Sabtu, 17 Oktober 2015

Ajari Aku Move On (AAMO)

Getar ponsel membangunkan tidurku pagi ini. Entah kenapa, pipiku tertarik keatas, aku tersenyum. Inikah rasa yang selama ini aku tunggu? Aku selalu berharap perasaan aneh yang akan kembali datang tidak disertai rasa sakit. Namun, ternyata aku salah. Sekeras apapun benteng dibuat, dia memiliki satu rahasia yang bisa membuatnya hancur bahkan meleleh. Dan saat dia meleleh, semampu apapun untuk tegar, rasa sakit itu tetap ada. Seperti mesin tua yang sudah lama tidak terpakai, saat mereka mencoba berjalan, decitan-decitan, goresan-goresan, akan mulai terdengar menyakitkan.
"Selamat pagi." 

Pesan singkat yang kubaca saat mataku masih setengah terbuka membuatku meneteskan air mata. Rasanya benar-benar berbeda saat sudah hampir bertahun-tahun aku menyimpan satu rahasia pengunci benteng, dan sekarang mungkin awal pembobolan benteng itu sedang dimulai.

***
Satu bulan sebelumnya.

Ini kali keduanya September datang sendirian. Membuka kembali kepingan-kepingan perasaan yang terjaga. Seperti biasa, ku jalani September tahun ini dengan penuh rasa penasaran, apa kejutan yang akan aku dapat? Setelah tiga tahun berturut-turut aku selalu mendapkannya. Kecuali tahun lalu.
Ponselku berbunyi, pemberitahuan dari salah satu media sosialku membawa senyuman yang aku tunggu kedatangannya, karena hanya ada satu kali September dalam setiap tahunnya.
Nama seorang pemuda muncul dalam pesan. Pemuda yang mungkin dari dulu selalu aku tunggu. Bahkan saat kita sudah sepakat untuk memilih berbelok di pertigaan yang berbeda, aku masih tetap menunggu. Hingga rasanya kaki ini membatu dan enggan kembali berjalan. 

"Hai, September. Terimakasih karena masih terdengar kabarnya." Balasku.

Hari ini kami kembali. Kembali seperti September sebelumnya, dan kembali melihat kepingan-kepingan itu mulai kembali menyayat.

"Kenapa masih saja September sih, Sil?" Tanya seorang teman dekat yang mulai menarik kursi untuk duduk di sampingku.
Aku hanya tersenyum. Hingga dia melanjutkan kalimatnya.

"Semua itu sudah berakhir dan tertinggal bertahun-tahun yang lalu, Sil. Apa kamu akan tetap seperti ini? Menunggu di pertigaan ini padahal yang kamu tunggu sudah berlari?"

Aku diam. Memang benar kata Novi (sahabatku). Aku tidak seharusnya tetap berada disini. Sekedar untuk menunggu kembalinya hal yang mungkin hanya akan tetap menjadi harapan.

"Tapi aku suka disini, Nov." Jawabku kemudian.

"Tapi kamu harus mulai kembali berjalan, kita sudah bukan lagi anak SMA seperti dulu."

Ah... Benar saja, Novi memang sudah berkeluarga. Dia merupakan pasangan muda yang baru resmi bulan lalu. Benar saja jika dia sudah mulai mengatakan hal-hal yang memaksaku untuk sadar.

"Semua kan gak mudah, Nov."

"Tidak mudah, karena kamu tidak mau mencoba." Jawabnya ketus, lalu meninggalkanku. 
Mungkin dia kesal menghadapi ego tinggi yang tidak memiliki alasan yang kuat ini. Namun, entah kenapa aku masih takut untuk berjalan. Takut saat aku berjalan, dia kembali ke pertigaan, dan saat itulah aku sudah tidak bisa menyambutnya disana.

 ***
Cuaca panas di depan pusat perbelanjaan siang ini mampu membuat kepala ikut merasakan panasnya. Aku bersandar di salah satu dinding ruang satpam sembari menunggu Novi yang hendak mengambil kiriman uang dari suaminya.
Hari ini tepat tanggal 24 September, tanggal paling bersejarah dalam lima tahun terakhir. Harusnya aku lebih bisa mempertahankan semuanya. Bukan merelakan untuk melepasnya dalam sebuah pertigaan yang menyakitkan.
seorang pemuda entah sejak kapan memperhatikanku. Seorang kepala marketing yang baru saja keluar dari sebuah stand pameran mobil. pemuda itu melihatku dengan senyum menyungging di bibirnya. 

"Siapa dia? apa dia melihatku?" tanyaku pada diri sendiri dan berusaha memalingkan wajah secepatnya.
September akan segera berlalu, itu tandanya aku harus segera kembali melupakan dia, dan menyimpan kembali rapat-rapat kepingan ini. Meski sebenarnya akupun tidak rela jika harus kembali melupakannya. 
Hari ini seperti biasa aku ikut jalan bersama Ana, salah satu teman kuliahku. Yah... karena memang tidak ada teman lain selain dia jika kalender menunjukkan hari sabtu. 

"Sil, ada yang mau kenalan nih." kata Ana setelah duduk di sampingku.

"Siapa?" tanyaku dengan alis terangkat.

"Kenalan sendiri aja, Ya." jawabnya kemudian berlalu meninggalkan seorang pemuda yang tidak terlihat asing lagi bagiku.


"Hai..." Sapanya.

"Hai juga." Jawabku sambil mencoba mengingat-ingat siapa pemuda ini.

Sepertinya aku memang pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi dimana?

"Temannya Ana kuliah?" Tanyanya.

Aku hanya mengangguk mengiyakan, masih mencoba menebak siapa dia sebenarnya.

"Kenalin, aku David." ucap pemuda itu sambil mengulurkan tangannya.

Tanpa menunggu lama, ku jabat tangannya dan tersenyum.

"Aku Shila." Sapaku pendek.

Selama perjalanan pulang, aku masih berusaha mengingat siapa pemuda yang beberapa menit lalu mencoba mengajakku berkenalan. Aku yakin, aku benar-benar pernah melihatnya. Di suatu tempat, di pusat perbelanjaan. Yah... aku ingat sekarang. Dia pemuda yang aku lihat di depan pusat perbelanjaan siang itu. Pemuda yang berdiri di depan pameran mobil. Bukan kepala marketing, namun pemuda yang berdiri di sampingnya.

"Sil, pinjem laptop dong. Punyaku kan baru di service." kata Ana yang tiba-tiba masuk ke kamarku.

"Itu, pakai aja." jawabku tanpa menoleh ke arahnya.

Setelah hampir lima belas menit dia mencari artikel untuk tugasnya, dia pun duduk bersila di depanku.

"Sil, David gimana?" tanyanya dengan alis terangkat.

"Gimana apanya, An." 

"Jangan pura-pura gak ngerti deh, Sil. Aku kan udah coba bantuin kamu."

"Aku lupa kalo ada dateline ngumpulin artikel ke kantor. Aku bisa ngerjainnya sendirian gak?" mencoba menyuruh Ana untuk cepat pergi dari kamarku.

"Yasudah. Aku berharap sih kamu bisa cepat-cepat berhianat. Jangan selalu setia sendiri seperti ini." jawabnya cepat, lalu segera meninggalkan kamar.

Ku lepas kaca mata bacaku. Mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan. Kenapa semua orang seakan menginginkan aku untuk meninggalkannya. Meninggalkan September yang mungkin saja akan datang tahun depan. Ku buka kotak yang berada di tumpukan paling bawah di samping meja belajar. 

"Apakah aku boleh berjalan?"
***
Denting jam bergema di sudut-sudut ruang depan. Berdenting sebanyak 12 kali. Itu artinya, September telah pergi dan Oktober mulai menggantikan. Sebenarnya aku tidak ingin September berlalu secepat ini. Aku masih ingin bernostalgia dengan rasa sakit namun mampu membuatku tersenyum setiap tahunnya.
Malam ini aku belum bisa terlelap. Mataku masih ingin terjaga menyaksikan September yang pergi tanpa satu kejutanpun. Tidak ada kejutan tahun ini, seperti halnya tahun lalu. Tapi kenapa aku masih suka menunggunya? apakah dia pernah mencoba merasakan bahwa kepergiannya mampu membuatku seperti sekarang? Membuatku benar-benar tidak berani untuk kembali berjalan, karena takut dia akan datang kembali menanyakan dimana aku yang pernah berkata setia untuk menunggu. Tetap menunggu meskipun dia juga mungkin menunggu sosok lain, dan bukan aku.
Ku genggam kalung itu erat-erat. Jujur aku ingin melepasnya dari leherku. Namun, setiap kali aku mencoba, aku benar-benar merasa hampa. Entahlah, benda itu memberi kenyamanan yang selama ini membuatku tegar. Bukankah aku sudah pernah berkata bahwa aku hanya akan melepas benda itu saat benda lain yang sama dipakaikan padaku. Mungkin itu salah satu alasan kenapa aku tidak pernah bisa melepasnya. Karena hanya lewat benda itulah, dia selalu ada.

