Jumat, 30 Januari 2015

Menjelang akhir Januari

Berdebar pada awalnya.
Namun tiba-tiba saja merasa terpuruk dan sangat kecewa.
Apakah usahaku selama ini belum maksimal?
Bahkan jika aku pikir lagi, aku sampai mendapatkan hal buruk di kesempatan lain, hanya untuk menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.
Mungkin aku memang salah mengambil keputusan dulu.
Dan inilah akibatnya.
Nilai merah yang terpampang jelas diantara nilai hitam.
Ah... aku seperti ingin marah pada beliau.
Namun bagaimanapun Beliau yang memberiku ilmu.
Aku benar-benar merasa tidak adil dengan semua ini.
Sudah dua kali dan aku sudah berusaha memperbaiki.
Susah sekali meluluhkan hati itu.
Yang pasti kini waktuku tinggal beberapa semester lagi.
Dan setidaknya masih ada kesempatan.
Saat ini aku hanya meminta do'amu Pak, Jika engkau tidak bisa memberi hak ku, doakan saja aku menerima hak dari yang lain.

Minggu, 25 Januari 2015

Terimakasih Masa Lalu, Untuk Kau Masa Depan (Episode : Kau Yang Terhebat, Dimas)



Terimakasih Masa Lalu, Untuk Kau Masa Depan 

(Episode : Kau Yang Terhebat, Dimas)

