasur hingga terlelap.

Pukul 8 tepat aku sudah sampai di gang yang kami janjikan. Aku melihat Arga memakai kemeja yang dilapisi dengan jaket, celana panjang, sepatu, kaos kaki, dan topi yang diarahkan kedepan sampai menutupi sebagian wajahnya. Dan lebih anehnya lagi, dia memasukkan tangannya kedalam saku jaket. Padahal hari ini tidak dingin sama sekali, malah terasa panas.
“Apa Arga sakit?” tanyaku pada diri sendiri.
“Ga, kamu sakit?” tanyaku setelah berada di hadapannya
“Gak kok, Sil. Yuk kita cari sarapan dimana?” tanya Arga mencoba mengalihkan pembicaraan.
Setelah sarapan, seperti yang telah ku rencanakan semalaman, Aku meminta Arga menemaniku jalan-jalan. Udara hari ini sangat panas. Namun, bagaimana mungkin aku merasakan panas jika berada di dekat pemuda ini. senyum yang tersungging di sudut bibirnya meluluhkan rasa panas hari ini. Sangat sejuk bahkan hanya dengan melihat wajah manisnya.
“Ga, aku boleh pegang tanganmu kan?”
Arga menolehku kaget tanpa menjawab apapun. Begitupun aku yang segera mengeluarkan tangan kirinya dari saku jaket. “Aneh sekali” pikirku “sejak pagi Arga selalu memasukkan tangannya di saku jaket. Topinya juga tidak dilepas”
Arga hanya diam. Mungkin dia tidak enak menolakku untuk kesekian kalinya. Ku ayun-ayunkan tangan kami saat berjalan menyusuri taman. Namun langkahku terhenti saat melihat tangan arga memerah.
“Ga, tangan kamu kenapa?”
Arga tidak langsung menjawab pertanyaanku, namun segera menarik dan memasukkan tangannya kembali ke saku jaket.
“Kamu kenapa, Ga?”
“Em… mungkin alergi. Aku pulang dulu ya. Rasanya panas sekali hari ini.”
Tanpa mendengar persetujuanku, Arga berlari meninggalkanku sendiri dengan wajah masih diselimuti kebingungan.