Suara Adzan dari masjid sebelah kost membangunkanku. Baru beberapa jam yang lalu aku terlelap. Kamar sebelah sudah terdengar sangat berisik. Entah apa yang sedang dilakukan Ana sekarang. Dia memang memiliki kebiasaan berisik di pagi hari. Setelah sholat, aku putuskan untuk menengok ke kamarnya. Siapa tahu dia butuh bantuan tetangga kamar.

"Ana, kamu lagi ngapain sih. Berisik banget." ucapku di depan pintu kamarnya.

Terdengar Ana sedang mendekat ke pintu dan memutar kunci. Setelah pintu terbuka, tanpa dipersilakan masuk, akupun segera menuju ke kasur empuknya.

"Kirain kesini mau bantuin, eh tahunya mau numpang tidur." 

"Emang lagi nyari apaan?" tanyaku mencoba tidak mempermasalahkan ucapannya tadi.

"Nyari flashdisk nih, Sil. Aku kan mau presentasi nanti."

"Kenapa gak pinjem punyaku dulu sih, An. Sambil di inget-inget lagi kemarin kamu naruh dimana." jawabku menawari.

"Benar juga ya, Sil. Oke deh aku pinjam punyamu."

Segera ku langkahkan kakiku keluar dan kembali ke kamarku untuk mengambilkan benda yang mampu membuat pagi ini begitu menyebalkan.

"Nih." kataku sambil menyodorkan flashdisk milikku.

"Sil, aku boleh minta tolong lagi gak?"

"Apa, An?" tanyaku.

"He... ternyata flashdisk ku dibawa sama David kemarin, kamu mau gak ngambilin buat aku?, please... kamu gak ada jam hari ini, Kan?" katanya memohon sambil menggoyang-goyangkan tanganku.

Karena tidak ingin membuat jam tidurku berkurang, maka ku putuskan untuk menganggukkan kepala.

"Makasih, Sil. Nanti kalian janjian aja mau ketemu dimana, aku udah kasih nomor kamu ke dia."

"Kamu kasih nomorku? kenapa gak bilang dulu, An." Kataku kaget.

"Gak usah kaget gitu, Sil. Cuman nomor ponsel aja, Kan." jawabnya, kemudian kembali memasuki kamar dan menutupnya,
***
Pemuda itu berjalan ke arahku. Hari ini kita bertemu di sebuah taman di pinggi jalan pukul 09.00 sesuai perjanjian. 

"Mana flashdisknya." Tagihku saat dia sampai di depanku.

"Ini. Mau langsung balik, Sil? Tanyanya.

Aku menganggukkan kepala. Aku bukanlah tipe orang yang mudah bergaul, apalagi dengan seorang pria. Tapi pemuda itu tetap terlihat santai, seakan mengerti bahwa sosok yang berada di depannya ini butuh pertolongan. 

"Udah gak ada apa-apa lagi, Kan? Aku balik duluan." Kataku, lalu pergi meninggalkan pemuda itu sendiri.

Namun, baru beberapa langkah tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan yang masuk membuatku kaget.

"Apa aku terlihat menakutkan?" Sebuah pesan yang dikirim oleh pemuda di belakangku.
***
Siang di awal Oktober begitu panas. Aku mengunggu Novi dengan sebuah jus mangga di tangan. Sudah 10 menit yang lalu aku menunggu di depan toko seperti ini. Tapi dia belum juga muncul.

"Sil, maaf ya aku telat." Kata wanita itu dengan nafas masih terengah-engah.

"Ya, baru sepuluh menit kok." Jawabku.

Dia hanya tersenyum. 

"Ada apa?" Tanyanya.

"Cuman mau cerita aja." 

"Boleh, asal jangan soal pemuda itu lagi."

Aku kembali diam, siapa lagi sosok yang akan aku ceritakan jika bukan dia?. 

"Diam? Berarti pemuda itu kan yang akan kamu ceritakan. Sekarang apa lagi? Oktober tiba-tiba kembali menjadi September?"

"Gak, Nov. Ih kamu sih main asal tebak aja." Jawabku mencoba menghindari kemarahan Novi.

Aku tahu, sahabatku satu ini tidak pernah suka sikapku yang selalu memuja pemuda itu. 

"Lalu?" Tanyanya singkat.

"Aku ingin move on."

"Sil, sejak kapan sih kamu bilang pingin move on. Sejak tahun berapa? kamu move on atau kredit motor? Heran deh sama kamu, Sil."

"Jangan marah-marah gitu kenapa sih, Nov." Kataku dengan wajah tertekuk.

"Aku gak marah, Sil. Hanya saja tidak suka caramu yang setengah-setengah."

Aku menunduk. Bagaimana dia bisa berkata bahwa aku hanya setengah-setengah. Dia tidak tahu bagaimana posisiku sebagai orang yang meninggalkan, bukan sebagai yang ditinggalkan.
***
Minggu pagi. Rasanya aku benar-benar ingin keluar untuk sekedar melepas penat dan pikiran yang kacau minggu-minggu ini. Tugas kuliah, dateline cerpen, seakan membuat kepalaku benar-benar penuh. Hari ini Ana sudah ada janji, begitupun Novi yang pasti akan lebih memilih menikmati akhir pekannya dengan keluarga. Ponsel lagi-lagi bergetar. Aku berharap kali ini ada seseorang yang mengajakku pergi berlibur barang sehari saja. Dan benar. Pemuda itu seakan mengerti apa yang sedang aku rasakan, dan apa yang aku butuhkan.

"Sil, kamu ada waktu gak? Mumpung aku libur kerja, kita jalan yuk. Kamu mau?"

Daripada aku sendirian di kost, maka aku pun mengiyakan. Setengah jam kemudian, dia datang menjemputku. Kami menelusuri jalan menuju ke pantai. Lagi-lagi kepiting memang harus berada di pantai, meskipun dia mencoba tidak kembali kesana.
Seharian kami habiskan bermain di pinggir pantai, di sebuah pulau yang berjarak lima belas menit dari pantai yang kami kunjungi.
Bermain sepeda, berlarian, saling mengejar, dan anehnya, aku merasa bahagia hari ini.

Jam menunjukkan pukul empat lebih seperempat. Ombak masih tinggi, begitu pula angin kencang yang sedari siang tidak kunjung berhenti. Terpaksa kami harus menunggu ombak reda untuk menyeberang. Atau mungkin kami akan terjebak di pulau ini hingga pagi besok saat kapal-kapal pengunjung mulai berhenti di dermaga. Entahlah, aku tidak merasakan kekhawatiran sedikitpun. Yang ada hanya rasa takut, rasa takut saat dia menggenggam tanganku. Tiba-tiba rasanya benar-benar sakit, menyayat dan membuka luka lama. Kenapa dia menyentuhku? Kenapa ada orang lain yang menyentuhku?
***
Aku sampai di kost 10 menit sebelum maghrib. Setelah ku buka pintu kamar, foto kusam di dinding itu segera terlihat. Foto itu masih tetap tersenyum. Empat tahun yang lalu, dia memutuskan pergi dan mengatakan bahwa hidupku harus bahagia. Tanpa pernah merasa bahwa kepergianya membuat hidupku jauh dari kalimat yang diucapkan. Apakah bahagia seperti tadi siang yang dimaksudnya? Jika benar, bahagia itu terasa menyakitkan. Sakit sekali saat sadar bahwa aku membutuhkan seseorang dalam hidupku, sakit saat aku masih saja mengharapkan dialah seseorang itu, dan sakit saat aku tahu, seseorang yang membuatku bahagia hari ini bukanlah dia. 
Pintu kamar diketuk beberapa kali. Ku buka dan terlihat Ana sudah berdiri membawakan sekotak cokelat ditangannya.