Writer  : Silviana

Persahabatan kami sudah berlangsung sejak lama. Kami berempat sudah seperti ini sejak kelas 3 SMP. Yang aku ingat saat itu, kami mulai bersama sejak tinggal di asrama sebelum Ujian Nasional. Hubungan kami masih baik-baik saja, dan akan tetap baik-baik saja selama rahasia itu tidak terbongkar. Setelah lulus dari SMP, kami berempat melanjutkan ke SMA yang sama meskipun dengan jurusan yang berbeda. Dimas dan Yulia mengambil jurusan IPA, Rio mengambil jurusan IPS, dan aku sendiri Winda mengambil jurusan Bahasa.
Sore itu sekolah sudah mulai sepi. Anak-anak sudah selesai mengikuti ekstra kulikuler masing-masing. Dan kami berempat masih duduk di bawah gawang lapangan futsal di samping sekolah. Seorang pria tua penjaga sekolahpun menegur kami. Ia bertanya apa yang sedang kami lakukan disana.
“Hari sudah menjelang malam. Kenapa kalian masih belum pulang?” Tanya Bapak-bapak yang akrab kami sapa dengan panggilan pak Yono.
“Kami masih ingin bermain disini, Pak.” Jawab Rio seketika itu.
“Apa Bapak sudah akan mengunci gerbangnya?” Tanyaku pada pak Yono.
“Baiklah. Tapi jangan sampai maghrib. Bapak akan segera menutup gerbangnya saat maghrib tiba.”
Sekitar pukul 17.00 WIB, kami memutuskan untuk pulang. Setelah keluar dari gerbang, Pak Yono segera menutup dan mengunci gerbang sekolah. Seperti sudah lama menunggu kami untuk keluar.
Seperti biasa, orang tuaku belum pulang dari bekerja. Inilah salah satu alasan mengapa aku berani pulang sesore ini.  Aku segera masuk ke kamarku dan membersihkan badan. Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah.
“Itu pasti Ayah dan Ibu.” Pikirku dan kemudian menarik selimut untuk segera tidur.
**
Langit Siang itu benar-benar cerah. Kami berempat duduk santai dibawah pohon mangga sambil bermain gitar. Permainan gitar dan suara merdunya dari dulu selalu membuatku merasa nyaman. Namun keceriaan kami terhenti saat Yulia berkata ia akan segera meninggalkan Surabaya.
“Kenapa kamu harus pergi, Yul?” Tanya Dimas.
“Aku akan ikut pindah bersama orang tuaku ke Malaysia, kalian tahu kan aku disini hanya tinggal bersama mereka. Jika aku tidak ikut, lalu aku dengan siapa?”
“Kamu bisa tinggal bersamaku, Yul. Aku selalu sendiri dirumah, orang tuaku sibuk bekerja. Kamu bisa tinggal bersama kami.” Jawabku berharap Yulia menyetujuinya.
Yulia masih tetap diam. Aku tahu apa yang sedang dipikirkannya. Dia pasti menolak tawaranku tadi dan tetap akan segera pergi meninggalkan Surabaya.
“Tapi kamu pasti akan kembali ke Surabaya kan, Yul?” Tanya Rio yang sedari tadi hanya diam.
“Tentu teman-teman. Aku akan kembali kesini. Dan aku tidak akan melupakan kalian.” Jawab Yulia dengan senyum manisnya.
Kami bertiga ikut mengantar Yulia ke Bandara pagi itu. Sebagai kenang-kenangan, kami membeli dan memakai gelang persahabatan. Dengan harapan kami tidak akan melupakan satu sama lain.
**
“Winda, Rio sudah menunggu dibawah.”  Teguran ibu mengagetkan lamunanku.
Aku letakkan kembali foto kami berempat dan keluar menemui Rio. Aku lihat Rio dengan kaos hijaunya sudah menunggu di depan pintu.
“Rio, kenapa tidak masuk saja. Lalu, dimana Dimas? Tidak jadi ikut?”
“Dimas sudah dimobil. Kamu lama sekali, ngapain aja?”
“Maaf, tadi ada kesalahan teknis sedikit. Yuk berangkat, aku sudah tidak sabar ingin bertemu Yulia.”
Hari ini Yulia kembali ke Surabaya. Kami sudah menantikan hari ini sejak lama. Selama dalam perjalanan pulang dari bandara, kami tidak henti-hentinya bercerita tentang kekonyolan yang dulu sering kami berempat lakukan.  Suasananya masih tetap sama, bahkan semakin seru karena kami memiliki banyak cerita baru. Yulia tampak semakin cantik. Hal itu sedikit membuatku merasa iri dan tersaingi. Karena Dimas dan Rio tidak henti-hentinya menggoda Yulia dan seakan melupakan keberadaanku disini. Mungkin ini hanya perasaanku saja, maka aku mencoba menenangkan pikiranku dan fokus dibalik kemudi.
**
(Tok Tok Tok) Pintu rumahku diketuk. Mbak Sri segera meghampiri dan membukakan pintu untuk tamu.
“Eh Mas Dimas. Silakan masuk, Mas. Saya panggilkan mbak Winda dulu.”
“Ya mbak, terimakasih mbak Sri.”
Aku keluar kamar bahkan sebelum mbak Sri memanggilku. Dengan tersenyum ku katakan pada mbak Sri untuk membuatkan minuman dingin. Lalu aku menghampiri Dimas yang duduk di ruang tamu.
“Hai Dim, tumben kesini sendirian? Rio Mana?”
“Rio pergi sama Yulia, Win. Katanya sih mau jalan-jalan keliling daerah sini.”
“Lalu,kamu kesini ngapain?” Tanyaku