Kutarik bangku kelas dengan kasar. Ima memperhatikanku seakan tahu apa yang sedang tejadi. Dia seperti sedikit kecewa terhadap sikapku akhir-akhir ini. Namun kenapa yang tahu segalanya tentang Arga adalah Ima? Kenapa bukan aku saja. Meskipun aku kecewa padanya, tetap saja Ima adalah sahabatku.
“Ima” panggilku dengan sedikit memelas
“Apa?” tanyanya tanpa menoleh sedikitpun padaku. Kesal sekali rasanya di acuhkan oleh sahabat sendiri hanya karena seorang pemuda.
“Kau tahu tidak”
“Ya, aku tahu” jawabnya cepat sebelum aku sempat melanjutkan kalimatku.
“Kita bicara diluar saja, Sil” ucapnya sambil berlalu melewatiku.
Ku ikuti kemana Ima melangkah dengan wajah cemberut. Sampai akhirnya berhenti disebuah bangku panjang di taman kampus. Wajah Ima masih terlihat lesu, seperti menaruh kesedihan dan kekhawatiran yang mendalam.
“Ma, Arga itu seperti apa orangnya?” tanyaku memberanikan diri
“Arga itu istimewa, Sil” lagi-lagi Ima mengatakan bahwa Arga istimewa. Namun kali ini tanpa senyum seperti biasanya.
“Aku minta maaf, Sil. Karena aku tidak pernah bercerita ke kamu sebelumnya. Sebenarnya… Aku… aku hanya ingin menjagamu, aku tidak ingin kamu terluka. Karena aku pernah menyukainya. Jauh sebelum kita berkenalan”.
Seketika perasaanku hancur. Apa yang baru saja aku dengar seakan menghancurkan segala dinding petahanan yang ku bangun berabad-abad.
“Kamu masih menyukainya, Ma?”
Ima hanya tersenyum, sampai akhirnya dia menjawab
“Tidak, Sil. Arga itu sudah seperti keluargaku. Tidak mungkin aku masih menyukainya. Apalagi saat aku tahu sahabatku jauh lebih menyukainya”
Perasaanku sedikit lega. Namun tetap saja aku menjadi semakin penasaran tentang mereka berdua. Dan yang sangat membuatku ingin bertanya adalah apa yang terjadi sebenarnya pada Arga. Apa dia vampire? Ah aku terlalu kebanyakan menonton film dan sinetron yang menceritakan hal-hal semacam itu. Mana mungkin vampire itu nyata. Jika Arga itu vampire, pasti Ima sudah menjadi korbannya bukan.
“Kamu kenapa, Sil?” tanya Ima setelah melihat ekspresi wajahku yang berubah ngeri.
“Ada yang ingin aku tanyakan, Ma. Ini soal Arga”
“Apa?”
“Arga itu manusia bukan?” tanyaku dengan sedikit memiringkan kepala.
“Ashila sayang, tentu saja Arga itu manusia. Kamu pikir dia apa?”
“Em… mungkin saja vampire”
Ima terlihat terkejut dan menoleh kearahku. Dia tidak langsung menjawab bahkan diam untuk beberapa menit. Aku hanya mendengar hempasan nafasnya yang terdengar berat. Sampai akhirnya ia membuka mulutnya setelah lama terdiam.
“Sil, aku sudah pernah bilang kan ke kamu kalau Arga itu istimewa”
“Ya, kamu selalu mengatakannya. Tapi aku bingung, Ma. Yang kamu sebut sebagai istimewa itu apa?”
“Dia itu beda dari yang lain, Sil”
“Jadi dia beneran vampire?” tanyaku kaget.
“Hahaha… kamu kebanyakan nonton film, Sil. Mana ada vampire di dunia nyata”
Bagaimana mungkin aku mengatakan apa yang kemarin aku lihat. Bisa-bisa Ima menganggapku tidak waras jika mengatakan temannya, lebih tepatnya sepupunya itu pemuda yang aneh. Kulitnya berubah merah saat terkena matahari. Tapi, mungkin saja Arga sedang alergi. Aku berusaha positive thinking dengan semua yang aku lihat kemarin.
“Sil, apapun yang terjadi aku mohon kamu tetap bisa mengerti. Aku hanya ingin kamu mengingat satu kalimat”
“Apa, Ma”
“Ingat, Arga itu istimewa” ucapnya sambil tersenyum seperti biasanya. Senyum yang membuatku seketika panas dan kesal terhadap mereka berdua.

Angin malam sudah semakin dingin. Namun aku masih saja ingin berjalan mondar-mandir di gang kecil tempat aku dan Arga biasa bertemu. Sejak kejadian di taman itu, aku belum pernah bertemu dengannya lagi.
“Ah… harusnya aku tanya dimana tempat tinggalnya”
ku gosok-gosokkan telapak tanganku mencoba mencari sedikit kehangatan. Sosok bayangan hitam mulai muncul dan mendekat.
“Itu pasti Arga” pikirku seketika.
“Tapi kenapa tubuh Arga kecil? Itu bukan Arga, bukan”
Ku langkahkan kakiku mundur selangkah demi langkah. Mencoba mencari cahaya lampu agar dapat melihat wajah dalam bayangan hitam tersebut.
“Ima”
Ima terlihat kaget mendapati aku ada disana. Dia terlihat gugup dan salah tingkah saat aku memperhatikan tangannya yang memegang kotak obat.
“Ma, kamu sakit?” tanyaku setelah melihat kotak obat di tangan kanannya
“Eh… enggak, Sil. Ini buat jaga-jaga aja” jawabnya gugup. Sebenarnya apa yang disembunyikan Ima? Aku semakin penasaran dengan gerak-geriknya yang mencurigakan.
“Apa yang kamu bawa?” tanyaku semakin penasaran.
Tidak biasa-biasanya Ima datang ketempat seseorang yang sakit dan membawakan kotak obat tengah malam seperti ini jika yang sakit bukanlah orang yang special. Lagipula, aku tidak tahu bahwa selama ini Ima memiliki teman selain aku yang juga tinggal di sekitar sini.
“Kau membawakan obat untuk pacarmu, Ma?” tanyaku jail untuk sekedar mencairkan suasana.
Ima sangat kaget saat aku menyebutnya sebagai pacar. Mungkin memang Ima menyembunyikan identitas kekasihnya itu dariku. “Mungkin dia perlu sebuah privasi” positifku.
“Eh… enggak kok, yaudah aku jalan dulu ya, Sil” katanya. Kemudian berlalu meninggalkanku dalam gelap. Aku memang terkenal memiliki rasa penasaran yang tinggi sejak kecil. Ku ikuti langkah Ima dari belakang, sampai akhirnya dia masuk ke pekarangan rumah yang tidak ku ketahui rumah siapa itu. Tidak lama kemudian, seorang pemuda membukakan pintu dan saat itulah aku benar-benar terluka.