"Sil, darimana aja seharian?"

"Jalan-jalan. Lumayan lah buat hilangin penat."

"Sama David?"

Aku menoleh ke arahnya. Darimana dia tahu bahwa seharian aku bersama pemuda itu?

"Aku cuma nebak aja, Sil. Jadi beneran sama David?" Tanyanya semakin antusias saat melihatku kaget dan menatapnya tajam tadi.

Aku mengangguk. Berharap semoga perasaan aneh ini tidak berlangsung lama. Semoga besok semua akan kembali kepada masa awal dimana aku tetap setia menjaga kepingan September. Mungkin hari ini aku khilaf. Karena sudah terlalu lama merasakan sepi, maka harapan itupun datang. Menjemput rasa sakit yang sebenarnya ingin aku pendam.
Adzan maghrib membuyarkan lamunanku. Dengan sedikit kecewa karena belum mendengar ceritaku, Ana berdiri dan meninggalkan kamarku menuju ke kamarnya sendiri. Segera aku ikut berdiri dan melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Segarnya air membuatku tenang, bahwa semua ini hanya perasaan yang akan segera hilang.

***
Ku buka mataku setelah mendengar adzan subuh dari masjid sebelah kost. Masih lelah sekali karena kemarin seharian aku putuskan untuk pergi bersama David. Pemuda yang mungkin saat ini sedikit terpikirkan olehku. Getar ponsel membuatku bertanya, siapa yang mengirim pesan subuh-subuh begini. Memang sudah sangat lama sekali tidak pernah ada getar ponsel di pagi hari. 

"Selamat pagi."

Pesan itu mampu membuat bibirku tersenyum seketika. Namun, tiba-tiba air mataku menetes bersama senyuman yang masih tersungging. Berawal dari satu tetesan, hingga akhirnya sebuah isakan tangis di awal hari Senin. Inikah bahagia yang dimaksud? Bahagia yang dikatakan oleh seorang pemuda empat tahun lalu. Apa aku sudah menemukannya setelah menempuh empat tahun perjalanan meninggalkannya?

Hari ini, kuliah selesai pukul 12:00 WIB. Karena sedari pagi aku belum mengisi perut, rasa lapar seakan membawaku berlari menuju kantin kampus. Benar saja kantin padat pengunjung hari ini. Ini hari senin, semua mahasiswa mulai dari semester awal sampai akhir mempunyai jadual. Dengan langkah kecewa karena tidak kebagian tempat duduk, aku kembali menuju gedung A yang terletak 100 meter dari kantin. Ingin cari makan diluar, tapi aku tidak tahu tempat makan mana yang kosong saat tengah hari seperti ini. Ponselpun berdering.
"Masih sibuk, Sil? Kok gak di angkat-angkat."

"Maaf. Biasanya kan gak ada yang telfon. Ini aku lagi mau nyari makan. Kantin penuh." Jawabku.

"Kebetulan banget, mau nemenin aku makan gak? Kita makan diluar." Tawarnya.

"Boleh aja, jemput di kampus, Ya." Kataku.

"Oke. Sebentar lagi aku sampai."

Panggilanpun terputus. Benar saja, baru sekitar sepuluh menit, dia sudah berada di tempat parkir. Karena tidak ingin dilihat banyak orang, maka aku segera memakai helm dan naik ke atas motornya.

"Mau makan dimana?" Tanyanya dalam perjalanan.

"Terserah kamu." Jawabku sekenanya.

Aku memang tidak begitu suka memilih ingin makan apa. Aku lebih suka mengikuti kemauan seseorang dalam hal memilih menu dan tempat makan. Kami berhenti di salah satu tempat makan yang tidak begitu jauh dari kampus. Ku lihat disana juga tidak ada pengunjung yang mengenaliku.
"Aman." Pikirku tenang.
Dia hanya tersenyum melihatku seakan tahu kalau aku was-was jika ada pengunjung yang mengenali kami.
Sambil menunggu pesanan, kami hanya saling diam, hingga piring kami sama-sama telah kosong. Mulai saat itu, bisa dikatakan hubungan kami mulai akrab. Aku sudah tidak perlu jaga image seperti awal-awal. Dan aku baru sadar, bahwa sikapku ini salah. Tidak seharusnya aku membuka lagi semua ini. Jika aku membukanya, bagaimana jika September ingin kembali. Bukankah aku harus selalu menunggunya? 
***
Malam ini Novi berkunjung ke kamarku. Dia terlihat kesal saat melihat foto yang sudah mulai kusam itu masih menggantung di dinding kamar. Namun, dia tidak banyak komentar. Hanya tarikan nafas panjang yang membuatku mengerti bahwa dia tidak nyaman berada disini.

"Kemarin aku kesini, tapi kata ibu kost, kamu lagi pergi." Katanya.

"Kapan, Nov?"

"Minggu kemarin. Waktu kamu bilang kamu ingin jalan-jalan. Setelah bicara sama mas Bagus, dia setuju buat ngajakin kamu sekalian. Tapi, waktu aku kesini, ibu kost bilang kamu lagi pergi sama cowok. Siapa?" Tanyanya penasaran.

Jelas saja dia penasaran. Karena selama beberapa tahun terakhir ini aku tidak pernah pergi berdua dengan seorang laki-laki.

"Oh... Ya. Aku pergi sama temen, Nov. Kamu kenapa gak bilang kalau mau kesini?"

"Aku kan gak tahu kalau kamu pergi. Biasanya kan selalu ada di kamar." Jawabnya dengan senyum-senyum.

"Jadi ini, yang kamu bilang kemarin waktu ketemu di Toko?" 

Aku menoleh ke arahnya.
"Apa?" Tanyaku tidak mengerti.

"Ya itu... Waktu kamu bilang, kamu ingin Move on. Apa dia yang akan membuatmu Move on?"

"Dia?"

"Ya, Sil. Dia, dia yang mengajakmu pergi kemarin."

Aku hanya diam. Bahkan aku belum sempat berpikir bahwa aku akan mengobati semuanya dengan menghadirkan David. Tapi, Novi justru berharap David lah yang akan mengubur semua kenangan-kenangan itu. Ku arahkan pandanganku menuju foto yang tergantung di dinding.
Novi hanya mendecap, lalu diam. 

"Dia?" Katanya.

Aku kembali memutar pandanganku ke arah Novi.

"Kamu masih mengharapkan dia?"

"Ini tidak semudah yang kamu bayangkan, Nov. Tidak mudah seperti halnya seseorang yang ditinggalkan. Dalam hal ini, aku yang meninggalkan." 

"Sil, jika kamu menjadi dia, apa kamu mau kembali kepada orang yang sudah meninggalkan kamu? Untuk orang yang di tinggalkan saja, dia pasti akan berpikir dua kali untuk mengiyakan saat pasangan mereka meminta kembali. Apalagi untuk kasus kamu yang meninggalkan. Apa kamu pikir dia akan kembali? Kembali begitu saja setelah kamu dulu memilih pergi?"

"Sil, aku tahu pasti dia juga masih ingat sama kamu. Tapi, apa kamu yakin kalau kamu dalam pikirannya, sama seperti dia dalam pikiranmu? Coba kamu berpikir secara realistis."

Aku hanya menunduk. Memang benar, dalam kasus ini aku berperan sebagai penjahat. Meskipun aku bilang kalau aku masih menyayanginya, apa dia akan kembali? Bahkan aku saja tidak tahu apakah sekarang ada wanita lain di hidupnya. Kasus ini berbeda.

"Aku ingin kamu berjalan, Sil. Bahkan berlari. Bukan duduk diam menunggu hal yang bahkan tidak kamu yakini." 