“Win, kamu masih ingat kan, aku pernah cerita sama kamu kalau aku suka sama Winda. Dan setelah aku bertemu lagi dengan Winda, aku menjadi semakin yakin kalau aku benar-benar cinta sama dia.”
Entah mengapa setelah aku mendengar jawaban itu senyumku seakan terpaksa.  Aku mendengarnya beberapa tahun lalu, dan sekarang aku mendengarnya lagi.
“Ya, aku ingat. Lalu?”
“Kamu mau kan membantuku untuk bisa lebih dekat denganya.”
“Bukankah kita semua sudah dekat?”
“Ya, memang. Tapi maksudku sebagai seorang kekasih. Kamu mau kan bantu aku, Win?”
“Sebagai teman yang baik, pasti aku akan membantumu.”
Seperti yang aku tahu sejak dulu, Dimas sangat menyukai Yulia. Dan aku sadar, aku tidak bisa menggantikan posisi Yulia selama beberapa tahun ini.
**
Yulia berkunjung ke rumahku malam ini. Dia tampak semakin cantik dengan pipi merona dan senyum penuh bahagia. Kami berdua segera masuk ke kamar dan mulai bercerita.  Cerita Yulia mengagetkanku seketika itu. Saat ini aku memiliki misi untuk membuat Yulia dan Dimas dekat, namun ternyata Yulia sudah menemukan pria idamanya. Dan tidak lain pria itu adalah Rio. Memang selama ini akulah yang sering dijadikan tempat menyimpan rahasia diantara kami berempat. Dan karena itulah aku tahu semua hal yang dirasakan setiap dari kami. Aku tidak yakin dapat mengatakan ini pada Dimas. Aku takut melukai perasaanya.
“Win, kamu tahu tidak? Hari ini aku dan Rio resmi jadian?”
“Jadian?” Responku kaget.
“Ya, Winda. Kami sudah jadian. Aku harap kamu dan Dimas tidak marah pada kami. Karena persahabatan kita sudah kami berdua rubah sekarang.”
“Tidak akan ada yang marah padamu, Yul. Kalian jadian, itu adalah sebuah ketulusan. Aku dan Dimas pasti dapat mengerti kalian.”
Telepon rumah berdering. Namun terdengar mbak Sri segera mengangkatnya. Tidak lama kemudian, mbak Sri mengetuk pintu kamar dan berkata bahwa ada telepon untukku. Aku segera mengahampiri kea rah mbak Sri.
“Hallo, ini Winda.”
“Win, kita bisa bertemu besok? Hanya berdua.”
“Dimana?”
“Ice Cream Shop dekat kampus pukul 14.00”
Teleponpun ditutup. Aku kembali ke kamar dan berbaring di kasur seakan tahu apa yang akan terjadi besok di kedai es krim. Sedangkan gadis di sampingku masih tersenyum tidak menentu menahan gejolak asmaranya.
**
“Aku pikir kamu akan membantuku, Win.”
“Aku sudah membantumu. Tapi jika Yulia memilih Rio untuk menjadi pasanganya, lalu aku bisa apa?”
“Seharusnya kamu bisa membantuku lebih keras lagi. Kamu tahu, aku sangat menyukainya sejak dulu.”
“Dim, apa kamu pernah mencoba mengatakan pada Yulia tentang perasaanmu? Apa Rio juga tahu?”
Dimas hanya diam. Karena dia sadar bahwa selama ini dia memang tidak pernah mengatakan hal ini kepada siapapun selain kepadaku.  Tanpa bicara, Dimas pergi bersama motornya meninggalkanku dikedai es sendirian.
Melihat Dimas seperti itu, aku seperti mengaca dan melihat diriku sendiri. Selama ini aku juga selalu diam dan memendam semuanya sendirian. Bahkan mereka bertiga tidak ada yang pernah mendengarkan keluh kesahku. Atau karena aku terlalu mendengarkan mereka sehingga aku merasa tidak ada gunanya menceritakan hal ini kepada mereka.
Akhir pekan masih berjalan seperti biasa. Kami berempat pergi ke Bioskop dan ke toko buku. Keadaan juga tidak banyak berubah. Kami masih tetap seperti biasa, meskipun dua diantara kami memiliki hubungan yang lebih spesial. Hanya saja sepertinya Dimas masih kecewa kepadaku. Tatapan matanya sedikit membuatku merasa takut. Aku hanya berharap keadaan seperti ini tidak berlangsung lama. Karena jujur saja aku tidak tahan jika harus selalu diam pada Dimas.
**
Kalender menunjukkan 30 Juni. Dimas berulang tahun yang ke 21 hari ini. Kami berempat hanya merayakan secara sederhana seperti biasanya. Siang itu, saat Rio dan Yulia bercanda berdua, Dimas terlihat sangat terpuruk. Mungkin dia cemburu. Aku dapat melihat jelas perubahan pada wajahnya.
“Dim, ka…mu masih marah ya sama aku?”
“Tidak, Win. Aku hanya kecewa sama kamu.”
“Aku minta maaf, Dim. Bukannya aku tidak mau membantumu, tapi…”
Tiba-tiba saja Yulia dan Rio menyusul kami berdua. Pembicaraan kamipun terhenti karena kami ingin hal ini tetap menjadi rahasia.
“Ciye… yang semakin nempel saja. Aku tahu kok, pasti pria yang kamu suka itu Dimas kan, Win.” Ucap Yulia.
“Eh. Ap…pa apaan sih. Ngaco saja kamu.” Jawabku gugup.
“Ya ya aku jadi ingat. Ternyata wanita yang kamu suka itu Winda, Dim? Aku ingat sekali. Kamu pernah bercerita padaku bahwa kau menyukai salah satu wanita diantara kita. Pasti dia Winda.” Sambung Rio dengan nada yakin.