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Dingin malam ini terasa semakin menusuk setelah aku kembali mengingat kejadian malam kemarin di rumah Arga.
“Kenapa mereka tidak pernah berkata jujur padaku? Andaikan mereka jujur, mana mungkin aku akan jatuh cinta kepada Arga”
Ku tending rumput alun-alun kota di depanku. Rasanya benar-benar sendiri, saat seorang sahabat yang kita percaya menghianati kita dan seorang pemuda yang kita idamkan  menambah rasa sakit itu.
“Sil, aku cari di kost gak ada. Tahunya disini” teriak Ima dengan nafas terengah-engah. Sepertinya dia barusaja berari dari kost tempatku tinggal sampai alun-alun kota yang berjarak 100 meter.
“Kenapa kamu mencariku, Ma?” tanyaku sambil menyodorkan air minum dalam botol milikku.
“Kau kemarin malam mengikutiku kan, Sil?”
“Tidak sengaja” jawabku ketus. Kenapa pula dia bertanya seperti itu. Apapun wujud pembelaan dirinya aku sudah tidak percaya lagi.
“Arga, kemarin dia melihatmu pergi meninggalkan pekarangan rumahnya”
“Jadi itu benar rumah Arga, Ma?”  tanyaku tanpa mengharapkan jawaban. Ima terlihat salah bicara dengan mengatakan itu rumah Arga. Selama ini Ima mencoba menyembunyikan bahwa Arga adalah tetanggaku. Dia hanya menunduk dan diam membuatku semakin percaya bahwa Ima masih menyukai Arga sampai saat ini.
“Kalau kamu memang masih menyukainya, tolong jangan libatkan aku, Ma” kataku sambil berlalu meninggalkannya sendiri.rasanya jahat sekali telah marah kepada Ima. Dia saja tidak pernah bersikap seperti itu saat aku jalan berdua dengan Arga. Tapi kali ini aku langsung marah-marah tidak jelas tanpa ingin mendengar penjelasannya.
“Apa aku cemburu? Ah… aku pasti terlihat kekanak-kanakan tadi” gerutuku pada diri sendiri.

Kampus terasa sangat panas. Entahlah, kemarau tahun ini tidak seperti kemarau tahun lalu. Melihat Ima berjalan di lobi kampus, membuat hatiku bergetar untuk memanggilnya. Namun karena menjaga image, aku berusaha tidak melihatnya saat berpapasan.
“Sil, kamu masih marah?”
“Gak kok, Ma. Tenang aja” jawabku santai.
“ada hal yang perlu kamu ketahui, Sil”
“Arga itu istimewa. Itu kan yang ingin kamu katakana, Ma”
“Bukan, Sil. Tapi…”
“Aku tahu Arga itu istimewa buatmu. Jadi lebih baik aku yang mundur” akupun berlalu  meninggalkan lobi. Tidak ingin rasanya meneteskan air mata di tempat ramai seperti ini.