Itu kalimat terakhir Novi hari itu sebelum akhirnya dia memutuskan pulang setelah suaminya menjemput.
***
Acara resepsi pernikahan salah satu teman kuliahku tergolong cukup mewah. Aku, Ana dan beberapa teman lain sengaja datang setelah perkuliahan hari ini usai. Seperti biasa, hal yang paling menyebalkan disaat seperti ini adalah ditanya "Kapan nyusul?" seakan menyadarkan bahwa sampai sekarang aku belum memiliki calon. Apalagi calon, kekasihpun aku masih menggantungkan bayang-bayang yang menghilang. Setidaknya dulu aku pernah punya hayalan untuk bersanding di pelaminan bersamanya, sebelum kami memutuskan untuk masing-masing mencari pasangan yang akan kami sanding di pelaminan nantinya.
Entah kenapa, beberapa hari terakhir ini pikiranku lebih kacau dari biasanya. Bayang-bayang David mulai bermunculan dan mengganggu konsentrasi bahkan saat jam perkuliahan. Mungkin apa yang dikatakan Novi malam itu benar. David adalah sosok yang akan membantuku kembali berjalan. Menghapus foto yang memudar namun masih sangat jelas terlihat.

Ana menepuk bahuku dan membuatku segera tersadar bahwa ini bukan tempat yang cocok untuk melamun. Setelah bersalaman dengan kedua mempelai, kamipun berpamitan. Sebelum kembali ke kost, Ana memintaku untuk menemaninya ke pusat perbelanjaan. Karena aku tidak membawa motor sendiri, apa boleh buat, akupun menuruti keinginannya. 
Kami tiba di pusat perbelanjaan yang pernah aku datangi bersama Novi siang itu. Memang tempat itulah yang paling strategis dengan tempat tinggal kami. Setelah dua kali putaran mengelilingi seluruh sudut ruangan, langkahku pun menuju ke sebuah almari buah. Sebuah melon tampak begitu segar dalam cuaca panas seperti ini. Sayangnya, aku harus benar-benar memperhitungkan pengeluaran minggu-minggu ini sebelum aku pulang kerumah. Ku tolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri mencari Ana yang tiba-tiba menghilang, dengan harapan dia mau membelikanku. Beberapa detik kemudian, terdengar suara Ana memanggilku dari balik salah satu etalase. Ku hampiri Ana, dan disitulah aku melihatnya lagi. Dia tersenyum dan lagi-lagi aku merasa takut. 

Alhasil, kami belanja bertiga siang ini. Ana yang sibuk mencari barang yang diperlukan bahkan tidak sempat memperdulikan trolinya. Dengan susah payah aku mendorong troli itu mengikuti setiap langkah Ana yang semakin cepat. 

"Mau dibantu?" tanyanya, sambil mencoba membantu mendorong troli. Lebih tepatnya, tangan kirinya menggengam tangan kanannku yang berada di pendorong.

"Makasih." jawabku sambil melepaskan tangannya.

Karena lengah, kami kehilangan jejak Ana. aku mencoba mencarinya di setiap sudut, namun tidak ada.

"Kemana dia? Kenapa aku harus kehilangan jejaknya disaat seperti ini." kataku was-was dalam hati.

"Itu, Ana disana." kata David sambil menunjuk ke salah satu arah dengan tangan kiri yang memegang pundakku.

Spontan saja aku kaget. Benar-benar kaget. Baru beberapa detik yang lalu dia memegang tanganku, dan sekarang pemuda ini justru memegang pundakku. Wajahku terasa memucat, rasanya aku ingin segera pulang dan menangis. Sakit sekali rasanya saat pemuda ini menyentuhku. Meskipun hanya sentuhan ringan, namun aku sudah mencoba untuk tidak tersentuh oleh laki-laki sedikitpun. Dan sekarang, benteng itu terasa hancur seketika. Mungkin aku akan menumpahkan air mata sekarang ini, jika aku tidak ingat bahwa aku berada di tempat umum. Kenapa dia menyentuhku lagi? dan kenapa aku begitu merasakan sakit ini.

***
"Sepertinya hubungan kalian semakin akrab saja, Sil." Kata Ana pagi ini di kelas sebelum perkuliahan dimulai. 

"Kan udah saling kenal, jadi kan mulai akrab, An."

"Sikap dia ke kamu gimana, Sil?"

"Lembut." Jawabku singkat.

Ana justru tersenyum sendiri mendengar jawabanhku.

"Kenapa, An?" Tanyaku melihat Ana bertingkah sangat aneh.

"Tidak apa-apa. Lanjutkan saja berjalan." Katanya.

Berjalan. Ya, aku sepertinya memang sudah mulai berjalan sekarang. Rasa sakit inilah yang sebelumnya sangat ku hindari. Namun kali ini, aku tetap menyukainya meski sakit ini semakin terasa.

"Tenang saja, dia tidak akan kembali."

"Apa dia tahu?"

"Aku yakin dia tahu, Sil, Dia juga memikirkan kamu. Tapi, dia juga pasti mengira kalau kamu sudah bahagia dengan orang lain. Pasti dia juga seperti itu. Sudah memiliki kekasih."

"Oh ya. Bagaimana kalau belum?"

Dosen tiba-tiba memasuki ruangan. Obrolan kami berhenti disana dengan pertanyaan yang belum terjawab.
***
Ponsel bergetar sekali lagi. Pemberitahuan dari salah satu akun sosial media muncul pada layar ponsel. Kali ini, pemuda itu mengatakan mungkin aku sudah bahagia. Dan jelas saja, komentar-komentar dari banyak wanita segera bermunculan. Seakan diri merekalah yang dimaksud. Ku amati fotonya lekat-lekat. Berbeda sekali dengan foto di dinding kamarku yang sudah memudar. Ku genggam benda panjang yang melingkar di leher. Sampai saat ini, aku belum sepenuhnya melepas benda itu. Selalu saja aku pakai kembali karena aku benar-benar tidak bisa melepasnya. Seperti terikat dan hanya baru bisa terlepas jika sudah ada penggantinya. Seperti yang selalu ku katakan beberapa tahun terakhir ini.

David melambaikan tangan ke arahku. Kali ini, lagi-lagi kami membuat janji temu di tempat makan. Setengah jam kemudian setelah makan, kami putuskan untuk berjalan-jalan sebentar di pinggir pantai. Menikmati ombak yang menggelitik telapak kaki, menunggu sunset yang memberikan kedamaian bagi setiap penikmatnya.

"Sil." Panggilnya tiba-tiba.

Aku hanya menoleh ke arahnya tanpa mengatakan apapun.

"Boleh gak?" Tanyanya kemudian?

"Apa?"

"Boleh gak aku masuk ke dalam kehidupanmu, mencoba menjadi seseorang."

Ku palingkan pandanganku dari tatapannya. Masuk ke dalam kehidupan? Menjadi seseorang? Apa itu berarti seseorang yang sekarang masih tersimpan harus tersingkirkan? Aku belum rela jika dia hilang dari hatiku. Kenapa ada orang lain yang ingin memasuki kehidupanku.

"Sil, aku belum nembak loh. Aku cuma ingin dapat izin untuk masuk ke hidupmu. Jika kamu mengizinkan, aku akan berusaha menyayangimu. Dan selama itu pula, jika kamu masih tetap tidak bisa merasakan bahwa aku adalah seseorang, maka kamu boleh pergi saat kamu menemukan lelaki yang kau anggap menjadi seseorang itu."

Aku hanya diam. Menggigit bibir bawahku mencoba melawan rasa sakit yang tiba-tiba menyayat sedikit demi sedikit dalam hati. 
Matahari semakin tenggelam. Sebentar lagi adzan magrib. Maka ku putuskan untuk mengangguk senja ini. Aku mengangguk untuk mencoba kembali berjalan. Mungkin ini benar waktunya. Waktu untuk kembali kedalam jalan yang sesungguhnya.
Masih dalam keadaan menggunakan mukena, aku melihatnya dari kejauhan. Untuk ke sekian kalinya pemuda itu mengajakku untuk selalu mengingat sang pencipta. Salah satu hal yang aku sukai dari pemuda itu. Selepas sholat magrib, aku meminta untuk diantar pulang. Dan benar, dia segera mengantarku pulang tanpa berusaha mengajakku ke tempat lain bersamanya.
***
Kampus sudah mulai sepi. Teman-teman memutuskan untuk cepat pulang setelah tugas mingguan selesai. Namun, aku belum ingin pulang. Aku putuskan untuk duduk di lobi lantai dasar sembari menemani Ana mengerjakan tugasnya yang belum selesai.
Beberapa orang yang berlalu lalang mulai memperhatikanku, seakan saat ini aku menjadi orang yang paling betah berada di kampus. Selonjoran tanpa tikar di ubin, menikmati semilir angin sore yang hangat.