Dimas hanya diam dan menatapku sinis. Lalu berkata “Oh jadi ini sebabnya kamu tidak ingin membantuku, Win. Aku semakin kecewa.”
Dimaspun pergi meninggalkan kami bertiga. Yulia dan Rio saling menatap satu sama lain, terlihat bingung dan berusaha meminta penjelasan tentang semua ini.
Sejak kesalahpahaman hari itu, kami tidak pernah berkumpul lagi. Aku juga masih merasa takut untuk melihat Dimas. Mungkin Dimas sudah merasa sangat kecewa padaku. Syukurlah tidak selang beberapa lama, aku harus ikut ke Bandung bersama orang tuaku. dan sejak saat itu pula, kami tidak pernah bertemu satu sama lain selama kurang lebih 8 bulan.
**
Yulia dan Rio sudah menungguku di salah satu meja di ice cream shop tempat kami biasa berkumpul dulu. Aku sangat merindukan mereka.  Kami saling bercerita hal-hal seru seperti saat Yulia pulang dari Malaysia dulu. Rasanya kejadian itu terulang kembali. Seorang pria yang tidak lain adalah Dimas, datang menghampiri kami. Dia masih tampak begitu tampan.
“Winda, kamu apa kabar?” sapa Dimas padaku.
“Aku baik-baik saja, Dim. Kamu sendiri bagaimana?”
“Aku tidak merasa baikan selama 8 bulan ini. Namun sekarang aku benar-benar merasa baikan setelah kamu kembali.”
Aku diam beberapa menit. Sampai seorang pelayan cafĂ© mengantarkan ice cream pesanan kami.  Tiba-tiba saja Dimas menggenggam tanganku. Yulia dan Rio hanya tersenyum melihat Dimas yang seakan bersikap romantis padaku.
“Win, aku minta maaf. Aku sudah salah paham sama kamu selama ini. Aku juga sadar, ternyata aku hanya melihat kedepan tanpa melihat disampingku. Dan kini aku sadar, aku menyayangimu.” Ucap Dimas lirih.
“Dim, terimakasih ya atas pengertian kamu. Aku bahagia mendengarnya. Tapi guys… kedatanganku kesini selain aku kangen sama kalian, aku juga ingin mengantarkan ini.” (memberikan surat undangan)
“Ini apa, Win?” Tanya Rio
“Ini Undangan pertunangan?” sambung Yulia kaget.
“Ya. Aku akan bertunangan 6 hari lagi. Aku harap kalian datang ya.”
“Tapi Dimas, Win?” Yulia seakan tidak menginginkan ini semua benar.
Aku melihat kearah wajah Dimas. Ku pegang tanganya. Kini aku benar-benar melihat wajah pria yang pernah aku puja pucat pasi dan terlihat kacau. Bahkan lebih kacau daripada saat ia melihat Yulia bersama Rio dulu.
“Aku telat, Win?” ucap Dimas.
Aku menggelengkan kepalaku dan tersenyum. “Kamu tidak pernah telat, Dimas.”
**
Semua tamu sudah berkumpul di Ruang tengah. Suasana yang romantis menyelimuti setiap sudut ruangan. Aku berjalan menuju ke tengah ditemani  Yulia yang tersenyum melihatku segera bertunangan.  Dimas berdiri di ujung tepat dihadapanku. Langkah kakiku semakin mendekati Dimas. Aku bahagia dia berada disini, di hadapanku. Tepat di hadapannya aku berhenti. Lalu kami berdua berjalan ke tengah ruangan untuk segera melanjutkan acara tukar cincin. Seorang pria sudah menunggu diujung jalan. Dan tanganya segera menjemput tanganku untuk segera berada disampingnya.
“Baiklah, acara yang sudah kita tunggu-tunggu akan segera dimulai.” Ucap seorang pria yang ditunjuk oleh keluarga kami untuk menjadi pembawa acara.
Dimas membuka kotak cincin yang sedari tadi dibawanya. Seorang pria bernama Andi segera mengambil dan memakaikan cincin di jari manisku. Begitu pula aku yang segera memakaikan cincin ke jarinya setelah cincin itu melingkar di jariku. Semua orang bertepuk tangan. Termasuk Dimas yang masih berada disampingku.  Seusai acara, aku menyusul mereka bertiga yang duduk di salah satu bangku tamu.
“Terimakasih, Yul, Rio, dan Dimas. Kalian sudah membantu menyukseskan acara ini.”
“Sama-sama, Win. Semoga kamu bahagia, ya.” Jawab Yulia.
Aku kembali menatap Dimas. Dia masih tersenyum dalam keadaan seperti ini. Ku genggam tanganya dan berkata.
“Kamu yang terhebat, Dimas.”
Tidak lama kemudian, Andi menghampiri kami berempat. Andi tampak begitu mengerti tentang kami. Lagipula, Andi adalah masa depanku yang telah aku pilih. Aku bahagia telah memiliki hubungan yang serius dengan Andi. Meskipun mungkin dulu aku sudah banyak berkorban untuk Dimas, namun inilah yang kami sebut takdir. Selama ini, kami berempat hanya diuji. Tuhan telah menguji persahabatan kami. Apakah kami akan hancur karena kesalahpahaman, atau bahkan lebih kuat dengan kesalahpahaman itu.
Satu kalimat yang terucap untuk Dimas dari kami berdua adalah “Kamu yang terhebat, Dimas. Terimakasih sudah membawakan cincin pertunangan kami.”