Gang kecil yang gelap seakan menjadi saksi bisu kedekatanku dengan Arga. Lagi-lagi bayang-bayang Arga muncul. Bahkan saat ini terasa nyata sekali ada di depanku.
“Sil, baru pulang?”
Kenapa aku ini? apa tidak cukup bayang-bayangnya yang mengganggu. Sekarang bayang-bayang  itu mengajakku berbicara.
“Sila, kamu melamun?” kalimat itu membuatku tersadar bahwa itu bukan hanya halusinasi.
Senyum manisnya lagi-lagi membuatku meleleh. Bagaimana bisa aku membencinya saat hatiku saja terasa tidak karuan hanya dengan melihat wajahnya.
“Mau main ke rumahku, Sil” ajaknya.
Sebenarnya aku ingin sekali mengangguk. Tapi rasanya masih malas untuk melangkahkan kaki.
“Tidak usah, Ga. Lain kali saja” jawabku singkat lalu mulai melangkah.
Tiba-tiba saja Arga memegang tanganku dan menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Detak jantungnya benar-benar dapat kurasakan.
“Kamu cemburu?”
Segera ku lepaskan pelukannya dan mendorong Arga ke belakang.
“Apa maksudmu”
“Aku tidak marah kalau kamu cemburu terhadap Ima. Justru aku senang”
Aku semakin tidak mengerti apa yang dibicarakan pemuda aneh ini. lagi-lagi dia memelukku dan kali ini lebih erat.
“Aku menyukaimu sebelum kau mengenalku”
Kalimatnya barusan membuatku tercengang. Apa aku tidak salah dengar beberapa menit yang lalu? Jika memang benar, kenapa Ima menjadi satu-satunya orang yang paham tentang dirinya.
“Kamu ingin aku memaafkanmu?” tanyaku dengan seribu rencana tersembunyi.
“Tentu saja,Sil”
“Baiklah, kita bertemu disini pukul 10 pagi. Kita akan menghabiskan seharian besok untuk bersenang-senang. Itu jika kamu benar-benar menyukaiku”
Wajah Arga seketika berubah bingung. Sama seperti ekspresinya saat pertama kali aku mengajak jalan-jalan di siang hari.
“Ini akan membuktikan bahwa dia manusia” pikirku.
“Baik, aku akan datang pukul 10 disini” jawabnya kemudian.

Ku paksakan kakiku melangkah memasuki rumah sakit. Sebenarnya aku sangat benci bau rumah sakit. Namun apa boleh buat, aku tidak tahan dengan alergi yang membuatku kesusahan beberapa hari terakhir.  Awalnya aku hanya bermaksud melihat-lihat kesekitar tempat duduk. Tanpa sengaja aku melihat seorang yang kukenal berjalan dari lorong rumah sakit.
“Bukanya itu Ima” tanya ku pada diri sendiri.
“Apa dia sakit? Kenapa dia ada disini?” karena rasa penasaran, ku beranikan diri mengikuti kemana dia pergi. Namun jejaknya sama sekali tidak terikuti. Dengan penuh kekecewaan, ku tingggalkan tempat dimana aku berdiri dan kembali ke ruang tunggu.
Seminggu merupakan waktu yang cukup lama untuk pergi tanpa kabar. Semenjak aku mengajak Arga pergi seharian, tiba-tiba dia menghilang. Dan anehnya lagi, Ima ikut menghindar dan seakan menyalahkanku. Langkahku terhenti tepat di depan papan daftar pasien. Dadaku seketika terasa sesak dan air mataku tak mampu ku bendung lagi.

“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi”
Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi saat ini. kenapa tidak ada yang memberitahuku sesuatu? Setelah aku melihat nama Arga di papan daftar pasien, segera ku cari kamar inapnya. Aku hanya terhenti di depan pintu saja. Air mataku benar-benar tidak dapat ku bendung lagi. tidak perduli dimana aku menumpahkan semua air bening itu. Yang aku tahu, aku benar-benar sudah bersikap jahat. Kujatuhkan tubuhku ke lantai. Rasanya tidak kuat menahan tubuhku untuk tetap berdiri tegak dalam keadaan seperti ini.
“Ashila” seseorang memanggil namaku dengan lesu, kemudian duduk di sampingku
Ku tolehkan kepalaku menghadapnya dan kupeluk sahabat yang selama ini paling mengertiku.
“Kamu ingat kan, Sil. Aku pernah mengatakan bahwa apapun yang terjadi, ada satu hal yang harus kamu ingat. Arga itu istimewa”
Air mataku kembali menetes lebih deras lagi. aku tidak pernah mengerti bahwa ke egoisanku berakibat fatal untuk seseorang yang aku sayangi.
“Kamu tenang saja, Sil. Arga sudah menemukan sumsum tulang belakang yang cocok. Kita doakan saja operasinya berjalan dengan lancar” ucap Ima berusaha menenangkanku.
“Apa sekarang kamu masih ingin menyembunyikannya, Ma?”
Ima menggeleng dan melepas pelukannya.
“Arga itu temanku sejak kecil. Dia mengidap penyakit porphyria. Lebih tepatnya erythropoietic  porphyria. Dia tidak kuat terhadap sinar matahari. Kulitnya akan menghitam dan melepuh. Itulah kenapa aku melarangmu mengajaknya jalan di siang hari”
“Aku tidak pernah menceritakannya karena dia melarangku. Dia yakin suatu saat akan ada sumsum tulang belakang yang cocok untuknya” lanjutnya.
“Dan aku mencelakainya, Ma. Aku mengajaknya keluar seharian tanpa memperhatikan kondisinya. Aku tidak perduli saat kulitnya memerah” Isakku semakin keras menahan sakit.
“Itu bukan salahmu, Sil. Seharusnya dia bisa menolakmu, tapi dia tidak pernah bisa melakukannya”
Tepat saat itu pula, beberapa dokter dan perawat memasuki ruang operasi. Keadaan seakan berubah menjadi genting. Aku berdiri dan disusul oleh Ima yang segera memelukku.