"Sil, ada yang nyari kamu tuh." Ucap salah satu teman yang tiba-tiba menyusulku.

"Siapa?" 

"Gak tahu. Dia nanyain kamu ke beberapa orang yang ada di parkiran. Kayaknya bukan mahasiswa sini deh. Gak tahu deh kalau dari fakultas lain." Jawabnya.

Siapa sih yang mencariku sore-sore begini. Kenapa dia tidak mencoba menghubungiku. Malah tiba-tiba datang dan menanyakan dimana keberadaanku.

"Siapa sih, Sil." Tanya Ana yang sedikit merasa terusik.

"Gak tahu nih, An." Jawabku.

"Loh, David." Kata ana sambil melambai-lambaikan tangan.

Ku tolehkan kepalaku ke belakang. Mengikuti arah pandangan Ana. Bagaimana David bisa disini? Ku geleng-gelengkan kepalaku. Tidak mengerti dengan pemuda yang satu ini. Dia menghampiri kami dan duduk di depanku.

"Ngapain kesini, Vid?" Tanya Ana.

"Pingin main aja, An. Boleh kan?" Tanyanya sambil menatap ke arahku.

"Oh..." Jawab Ana singkat sambil mengangguk-angguk seakan mengerti maksud pemuda itu.

Pemuda itu masih saja tersenyum menatapku. 

"Kalian ada waktu gak sore ini?" Tanyanya.

"Kamu tanya aku, atau tanya Shila, Vid?". Ana kembali bertanya.

"Ya kalian berdua."

"Kalo aku sibuk, Vid. Kalo Shila, kayaknya gak deh. Ya kan, Sil?"

"Aku?"

Mereka berdua menatapku secara bersamaan.

"Aku ada janji." Jawabku.

Ana melotot ke arahku. Dia pasti sudah bisa mengira janji apa yang aku maksud. Namun, dia tidak mengatakannya. Hanya saja pandangannya langsung di alihkan pada deretan pot bunga di depan lobi.

"Oh, yaudah deh. Lain kali aja kalau kalian gak sibuk." Jawab David.

Sesampainya di kost, Ana segera menerobos ke kamarku. Tanpa meminta persetujuan, dia mencopot foto kusam yang masih menempel di dinding kamarku.

"Apa-apaan sih, An. Kenapa dicopot?"

"Sil, kamu harus berjalan. Aku tahu kok janji apa yang kamu maksud. Janji untuk chattingan sama Miko kan?"

"Kamu kapan sih mau sungguh-sungguh berjalan, Sil."

"Aku sudah berjalan, An." Jawabku membela diri dan merebut kembali foto itu.

"Terus, kenapa kamu masih menoleh ke belakang? Apa jangan-jangan kamu punya pikiran kalau saja besok Miko kembali, kamu akan meninggalkan David dan kembali kepada Miko?" Kata Ana dengan sedikit emosi.

Aku hanya diam dan memalingkan wajahku. Mencoba duduk di bangku depan meja belajar. Menapat buku-buku tebal yang pasti tidak akan menatapku setajam tatapan Ana. 

"Kenapa?" Tanyaku lemah.

"Aku harap kamu tidak seperti itu, Sil. Aku tidak setuju kalau kamu melakukan hal seperti itu. Yakinlah bahwa dia sudah bahagia bersama orang lain."

Ana meninggalkan kamarku dengan pintu yang masih terbuka.
***
Semilir angin malam menghanyutkan. Membuat mata yang lelah seharian menjadi sangat berat. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Lampu-lampu jalanan semakin menyilaukan pandangan. Aku duduk di trotoar bersama David dan teman-temannya. Hari ini hari ulang tahunnya. Aku bahkan sempat lupa dan baru teringat setelah maghrib tadi. Capai sekali karena seharian ini aku belum pulang. Tugas kuliah yang dateline malam ini membuatku dan beberapa teman lain lembur seharian. Malam ini semua terasa berbeda. Aku lebih bisa menerima semuanya. Lebih bisa tertawa bebas, tanpa beban, tanpa perasaan takut seperti hari-hari sebelumnya. Mungkin ini karena kejadian semalam. Saat aku berbicara dengan Miko di telepon, sengaja aku membicarakan perihal perasaanku selama ini. Aku mengatakan bahwa hingga saat ini aku masih menyayanginya, masih berharap dia menjadi kekasihku seperti dulu. Karena jujur hingga saat ini hanya dirinya yang masih mengganggu di pikiranku.
Namun, jawabannya malam kemarin benar-benar menyadarkanku, bahwa aku harus tetap berjalan. Aku tidak boleh lagi mengharapkan sosok yang belum tentu menjadi milikku, dan itu adalah dia. Aku meminta Miko untuk mengembalikan hatiku seutuhnya. Untuk kembali berjalan dan berusaha bahagia bersama sosok dengan tawaran manis yang ada di depanku.
Tangisku tidak bisa ku bendung malam kemarin. Aku benar-benar tidak pernah menginginkan jawaban itu keluar dari mulutnya. Paketan malam itu begitu mengharukan. Paketan hati dari negara tetangga. 

"Bagaimana caranya move on, Sih?" Tanya salah satu teman David yang segera mengagetkan lamunanku.

"Karena kamu tidak berusaha untuk benar-benar move on." Jawabku sekenanya.

David hanya memandangku, sampai akhirnya aku mengalihkan pandangan ke jalanan.

"Besok ada acara, Sil?" Tanya David.

"Em... Paling ngerjain tugas seperti biasa. Kenapa?" Tanyaku.

"Kalau sibuk, ya gak jadi aja deh."

Aku menoleh ke arahnya. Memangnya dia mau mengajakku kemana besok pagi?

***
Lagu yang memenuhi ruangan ini membuat sedikit terdiam. Entah apa karena dari dulu aku kurang nyaman dengan keramaian atau kurang nyaman dengan perasaan. Ku habiskan jus mangga yang tinggal seperempat gelas. 

"Sudah pukul 14:20" kataku.

David melihat jam tangannya dan berdiri. Beberapa menit kemudian, kami masuk ke studio satu dimana film pilihan kami diputar sekarang. Rasanya nyaman sekali berada di samping pemuda ini. Perhatiannya, mampu mencuri segenap hati yang baru beberapa hari yang lalu dikembalikan. Apa aku harus kembali memberikan hatiku pada sosok lain, sedangkan aku baru saja mendapatkannya kembali beberapa hari yang lalu? Miko. Beberapa hari yang lalu kami memutuskan untuk saling berbicara. Dan saat itulah aku merasa hanya David tempatku berjalan saat ini. 

"Mau kemana lagi?" Tawarnya setelah keluar dari bioskop.

"Terserah kamu aja." Jawabku. 

Aku memang tidak pernah suka jika ditanya ingin kemana setelah ini. Pertanyaan kedua yang tidak aku suka setelah mau makan apa. Karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, maka seperti biasa dia mengajakku ke masjid untuk mengingat kepada pencipta.
Ku langkahkan kakiku menuju lantai dua. Tempat sholat wanita yang masih aku ingat. Seperti baru beberapa tahun yang lalu aku kesini bersama orang tuaku sebelum akhirnya operasi itu dilaksanakan. Tapi, ternyata kejadian itu sudah 12 tahun yang lalu. Masih terlihat jelas saat itu aku suka sekali naik turun tangga masjid ini. Menunggu ibu yang sedang sholat dzuhur waktu itu. Rasanya ingin kembali ke masa itu. Masa dimana aku belum merasakan semua keluh kesah seperti sekarang, masa dimana aku hanya menangis karena kesakitan, masa dimana aku harus kehilangan kalung kesayangan untuk biaya operasi. Aku tertawa dalam hati. Masa itu, dua belas tahun yang lalu saat aku masih berumur tujuh tahun. Yah, kalung. Sampai saat ini aku tidak lagi memakai benda yang mampu membedakan mana laki-laki, mana perempuan itu. Lebih tepatnya, baru saja aku lepas beberapa hari yang lalu karena hatiku sudah kembali. Maka, aku harus membuka dan menyimpan kunci yang selama ini mengikatku hingga nanti ada kunci lain. Dan sekarang aku hanya tinggal menunggu, apakah ada pemuda lain yang mengambil hatiku, lalu menutup dan menguncinya seperti yang dilakukan Miko beberapa tahun yang lalu.