selesai

Sabtu, 17 Januari 2015

Titik-Titik Cinta



Titik-Titik Cinta

writer : Silviana

Sebelumnya terimakasih untuk sahabatku Novia :)

Sofi masih tidak percaya hari itu akan datang beberapa bulan kemudian. Rasanya masih tidak ingin melepas kebebasan dan mulai bergelut dengan kehidupan yang tidak pernah dia sangka akan secepat ini. Sofi tahu bahwa waktu tidak mungkin dapat kembali. Dan dia juga tidak akan bisa menolak hal yang dulu telah dipilih. 
"Sofi, kenapa kamu lama sekali, Nak? Bagus sudah menunggu di depan." Terdengar suara wanita setengah baya melepas kesunyian.
 
"Ya Bu, sebentar." Sofi segera bergegas merapikan pakaian dan keluar dari kamar yang selalu disebut syurga.
  Seorang pria bernama Bagus sepertinya sudah sejak lama menunggu di ruang tamu. Dengan sangat terpaksa bibir itu tersenyum pada pria yang beberapa bulan lagi akan menjadi suaminya.
"Kamu kenapa Sofi? sepertinya tidak senang aku datang mengunjungimu?" ucap pria itu dengan halus.
"Aku tidak kenapa-kenapa Mas, aku baik-baik saja," jawab Sofi setengah berbohong.
Sebenarnya pernikahan mereka bukanlah suatu perjodohan. Manusia menyebutnya sebagai takdir. Sesuatu yang akhirnya mempertemukan mereka berdua. Sebuah bangku panjang tempat mereka duduk pun menjadi saksi kebisuan dalam ruang tamu.
“Sebaiknya kita lekas pergi sekarang,”  ucap Bagus setelah melihat jam tangannya.
Mereka segera pergi mengendarai motor setelah berpamitan dengan kedua orang tua Sofi.
**
Hari semakin terik.  Mereka berteduh di bawah pohon rindang sebelah warung kecil. Tanpa aba-aba, Bagus meminta izin meninggalkan Sofi untuk membeli minuman dingin. Memang tidak ada yang salah dengan Bagus. Semua orang tahu Bagus adalah pria yang baik. Bahkan dia sudah mapan dalam pekerjaanya. Sebenarnya tidak ada yang perlu ditakuti Sofi jika setelah ini dia akan menghabiskan sisa hidupnya bersama Bagus.
“Sofi, ini minumnya.” Kata Bagus sembari mengulurkan minuman itu.
“Terimakasih, Mas.”
“Apa yang kamu pikirkan? Sejak tadi pagi Mas perhatikan kamu sering melamun.”
“Sofi baik-baik saja kok, Mas. Mas tidak perlu khawatir seperti itu.”
“Apa karna orang tua Mas yang meminta kita untuk segera menikah?”
“Bukan, Mas. Sofi justru tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali, sungguh.”
Bagus diam seakan membenarkan perkataan Sofi. Dia hanya tersenyum dan menggenggam tangan kekasihnya.
**
Hari itu akhirnya datang juga. Semua anggota keluarga sudah berkumpul di ruang tengah. Begitupun Bagus yang sudah siap di depan meja ijab Kabul. Namun sudah hampir seperempat jam Sofi belum juga muncul, membuat semua orang cemas dan bertanya-tanya.
“Bu, panggil Sofi sekarang,” ucap Ayah Sofi kepada istrinya.
Wanita itu segera berdiri dan berjalan menyusuri lorong ke kamar Sofi.
“(Tok tok tok) Sofi… kamu sudah selesai, Nak?”
“i… iya bu, sebentar lagi Sofi keluar.”
Suara Sofi yang seakan sedang memendam air mata, membuat wanita itu semakin cemas. Dibukanya pintu kamar dan alangkah terkejutnya ia melihat putrinya menangis di depan cermin.
“Sofi, apa yang terjadi?”
“Tidak apa-apa bu, Sofi hanya ingin melepas kesedirian Sofi. Karena setelah ini Sofi akan menjadi seorang istri.”
“kamu cepat rapikan make-up mu ya, setelah itu kita keluar. Para tamu sudah menunggu kita terlalu lama.”
Sofi menyeka air matanya dan keluar. Semua orang tersenyum bahagia melihat calon pengantin perempuannya sudah muncul. Bagus tersenyum ke arah Sofi yang masih tetap berdiri.
Acara ijab kobul itu berlangsung hikmat. Dan akhirnya apa yang selama ini mengganggu pikiran Sofi sudah ia jalani. Kini Sofi dan Bagus sudah menjadi pasangan suami istri. Dan mau tidak mau, Sofi berkewajiban untuk bebakti pada pria itu.
**
Mata itu terbuka setelah Adzan subuh berkumandang. Dilihatnya seorang pria di sampingnya yang masih tidur pulas. Tidak terasa sudah seminggu pernikahan mereka berlangsung. Rasanya masih tidak percaya bahwa sekarang keadaan sudah berubah. Benar-benar berubah.
“Mas, Bangun. Kita sholat subuh.”
“iya dek. Terimakasih sudah membangunkanku.” Jawab Bagus dengan senyum manisnya.
Setelah selesai sholat, Sofipun seperti biasa menyiapkan sarapan untuk suaminya, kemudian mempersiapkan kebutuhan Bagus untuk bekerja. Seminggu dengan keadaan seperti itu membuat Sofi mulai terbiasa.  Seakan memang itulah kehidupan yang sudah digariskan oleh Tuhan untuknya, dan tidak ada jalan lain untuk merubahnya.
**
Keadaan pasar modern ramai pengunjung. Seorang pria mendorong trolinya dan sekilas melihat-lihat beberapa barang yang sekiranya ia perlukan. Sofi berjalan mendekati pria itu lantas berkata.
“Kak Bimo, ini kak Bimo bukan?”
Pria itu berbalik dan tersenyum.
“Dek Sofi, sendirian saja. Suaminya kemana?”
Sofi seketika tersadar bahwa dirinya sekarang sudah bersuami. Ia tidak mungkin lagi dapat bersama kak Bimo seperti dulu.  Meskipun mungkin perasaan itu masih kuat dan membuat hati Sofi berdetak kencang saat bertemu pria itu, tetap saja itu hanya sebatas detak jantung.
“oh, Mas Bagus kerja, Kak. Kamu sendiri kenapa sendirian?”
“Jika tidak sendiri, lalu dengan siapa? Toh kamu sudah bersuami.”
Jawaban Kak Bimo membuat perasaan Sofi menjadi tidak karuan. Ingin sekali ia bercerita pada pria itu bahwa hingga saat ini ia belum menemukan kebahagiaan yang dijanjikan Bagus padanya. Seusai berbelanja, mereka memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah rumah makan favorite mereka dahulu.  Serasa waktu kembali seperti dahulu, sebelum Sofi menjadi istri sah Bagus.
“Bagaimana pernikahan kalian, Sof?”
“Pernikahan…? Baik-baik saja, Kak?”
“Apakah kamu bahagia?”
“Aku… Jelas aku bahagia, Aku mendapatkan semuanya sekarang.”
“Syukurlah jika kamu bahagia. Tapi Sof, Jika kamu masih belum bisa ikhlas dan bahagia bersama Bagus, Aku minta tolong.”
Sofi terdiam sebentar menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh Kak Bimo.
“Aku harap kamu belajar untuk benar-benar ikhlas mulai hari ini. Kalian sudah Menikah, dan sebelum terlambat karena sekarang baru 2 minggu, kamu ihklaskan semuanya.”
“Tapi kak, Aku masih belum bisa.”
“Belum bisa tidak berarti tidak bisa, Sof. Kamu harus tahu, kadang Tuhan tidak mengabulkan doa dan apa yang kamu harapkan. Bukan karena Tuhan tidak meyayangimu. Tapi karena Tuhan tahu apa yang terbaik bagimu.”
“Ya kak, Sofi tahu itu.”
“Kadang sesuatu yang sangat berharga tidak terlihat saat kita berada dalam suatu keadaan. Namun, saat keadaan itu sudah berganti, sesuatu yang berharga itu tiba-tiba muncul bersama rasa kehilangan. Dan aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaan itu, Sof.”
“Apa yang kamu Maksud, Kak?”
“Begini dek, mungkin saat ini kamu merasa tidak ada hal yang berharga saat kamu bersama suamimu. Namun, jika suatu saat kamu akan merasakan kehilangan hal berharga saat kau tidak lagi bersama suamimu. Jadi, cintai suamimu seperti dia mencintai kamu dengan segenap jiwanya.”
Sofi terdiam. Ia tahu apa yang harus ia lakukan mulai saat ini. Mungkin ia memang sudah kehilangan hal berharga beberapa bulan silam. Namun ia tak ingin kehilangan hal berharga lain hanya karena ia menginginkan yang telah hilang untuk kembali.
“Sekarang, Ayo aku antar kamu pulang.”
“Baik kak.”
**
Tidak seperti biasanya Sofi meminta Bagus untuk mengantarnya ke Pasar. Hari ini hari minggu. Sofi berencana untuk menghabiskan akhir minggu bersama suaminya. Sekedar memasak dan makan malam bersama. Selama masak, Bagus hanya memperhatikan Sofi yang terlihat lebih manis dengan senyum keihlasan.
“Sof, Mas ingin bertanya padamu.”
“Tanya apa, Mas?”
“Mas tahu, kamu belum bisa menerima Mas saat hari pernikahan kita. Mas juga sudah berusaha untuk membuatmu bahagia, tapi kamu masih belum bisa memaafkan keegoisan Mas. Tapi, Mas malah menjadi Aneh saat kamu bersikap seperti ini. Akhir-akhir ini sikap kamu kepada Mas mulai berubah. Apa kamu sudah mulai menerima Mas?”
“Mas, Sofi sudah tidak mempermasalahkan semua itu. Sofi sudah benar-benar ikhlas sekarang. Mas adalah hal berharga milikku saat ini. Aku memang sudah pernah kehilangan hal berharga dulu. Dan aku tidak ingin kehilanganya lagi sekarang.”
Dapur itu terasa hangat penuh cinta. Keihklasan membuat keindahan yang belum pernah ada menjadi ada dan bahkan lebih. Keikhlasan yang membuat hidup lebih berharga daripada sekedar memiliki. 