EPILOG
Hempasan angin membuat dedaunan beterbangan. Pemakaman baru saja selesai. Aku masih belum ingin meninggalkan pusara Arga sendiri. Masih mengiang-ngiang di telingaku beberapa kalimat yang membuatku semakin merasa bersalah.
“Arga itu manusia kan, Ma?
“Jangan-jangan dia vampire”
“Kenapa sih kamu selalu membuatku takut”
“Pokoknya harus bisa. Kalau tidak, aku tidak memaafkanmu.”
“Arga itu istimewa”
“Ini akan membuktikan bahwa dia manusia”
Dengan dibantu Ima, aku berdiri dan meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Arga. Aku hanya berdoa semoga dia mendapatkan kebahagiaan kekalnya dan semua amal ibadahnya diterima di sisi-Nya.
Udara malam ini begitu dingin. Ku mainkan rerumputan alun-alun yang terhampar di depanku.
“Br… dingin sekali” ucapku sambil memeluk tubuhku sendiri.
“Ini batagornya, Sil” Ima datang dengan dua piring batagor hangat yang terlihat lezat.
Ku tolehkan kepalaku ke kiri, bibirku tersenyum mengimbangi senyum bayang-banyang Arga.

Selesai…
Judul                : Moonlight
Penulis             : Silviana
Tanggal           : 13 Agustus – 15 Agustus 2015


Selasa, 04 Agustus 2015

Hello August

Hello August
Setiap detik itu memilukan,
memilukan saat setiap orang berpikir bahwa sosok yang mereka anggap tidak pantas tiba-tiba menjadi sosok yang pantas. Sebenarnya, bukan karena sosok itu tidak pantas. Namun, karena sosok lain menginginkan posisi pantas yang dimiliki orang lain.
Aku tidak bisa serta merta menyalahkan sosok yang menganggapku setengah pantas, karena aku tahu, rasa iri itu dimiliki oleh setiap dari mereka, termasuk aku yang memilikinya sejak lama.
Silaturrahim.
Bagi mereka, itu adalah ajang berkumpul, saling memberi kasih sayang, saling menghormati, dan terserah apa arti yang mereka semua berikan untuk kata itu.
Tapi, kadang kala silaturrahim menjadi ajang paling menyakitkan.
Saat event itu dijadikan sebuah perbandingan oleh oknum-oknum keluarga kecil untuk membanding-bandingkan dan menonjolkan diri dari keluarga-keluarga kecil yang lain dalam suatu kelompok keluarga besar.
Memang, rasa iri itu bisa menjadi Motivasi dalam diri seseorang untuk bisa menjadi seperti apa yang mereka semua banggakan. Namun, perbandingan-perbandingan yang sering didengar terus-menerus kadang juga menjadi momok kebencian tersendiri.
Hello August
Sudah banyak detik-detik perjalanan yang terlewati selama beberapa bulan terakhir. Setidaknya kita harus bahagia, karena jika kita dalam posisi belum pantas menurut sudut pandang mereka, kita harus berusaha lebih untuk menjadi pantas untuk mereka.
Hello August
Aku menunggu kejutanmu