Setelah cukup lama bernostalgia dengan perasaan yang masih sedikit carut-marut, aku kembali ke parkiran. David sudah menunggu sambil memperhatikan langkahku yang berjalan mendekatinya. Apa aku harus berjalan mendekatinya seperti ini? Mencoba melawan takut dan berhenti tepat di depannya, seperti sekarang. Sepertinya memang itu yang harus ku lakukan. Berjalan dan berhenti.
***
Apa yang kalian ketahui tentang perjalanan ini? suatu keadaan yang menyenangkan? pada awalnya aku berpikir hal ini tidak akan kembali rumit setelah kami berbicara. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya aku bisa kembali berjalan selangkah ke depan. Aku pikir, langkahnya pun sama sepertiku. Sama-sama menjauh meninggalkan bekas tapak kaki yang memudar. Apakah ada yang merindukanku? ah... pertanyaan itu seharusnya dari dulu sudah kau temukan jawabannya. Ada seseorang yang selalu merindukanmu, selalu selama bertahun-tahun sampai akhirnya kau menyuruhnya untuk berjalan dengan alasan kau juga sudah jauh menyusuri lorong-lorong menyenangkan. Tapi pada kenyataannya kau masih bingung untuk berjalan kearah mana. Sedang aku sudah selangkah meninggalkanmu. Aku tidak harus kembali dan mengulurkan tangan lagi untuk mengajakmu berjalan bersama bukan? ya, memang berat. Aku sudah merasakan seberat apa rasanya melangkah dengan kaki yang menancap. Tapi saat tanah itu sudah tidak ingin lagi menopangku meskipun aku masih berkata ingin tetap disana, apa boleh buat, akupun melangkah. Melangkah dan menutup telinga agar aku tidak berusaha kembali ke tanah itu. Karena aku takut tidak bisa melangkah lagi. Aku benar-benar tidak tahu entah yang aku lakukan ini benar atau tidak. Meskipun sebenarnya aku ingin mengajakmu melangkah bersama, bergandengan tangan, dan tersenyum seperti dulu, namun aku sadar aku sudah dikembalikan.

Kemarin David mengatakan hal yang seharusnya tidak dia katakan. Berkata bahwa dia tidak memaksaku untuk segera menyayanginya. Kenapa dia tidak memaksaku untuk cepat masuk? bukankah jika aku terlalu lama di luar, keinginanku untuk berlari akan lebih besar?. Apalagi melihat sosok yang tetap masih berdiri dan tidak tahu harus berjalan kemana. Apa aku tetap harus melanjutkan langkahku saat dia masih berdiri? aku sudah merasakan bagaimana rasanya berdiri disana sendirian. Meskipun mungkin aku lebih tertancap terlalu dalam. Tapi bukankah dia mengatakan aku harus berjalan dan tidak lagi mengharapkan sesuatu yang belum jelas ku miliki. Aku harap perasaan ini hanya sementara, perasaan wajar yang bisa masuk kapan saja kepada sesorang yang pernah benar-benar menyayangi.

Ana masuk ke kamarku setelah beberapa kali mengetuk pintu. 

"Ada apa?" tanyaku

"Tadi David tanya ke aku, kamu kenapa gak bales pesannya."

"Lagi kosong, An." jawabku malas.

"Benaran kosong? bukan kosongin dia dari pikiran, Kan."

"Maksudnya?" tanyaku sambil menarik boneka ke pangkuanku.

"Mana bonekanya." mintanya sambil merebut boneka yang masih di pangkuanku.

"Apaan sih, An."

"Terus berjalan, Sil. gak usah mikirin yang lama."

Apa coba maksud ucapan Ana kali ini. Mungkin dia tertular virus menerawang dari David. Jika semua orang bisa melihat kegelisahan dari raut wajahku, aku benar-benar tidak memiliki privasi lagi. Bagaimana aku menyembunyikan semuanya?

"Nih, aku balikin bonekanya." kata Ana setelah melihat raut wajahku yang kesal.

"Tapi ingat, hanya sebagai teman tidur di kamar ini saja."

Aku tersenyum. Aku tahu, baik Ana maupun David, mereka sama-sama tahu apa yang harus aku lakukan untuk membuat diriku sendiri bahagia.
***
"Selamat malam." 
Kalimat itu mengakhiri pembicaraan di telfon malam ini. Jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Rasa kantuk sudah mulai sedikit demi sedikit menyerang. Apalagi suaranya yang selalu membuat senyum di bibir tersungging sempurna.
Aku tidur dan terbangun saat ponsel berdering. Ku angkat dengan suara masih serak khas orang yang baru bangun tidur.

"Selamat pagi, sudah bangun?." Tanyanya.

"Sudah." Jawabku.

Seperti pagi beberapa minggu yang lalu, dia menelfon membangunkan tidur nyenyakku. Bedanya, jika kemarin aku masih meneteskan air mata mendengar suaranya, kali ini aku benar-benar tersenyum mendengar setiap celoteh paginya.
Miko. Aku tahu dia masih belum berjalan hingga saat ini. Bahkan kemarin aku memang sedikit tergerak untuk kembali dan menawarkan tanganku untuk dijadikan pegangan dalam melangkah dari tanah tandus itu. Namun, aku sadar uluran tangan itu tidak akan pernah disambutnya lagi. Maka, aku harus berusaha tetap melangkah kali ini, meskipun mata itu masih terlihat sayu di pelupuk mataku. Aku sudah berjalan, dan tidak ingin mengecewakan semua pihak yang mendukungku berjalan menemui janji baru yang menunggu di ujung lorong.

Kelas ramai hari ini. Tidak ada presentasi materi, dan hanya digunakan untuk mengerjakan tugas dan mengoreksi. Aku duduk di bangku ujung paling depan di sebelah kiri ruangan. Memperhatikan ponsel yang masih berkedip karena pesan baru yang masih terbuka.

"Kapan bisa ketemu lagi, Sil?." 

Bertemu lagi? Apa seperti ini seharusnya hubungan kami berjalan? Jika kami sering bertemu seperti ini, aku takutnya akan terasa menyakitkan saat harus berpisah. Meskipun dalam hati kecilku, aku menolak kata itu. Berpisah.
Kelas bubar pukul lima sore. Aku bersama Ana segera pulang ke kost karena lelah seharian kuliah ditambah lagi dengan kelas tambahan. Malam tahun baru hijriah datang hari ini. Aku berjalan bersama Ana menyusuri jalanan kota. Sebenarnya, aku berharap malam ini dapat menemui seseorang. Seseorang yang diam-diam aku rindukan. Sore tadi, dia melakukan hal yang membuatku semakin mengaguminya. Tapi malam ini, dia melakukan hal yang membuatku sedikit jengkel. Meskipun begitu, rasanya aku benar-benar menyesal telah sedikit kasar padanya.
Ku nikmati batagor yang ada di depanku dengan lahap. Rasa lapar sedari sore dan rasa ingin makan sepiring batagor membuatku harus berjalan kurang lebih dua kilo meter untuk mendapatkannya. Senang sekali karena Ana tidak keberatan menemaniku mencari makanan kesukaanku itu. Kami duduk lesehan di depan salah satu meja panjang yang terlihat masih kosong. Sampai akhirnya seorang pemuda datang dan duduk di depan kami.
Aku dan Ana hanya saling diam melihat pemuda itu duduk dengan santainya dan memesan sepiring siomay tanpa merasa aneh karena memilih duduk di depan kami. Padahal, meja di beberapa tempat masih terlihat kosong tanpa pengunjung. 

"Hai." Sapanya.

"Hai juga." Jawab Ana.

"Gak keberatan kan kalau aku duduk disini?."

Kami hanya menggeleng. Benar saja, ini tempat umum. Siapa saja boleh datang dan duduk dimanapun, di tempat yang mereka sukai. Termasuk pemuda tampan dengan kulit putih dan mata sipit yang duduk di depan kami.
Ponselku bergetar. Segera aku kembali ke alam sadar dan membuka pesan yang baru saja masuk itu.

"Eh, ingat David. Jangan melirik pemuda lain." Kata Ana dalam pesan singkatnya.

"David kan dirumah, An. Cuman lihat aja, Kan." Balasku.

"Tetep aja." 