The end

terimakasih sudah membaca

Kamis, 08 Januari 2015

Kursi Roda Kedua



Kursi Roda Kedua

Writer : Silviana

Kicau burung menghiasi suasana pagi itu. di sebuah taman rumah sakit seorang gadis kecil duduk diatas kursi roda, dibawah pohon rindang disamping kolam ikan. Gemericik suara tetes-tetes air ikut menyejukkan suasana pagi yang cerah itu. wajah itu masih terlihat pucat. Dengan baju rumah sakit yang dilengkapi dengan syal berwarna kelabu yang selalu terikat di lehernya. Tak lama kemudian seorang perawatpun mendekatinya dengan nampan yang lengkap dengan bubur, air minum dan beberapa butir obat. Duduk di sebuah bangku panjang yang berada tepat disamping gadis kecil itu dan dengan tersenyum hangat ia berkata “dek, makan dulu ya, nanti minum obat. Biar cepat sembuh”. Gadis kecil itu tak menjawab. Tatapannya terasa kosong.  Perawat itupun tanpa banyak bicara mulai menyuapkan buburnya. Namun mulut itu tak menyambutnya. Bahkan berusaha menjauh dari sendok yang dihadapannya. “satu suap aja,yaa” . gadis kecil itu menatapnya terlihat ingin mengatakan sesuatu. Perawat itu hanya tersenyum. Ia tau gadis kecil itu pasti masih syok untuk menerima kenyataan pahit itu. saat dokter mengatakan bahwa ibunya tersayang tak bisa terselamatkan. Dan kini kakinya, entah sampai kapan ia harus menghabiskan kesehariannya diatas kursi roda. Di usia yang masih tujuh tahun ini, masa depan masih sangatlah panjang. Namun inilah takdir, Semua tak bisa menghindar. Seorang pria yang masih terbalut perban di kepalanya mendekati gadis kecil dan perawat itu. mencoba tetap tersenyum menerima takdir yang telah digariskan. “sayang,makan ya. Biar cepat sembuh” “aku ingin disuapin mama” pria itu seketika terdiam. Dan memandang kearah perawat yang seketika itu langsung meninggalkan mereka. “papa, dinda pengen ketemu mama. Ayo paa” “sayang lihat keatas. Mama sudah tenang disana. Mama pasti bakal sedih banget jika melihat kamu gak mau makan, gak mau minum obat. Memang kamu mau liat mama menangis disana?” “tapi dinda kan pengen ketemu mama pa” “iya sayang, Papa tau kok. suatu saat nanti kita pasti bisa kumpul sama mama lagi, sekarang kamu makan ya. Nanti nasinya nangis loh kalo kamu cuekin”. Rasanya memang sangat memukul. Terlebih bagi Haris. Baru delapan tahun ia menikah. Anak mereka masih berusia tujuh tahun. Kini istrinya harus pergi meninggalkannya, dan anak semata wayangnya harus lumpuh. Akankan ia kuat menghadapi semua ini? Dinda masih terlalu kecil untuk mulai merasakan penderitaan. Tiba tiba tetes air mata tak dapat lagi dihindarinya.  
*
Siang itu haris tampak membereskan beberapa pakaian dan dimasukkannya kedalam koper besar. Entah apa yang akan dilakukan pada pakaian pakaian itu. sosok ibu dari almarhuman Lisa (istrinya) masuk ke kamar itu dengan mendorong kursi roda bersama Dinda. Tak ada yang bersuara disana. Kembali haris mengencangkan sleting koper mereka satu persatu hingga menimbulkan suara ktreek ktreek yang melepas kesunyian itu. setelah semua selesai  ketiganya pun keluar membawa koper itu mendekati sebuah mobil yang telah disiapkan oleh supir keluarga Haris,Mang Yono. Bi Asri pun tak ketinggalan untuk berada di teras rumah itu dengan mata yang berkaca kaca. Langkah mang Yono seakan membuat tatapan tatapan kosong mereka tersadarkan. Hanya mengambil koper dan menaruhnya dibagasi mobil tanpa mengucapkan satu kalimatpun dari mulutnya. Fyuuuh helaan nafas Haris seakan memulai pembicaan. “bu, kami pergi dulu ya. Ayo Dinda” “nenek, Dinda pergi dulu ya” dengan mata berkaca kaca ibu sekitar 65 tahun itu hanya menatap mereka satu persatu secara bergantian. “ya Ris, jaga diri baik baik disana. Jaga Dinda” “ya bu, kami pamit” pintu mobilpun dibuka mang Yono untuk mereka. Haris segera membopong putrinya masuk ke mobil dan mang Yono tanpa aba aba langsung melipat kursi roda dan meletakkannya di bagasi mobil. Beberapa menit mobilpun berjalan mulai menjauhi teras dimana mereka berpisah tadi.
*
“Heey teman-teman ada murid baru pincang. Hahahaha”
“hahaha pincang, pincang, pincang”
Dinda menangis dengan kerasnya pagi itu, anak mana yang tidak menangis jika diledek oleh teman-teman barunya seperti itu, yah mereka semua memang masih anak-anak. Mereka belum mengerti bagaimana kehidupan nyata yang sesungguhnya. Yang mereka tau hanya bermain dan sekolah. Dua tahun kemudian nenek Dinda meninggal dunia. Sejak saat itu Haris seakan benar-benar terputus dari keluarga Lisa. Hanya Dinda yang dia punya saat ini. Namun pekerjaan yang mewajibkannya pindah ke luar negeri mengharuskannya untuk menitipkan Dinda di panti asuhan. Waktu itu Dinda masih berumur 10 tahun, ia tak bisa berbuat apa apa kecuali hanya menangis melihat ayahnya juga ikut pergi meninggalkannya. Untungnya di panti asusan itu ia memiliki teman baik yang selalu mencoba membuatnya tersenyum. Dia satu-satunya anak yang seumuran dengan Dinda disana, dia bernama Riko. Riko sudah berada di panti asuhan ini sejak ia bayi. Setidaknya Dinda lebih beruntung karena masih mengenal keluarganya daripada Riko yang sampai saat inipun tidak pernah tau darimana dia berasal.