Aku tidak lagi membalas pesannya. Ku cibirkan bibirku sembari melihat Ana dan pemuda itu saling senyum.
Setelah manghabiskan sepiring batagor, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah pusat perbelanjaan untuk mencari sepatu. Dalam situasi kesal seperti ini, sebenarnya akan sangat bahaya jika aku memutuskan untuk tetap masuk ke dalam tempat seperti ini. Takut jika uang bulananku akan jebol dalam semalam. Siapa pula yang meminta untuk membuat perasaanku kacau seperti ini. Bukannya aku tidak suka jika sering bertemu, namun, aku juga takut jika harus selalu bertemu. Bukankah aku sudah pernah mengatakannya.
***
Kalender menunjukkan tanggal merah. 

"Waktunya menyelesaikan tugas." Niatku.

Siang ini Fia datang ke kost kami. Niat awal untuk mengerjakan tugas yang kebetulan memiliki tingkat kesulitan menengah keatas. Alhasil, seperti yang sudah-sudah, selepas mengerjakan tugas kamipun bercurhat ria mengenai pasangan, keluarga, tetangga, dan hal lain yang bisa menjadi bahan pembicaraan. Sampai siang ini, David belum menghubungiku. Entahlah, mungkin aku memiliki satu titik keegoisan tinggi. Atau bahkan memang aku seharusnya bersikap seperti ini. Tapi, hatiku seakan gelisah sepanjang hari. Bahkan sampai magrib datang, aku masih tidak bersemangat dengan perasaan yang tidak karuan. Mungkinkah aku mulai merindukannya? Sehari saja tanpa kabar dan celotehnya, rasanya benar-benar sepi. Apa aku sudah benar-benar bisa membuka sedikit hatiku yang kemarin masih terkunci? Dengan sedikit keberanian, aku mengirim satu pesan padanya. Seperti yang aku kira, dia tidak kunjung membalas. Dengan sedikit kecewa, ku putuskan untuk menghadap buku tebal yang seakan hanya berisi wajah dan namanya. Setelah dapat berkonsentrasi, tiba-tiba ponselku berdering. Satu pesan balasan masuk dan anehnya mampu membuat perasaanku sedikit lebih tenang
Aku tahu, rasa takut itu mungkin memang sudah sedikit menghilang. Namun, rasa takut yang lain sepertinya mulai datang dan semakin mengganggu. Takut yang seperti inilah yang sudah lama tidak aku rasakan. Takut kehilangan.

"Kenapa? Kepikiran dia?" Tanya pemuda itu dalam pesan singkatnya.

Ah... Pemuda ini benar-benar tidak peka atau pura-pura tidak peka. Seketika ingatanku kembali pada acara curhat siang tadi bersama Ana dan Fia.

Mereka mendengarkan ceritaku dengan sangat antusias. Mencoba memahami arti dari setiap kalimat yang aku ucapkan.

"Lalu? Maksud dari ceritamu itu, kamu ingin kembali, Sil."

"Tidak." Jawabku cepat.

Aku tahu, aku akan segera dapat kemarahan jika aku mengatakan aku akan kembali.

"Baguslah." Jawab Ana.

"Tidak usah kembali, Sil." Kata Fia menimpali. 

Aku memang tidak bermaksud kembali. Sama sekali tidak saat hatiku sudah sedikit menoleh pada pemuda lain.

Setelah beberapa menit, aku membalas pesannya kemudian. 

"Bukan." Balasku singkat.

"Lalu?"

"Entahlah, sepertinya aku mulai merindukanmu." Jawabku setengah memberanikan.

"Maaf aku tidak menghubungimu, aku tahu kamu sibuk hari ini."

Yah... Seharusnya aku memang tidak perlu berpikir macam-macam saat dia tidak menghubungi seharian. Baru sehari bukan? Bukan waktu yang lama. Tapi, hatiku berkata lain.
***
Ku buka mataku pelan-pelan. Cahaya sinar matahari mulai masuk melewati celah-celah jendela kayu di kamarku. Ku ambil ponsel yang tergeletak di meja belajar samping tempat tidurku. Mataku terbelalak. Sudah pukul 07:30 dan aku baru bangun? Segera ku turunkan kakiku dari tempat tidur. Dengan langkah yang pontang panting karena baru bangun, ku tarik handuk di belakang pintu dan segera memasuki kamar mandi.
Pagi ini kuliah dimulai pukul 8 pagi, itu berarti setengah jam lagi, dan aku belum siap sama sekali. Belum lagi baju-baju yang belum sempat aku setrika, buku-buku yang masih berantakan di meja dan belum sempat aku bereskan, dan lagi-lagi aku lupa ruang berapa perkuliahan hari ini.
Pukul 8 tepat aku sampai di parkiran kampus. Dengan langkah setengah berlari, ku naiki tangga menuju lantai dua gedung A fakultas Ekonomi dan Bisnis. 

"Oh... Kali ini ruang berapa?" Tanyaku gugup. 

Ku langkahkan kakiku menuju ruang delapan. Tidak ada jadual kelasku pagi ini, kemudian aku berlari menuju ruang 11, nihil. Aku tidak menemukan tulisan jadual ruanganku di jendela-jendela kaca itu. Dengan sedikit panik, ku hubungi Ana meskipun aku tahu, pulsaku akan tersedot banyak sekali kali ini. Yang penting ruanganku ketemu dan aku belum terlambat.

"Hallo, An. Ruang berapa?" Tanyaku gugup.

"Ruang tujuh, Sil." Jawabnya. Kemudian mematikan panggilan.

Segera aku berlari menuju ruang tujuh yang berjarak tiga kelas dari tempatku berdiri, dan lega rasanya saat aku tahu, dosen pagi ini belum sampai.
Rasanya nyawaku baru benar-benar terkumpul setelah perkuliahan usai. Baru kali ini aku benar-benar merasa telat. Padahal jarak kost dengan kampus hanya berkisar kurang lebih lima menit saja.

"Tumben telat, Sil. Kesiangan, Ya." Tanya Fia setelah perkuliahan usai.

"Ya, Fi. Tadi abis shubuh tidur lagi. Abis semalam begadang sih, Fi."

Kami turun ke lantai dasar, duduk di anjungan kampus melihat orang-orang berlalu lalang melewati kami.

"Jalan yuk, An." Ajakku pada Ana.

"Belum gajian nih, Sil. Kamu gimana, Fi?"

"Sama, An. Lain kali aja ya, Sil." Jawab Fia.

Yah... Aku memang tidak bisa memaksa mereka untuk menemaniku jalan saat mereka tidak bisa. Beberapa menit kemudian, ponselku bergetar.

"Sudah selesai kuliahnya, Sil?"

"Udah, Vid." Balasku.

"Temenin aku jalan, Yuk. Aku jemput di kost." 

Tawaran yang pas sekali, pikirku. Setelah berpamitan dengan teman-teman yang lain, aku segera pulang dan bersiap-siap. Setengah jam kemudian David datang menjemputku. Seperti biasa, dia begitu ramah dengan senyum manisnya.

"Jalan sekarang?" Tanyanya.

"Ya." Jawabku singkat, kemudian naik ke motornya.

"Kita mau kemana, Vid?" Tanyaku.

"Nyari makan. Kamu belum makan kan, Sil?" Katanya.

Aku hanya diam dan menuruti kemana dia akan membawaku.
Sesampainya di tempat makan, kami memilih duduk di ujung kanan di sudut ruangan. Karena tempat itulah yang terlihat paling tenang dari tempat lainnya. Mungkin David tahu bahwa aku tidak begitu suka tempat yang terlalu ramai dari kejadian dimana terakhir kali kita jalan.

"Sil, lusa aku mau muncak. Kamu mau ikut?" Ajaknya.

"Em... Boleh aja. Tapi aman gak?" Tanyaku akhirnya.

"Aman. Kalo gak percaya, kamu boleh bawa KTP ku buat jaminan deh, Sil." Jawabnya sambil tertawa.

Aku hanya ikut tertawa dan mengangguk menyetujui ajakannya tersebut.
Lain kali kepiting memang harus mencoba keluar dari zona nyaman bukan? Berjalan keluar dari air dan naik ke permukaan, mencari air yang lebih menjanjikan.
***
Pagi ini selepas shubuh, aku sudah siap pergi. Dua hari yang lalu, aku mengiyakan ajakannya untuk muncak. Ku angkat ransel ke atas bahuku dan menuruni tangga. David sudah menunggu di bawah bersama beberapa teman yang lain. 