Saat memasuki kelas 2 SMP, Riko membelikan sepasang tongkat untuk Dinda dengan tabunganya selama ini pada hari ulang tahunnya, sekaligus hari perpisahan mereka berdua. Riko diadobsi oleh salah satu keluarga yang tinggal diluar kota. “Dinda, belajar berdiri ya, jangan pakai kursi roda terus” hanya kalimat itu yang diucapkan oleh Riko saat menyerahkan hadiahnya pada Dinda.
*
Pagi itu panti asuhan sedang sepi. Dinda berniat untuk mencoba berjalan menggunakan tongkat pemberian Riko. Dengan susah payah ia mencoba berdiri dengan tongkat yang digenggamnya erat. Namun lantai yang licin membuat tubuhnya terjatuh kelantai dan pinsan.
Mata itupun terbuka dan banyak sekali orang yang mengelilinginya termasuk pengasuh panti dan seorang dokter muda. “syukurlah kamu sudah bangun, ibu sangat hawatir melihat kondisimu tadi. Apa yang kamu lakukan sayang?” “Dinda hanya ingin mencoba berjalan dengan tongkat. Dinda gak mau jalan dengan kursi roda terus”. Dokter didepan Dindapun tersenyum “Dinda, kalo kamu ingin bisa berjalan lagi, bagaimana kalau kamu ikut terapi disini”. Dinda tidak lekas menjawab, melainkan memandang kea rah pengasuh panti yang selama ini dia anggap menjadi ibunya.
“Dinda tenang saja, biayanya gratis kok. Karna kamu dari panti asuhan, jadi rumah sakit ini memberikan keringanan buat kamu”. Senyum itu seketika mengembang dan kepala itupun mengangguk.
*
“Dinda” tegur seorang pria yang tiba-tiba berada didekatnya.
“ya, kamu siapa?” pria itu bukannya menjawab tapi justru melihat kearah kaki Dinda”
“kamu beneran Dinda? Dinda udah bisa jalan?”
“darimana kamu tau kalau aku dulu gak bisa jalan?”
“mending aku anter kamu pulang dulu, nanti aku certain”
Dinda terlihat bingung dengan pria ini. Darimana dia tau namanya, masa lalunya, dan rumahnya. Sampai dipanti semua anak-anak terlihat senang bermain dengan mainan baru mereka.  Ibu pengasuh panti terlihat bahagia diatas kursi rodanya. Faktor usia mengharuskan ibu untuk berada diatas kursi roda. Dan sekarang adalah saatnya Dinda membalas jasa ibu yang dulu setia merawatnya saat masih lumpuh.
“ibu, darimana semua mainan ini? Dan siapa dia?”
“kamu tidak ingat siapa dia? Dia yang berusaha buat kamu berjalan sampai akhirnya jatuh dan pinsan”
“dia, Rikooooooooooooo” Dinda berlari kearah pria itu dan memeluknya. .. tidak disangkan Riko tumbuh dewasa menjadi pria tampan sehingga membuatnya lupa.
Sore itu panti terlihat kembali sepi. Adik-adik dinda sedang les di tempat seorang guru SD yang tidak jauh dari tempat itu. Dinda dan Riko duduk ditaman yang masih menjadi tempat favorit mereka sejak dulu hingga saat ini. Suasananya tenang, dengan angin yang berhembus lirih serta dedaunan yang melambai-lambai dan gemericik air yang bernyanyi. Riko mengeluarkan sebuah kartu dan memberikanya pada Dinda. Awalnya dinda bertanya Tanya dalam hati apa maksudnya kartu ini? Sampai akhirnya Riko menjelaskanya. “aku bekerja disana. Itu perusahaan milik om ku, dan saat ini perusahaan itu sedang membutuhkan tenaga administrasi. Aku harap kamu tidak menolak tawaranku.”
“ha, yang bener? Ya aku mau. Jelas aku mau, Riko kamu emang sahabat yang paling baik sedunia” senyum semangat Dinda membuat Riko ikut tersenyum lega . Dengan begitu rasa bersalahnya karna sudah meninggalkan Dinda sendiri dipanti setidaknya berkurang.
*
Tidak terasa hari ini adalah bulan ketiga Dinda bekerja di perusahaan dimana Riko juga bekerja. Riko memang menjadi atasan Dinda disini,namun ia tetap menjadi sahabat Dinda diluar kantor. Para pemilik perusahaan akan datang pada hari ini, semua berkumpul di ruang terbuka yang berada di teras belakang kantor. Seorang pria separuh baya berbadan besar dan tinggi duduk dibangku paling depan.
“itu pemilik perusahaan ini” bisik Riko di telinga Dinda. Seusai acara, pria tinggi itu mendekati Riko dan Dinda. “Riko, terimakasih atas kerja keras kamu selama ini. Oh ya siapa dia? Pacarmu? Sejak kapan kamu ke kantor membawa pacarmu?”
“oh tidak pak, ini sahabat saya, sudah seperti adik saya sendiri. dan kebetulan dia juga sudah 3 bulan bekerja di perusahaan ini sebagai administrastor” jawab Riko dengan lembut.
“oo ya ya, saya pernah dengar ada karyawan baru disini. Siapa nama kamu? Tanya pria tinggi itu pada Dinda.
“nama saya Dinda Kusuma pak, cukup dipanggil Dinda saja”.
Wajah pria itu tiba-tiba berubah. Seperti ada sesuatu yang sedang ia fikirkan. Namun sosok wanita yang seketika itu muncul disampingnya  membuat senyumnya kembali di sudut bibirnya. “baiklah saya pemisi dulu Riko, Dinda”. Pria itupun pergi bersama wanita yang digandengnya, mungkin dia istrinya.
*
Dinda menangis di taman panti dengan mengenggam foto kusam ditanganya. Riko berlari kearah panti dan menemui ibu. “bu, dimana Dinda?”
“tadi ibu lihat dia ditaman sedang menangis? Apa yang terjadi? Kenapa tadi dia pulang lari sambil menangis?” Riko tanpa sempat menjawab langsung berlari menuju taman panti, membuat ibu merasa semakin bingung. Riko berjalan mendekati Dinda yang masih saja menangis. Diambilnya foto kusam itu dari genggaman tanganya. “jadi benar yang aku fikirkan selama ini? Aku sudah menduganya sejak awal. Aku seperti pernah melihatnya di album fotomu.” Riko memeluk Dinda dan mengusap punggungnya.
“kenapa kamu hanya diam?” tanya Riko lagi.
“lalu? Apa yang harus aku lakukan? Aku tak bisa memanggilnya ayah lagi kan? Dia sudah punya keluarga baru. Dan aku hanya bagian dari masa lalu yang dibuang”
Pria yang ditemui Dinda hari ini,pria tinggi yang merupakan pemilik perusahaan tertinggi tempat dimana ia bekerja sekarang tidak lain adalah Haris, Ayah kandung Dinda sendiri. Namun bahkan untuk memanggil anakku, dia saja pergi bersama wanita lain yang harus Dinda panggil ibu tiri. Yaps benar, Haris tidak mengakui Dinda sebagai putrinya, putrinya yang lumpuh yang ditinggalkanya di panti asuhan dan kini menjadi salah satu karyawan terbaik diperusahaan yang ia pimpin.
Singkat saja, serapat apapun bangkai di sembunyikan, pasti akan tercium juga. Istri Haris mengetahui bahwa Dinda adalah anak Haris dari istrinya yang dulu. Semua itu berawal saat anak Haris(adik tiri Dinda) memarahi Dinda didepan banyak karyawan perusahaan. Haris yang tidak tega melihat anak gadisnya di permalukan, justru balik marah pada putranya. Semua orang yang berada di perusahaan itupun terkejut saat haris memeluk Dinda yang menangis tersedu-sedu. Kejadian itu diadukan oleh putranya pada ibunya. Karna wanita itu tidak tau menau tentang apa yang sebenarnya terjadi, ia berfikiran bahwa Dinda adalah gadis yang tidak tau diri karna ingin mendekati pimpinanya. Hari itu istri Haris datang mencari dinda. Seperti yang ia duga, wanita itu menemukan dinda bersama Riko dalam ruangan administrasi. “oh jadi begini tingkah laku kalian. Jadi begini sebenarnya kamu Dinda. Kamu mendekati suami saya padahal kamu sudah berpacaran dengan Riko”
“maaf ibu, saya bisa jelaskan” ucap Riko mencoba menghentikan emosi istri pimpinanya.
“kamu diam Riko, jelas-jelas pacarmu mendekati suami saya, kamu masih saja membelanya. Mulai sekarang kamu saya pecat”
“ibu, ibu tidak bisa seperti itu, yang mengangkat dinda kan HRD, jadi yang berhak memecat dinda juga HRD” tegas Riko memberikan pembelaan pada gadis yang sedari tadi bersamanya.
Keributan itu terdengar oleh Haris. Pria itupun menghampiri ruangan itu. “ada apa ini? Loh ma, kenapa ada disini? Mari kita bicarakan baik-baik diluar. Tidak enak berada disini. Dan kalian Riko, Dinda kalian juga ikut bersama kami”
Ke empatnya keluar dan menuju ke sebuah rumah makan yang tidak jauh dari kantor. Disana Haris mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa Dinda adalah anaknya dengan istri pertamanya yang meninggal saat Dinda masih kecil. Namun istri Haris masih saja tidak bisa menerima jika Dinda kembali masuk ke kehidupan Haris. “bukankan dia sudah kamu buang dulu? Kenapa sekarang kamu mau mengambilnya lagi?”. Dinda terdiam dan kemudian berdiri. Ia segera pergi meninggalkan tempat itu. Dinda benar-benar tak habis pikir.jadi selama ini dia dibuang? Sengaja ditinggalkan dipanti asuhan dengan alasan akan melanjutkan pekerjaanya di luar negeri? Ternyata semua itu bohong? Dinda menangis sepanjang jalan. Ingin sekali ia mengakhiri hidupnya, maka iapun berdiri di tengah jalan menunggu laju mobil dari arah depanya menghantam tubuh itu. Haris berlari dari dalam rumah makan setelah melihat laju mobil dari arah utara. “Dinda kamu gila sayang, awaaas.”
Mata Dinda terbuka dengan berkaca-kaca. Gerakan ayahnya lebih cepat dari laju mobil itu. “apa yang kamu lakukan sayang? Ayah menyayangimu. Ayah mohon maafkan ayah Dinda”. Haris mencoba berdiri dengan tubuh yang sempoyongan. Tubuhnya yang lemas membuatnya bergerak kearah jalan raya. Dinda terbelalak setelah mendengar teriakan istri Haris dan Riko dari sebrang jalan, “awas pak Haris. Awaas”. Laju mobil besar yang lebih cepat dari laju mobil pertama datang kearah Haris. Tubuh Haris yang sempoyongan membuatnya pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. Dinda segera berdiri dan  membawa tubuh ayahnya ke pinggir.
*
Lampu kamar itu terlihat silau saat Dinda membuka matanya. Semua orang yang ada ditempat itu segera mengelilingi tubuh Dinda yang masih lemas. Meskipun mobil itu akhirnya berhenti, namun ban mobil depan sempat melindas kaki Dinda. Haris menangis memeluk tubuh putrinya yang rela mengorbankan kakinya untuk menyelamatkannya. Padahal yang mereka semua tau, Dinda barusaja turun dari kursi roda beberapa tahun lalu. Dan sekarang ia akan berada dikursi roda untuk selamanya. Satu kalimat yang terucap manis dari bibir Dinda adalah “Ayah belum pernah merasakan duduk diatas kursi roda, ayah pasti akan kesusahan. Sedangkan Dinda sudah bertahun-tahun hidup diatas kursi roda, jadi Dinda sudah terbiasa”.
Haris semakin menangis mendengar ucapan putrinya. Semua orang menangis melihat keadaan Dinda dalam kamar rumah sakit sore itu. Haris tidak menyangka anak yang dulu berniat ia buang karna cacat, ternyata menyelamatkan hidupnya dan rela untuk kembali cacat.

Selesai