"Siap." Kataku riang.

"Yuk berangkat." Ajaknya sambil membimbingku memasuki mobil yang kemudian berlalu menyusuri jalanan yang masih sepi.

Lokasi yang kami tuju memang tidak terlalu jauh, masih berada di perbatasan kabupaten kami. Dengan pasti, ku langkahkan kakiku menyusuri jalan setapak berdebu dengan tangan yang masih digandengnya.
Setelah beberapa jam perjalanan, kami memutuskan istirahat sejenak di bawah guyuran air terjun. Ada kalanya kepiting memang perlu keluar dari zona nyamannya (pantai) untuk datang ke zona lain, dan menemukan tanda kehidupan (air) yang lebih mengagumkan. 

"Kita akan kesana, Sil." Ucap David yang berada di dekatku sambil menunjuk ke atas air terjun.

"Kesana? Naik?" Tanyaku.

"Ya. Tenang saja, Sil. Lewat jalan yang disana." Katanya sambil menunjukkan jalan setapak yang terlihat mengecil.

Aku mengangguk. Mencoba mempercayai seseorang yang mengajakku kali ini. Dia pasti sudah memperhatikan situasi dan kondisi sebelumnya sebelum mengajakku bukan?.

Matahari sudah semakin menjingga di ufuk barat. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 16:15. Kami sampai di atas air terjun. Tepat di tempat yang ditunjukkan David padaku. Sayang sekali, kemarau kali ini membuat debit air yang mengalir tidak terlalu deras. Namun, itu hal yang bagus, karena aku tidak perlu takut untuk berdiri di tengah sana. Ku langkahkan kakiku menuju batu di tengah aliran air yang terjun bebas ke bawah.

"Kamu tunggu disini ya, Sil." Katanya.

"Aku ditinggal sendiri disini?" Tanyaku.

"Tenang saja, Sil. Aman kok. Airnya kan gak deras. Kamu jangan kemana-mana. Tetap disini, jangan melangkah kemanapun. Kamu tidak ingin terjun kesana kan?" Ucapnya sambil menunjuk ke arah bawah.

Aku mengangguk. Matahari yang mulai menjingga, semilir angin yang damai, gemericik air yang menenangkan, tebing-tebing menjulang bebas di depanku, 

"Sil." Panggilnya kemudian.

Dia sudah ada di sampingku sekarang dengan tangan yang disembunyikan di belakang tubuhnya.

"Ada yang mau aku kasih ke kamu. Tapi, kamu jangan marah ya kalau jelek."

Aku mengangguk menunggu apa yang akan diberikannya padaku kali ini di tempat tinggi ini.
Beberapa detik kemudian, dia memberikan sebuah lukisan pensil yang bergambar wajahku. Wajah dengan senyum mengembang yang ikhlas saat pertama kali bertemu dengannya.

"Ini." Kataku terputus.

"Maaf ya, gak mirip sama kamu. Jujur ini baru pertama kalinya aku gambar wajah seseorang. Aku juga gak tahu kenapa aku pingin gambar wajahmu." Katanya kemudian.

Aku termenung, kaget, seakan pernah melihat lukisan ini sebelumnya. 

"Gak suka ya, Sil." Tanyanya.

"Suka kok. Baru pertama kali ini aku dilukis kaya gini." 

"Sil, gambarnya ditaruh dulu, Ya. Aku mau ngomong." Katanya sambil menaruh gambar itu di atas batu.

Aku hanya diam menunggu kalimat-kalimat selanjutnya.

"Sil, sebenarnya aku sayang sama kamu. Entah sejak kapan perasaan ini ada buat kamu. Entah karena apa pula aku bisa sayang sama kamu. Kita udah sering jalan bareng, dan sekarang aku butuh jawaban kamu. Kamu mau jadi kekasihku?"

Suasana begitu hening. Hanya ada gemericik air yang terdengar menyejukkan. 

"Kenapa? Kamu belum bisa jawab?"

Aku msaih terdiam. Aku benar-benar tidak tahu jawaban apa yang harus ku berikan saat ini. Aku sayang? Apa aku juga sayang? Jika aku tidak sayang, lalu perasaan apa yang ada selama ini?.

"Kita menepi yuk, Sil. Kamu belum bisa jawab kan." Katanya kemudian, memecah keheningan.

"Bisa." Jawabku singkat.

"Apa?" Tanyanya kemudian tanpa melihatku. Hanya melihat kedepan, kearah tebing-tebing yang melambai.

"Aku mau jadi kekasihmu, Vid." Kataku kemudian dengan nada sedikit gugup.

Pemuda itu membalikkan badan dan menatapku. Lalu, memegang tanganku dan mengecupnya.

"Terima kasih, Sil." Katanya.

Dan aku mengangguk dengan rasa tidak menyangka apa yang barusaja terjadi.
***
Teman-teman yang lain sudah selesai mendirikan tenda, hari sudah semakin gelap. Api unggun yang kami buat menambah kesan cantik di penghujung hari ini. Aku menatap lekat ke wajah pemuda yang ada di sampingku. 

"Jadi, sekarang aku punya kekasih?" Tanyaku pada diri sendiri.

Ku rapatkan jaket tebal yang memelukku pagi ini. Pagi terasa begitu dingin. Embun-embun sejuk menetes dari dedaunan hijau yang masih tampak asri. 

"Ini cokelat hangatnya, Sil." Kata David sambil menyodorkan segelas cokelat yang masih mengepul.

"Makasih." Jawabku sembari mengambil cangkir itu.

Matahari mulai terlihat meninggi. Cahaya hangat itu menyinari seluruh wajahku, memberikan sensasi menyenangkan dalam setiap putaran waktu. David memandangku dengan tatapan yang tidak biasanya.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Tidak, aku hanya tidak menyangka akan duduk berdua denganmu disini, dengan status yang bukan hanya sekedar teman." Jawabnya kemudian, lalu tersenyum.
***
Tubuhku masih terasa lelah pagi ini, untung saja aku tidak memiliki jadual kuliah di hari senin. Masih malas untuk beranjak dari tempat tidur, Ana dan Fia pagi ini menyelonong memasuki kamarku. Seperti layaknya wartawan, mereka mulai mengintrogasiku dengan segudang pertanyaan. Apa yang aku lakukan kemarin, kemana saja, dan dapat kejutan apa saja. Seperti biasanya, aku memang tidak bisa menyimpan segala sesuatu sendirian. Ku ceritakan semua kejadian kemarin, termasuk kenyataan bahwa aku dan David sudah bersama.
Mereka hanya ber ah... dan ber oh... ria sepanjang mendengarkan ceritaku.

"Sekarang, kamu jangan memikirkan masa lalumu itu lagi, Sil." Kata Fia kemudian.

"Aku sudah menyimpannya rapat-rapat, Fi." Jawabku dengan tersenyum.

Aku sudah mendapatkan apa yang aku cari beberapa tahun ini. Kenyataan bahwa aku pernah ketakutan, cukup hanya aku yang tahu. Kali ini aku benar-benar goal. Benar-benar mencapai tujuan yang aku inginkan. Move on dari Miko, dan menemukan sesuatu yang lebih indah darinya.
Move on memang bukanlah sesuatu yang mudah saat kita benar-benar menyayangi seseorang. Sekuat apapun kita berusaha untuk move on, jika hal itu tidak di dasari dari hati meskipun sekecil apapun itu, semua usaha tersebut akan sia-sia. Memang, saat kita memutuskan untuk benar-benar move on dari sesuatu yang dulu menjadi penguat kita, rasa sakit itu akan muncul. Sakit yang teramat sakit. Namun, sakit itu tidak harus selalu kita biarkan bukan? Rasa sakit itu akan pudar bersama waktu yang membahagiakan. Perlawanan rasa sakit, rasa takut, mungkin memang akan menumpahkan banyak air mata. Namun, apakah kita tidak ingin melihat hal manis yang sudah menanti di ujung lorong? Jika kita tetap disini, apa hal itu tidak akan pudar nantinya?.
Seseorang pernah berkata,
"Berjalanlah. Jangan menunggu sesuatu yang belum pasti untuk kau miliki."
Seseorang yang lain  juga berkata
"Berjalanlah, kau tidak ingin selamanya ada disini bukan?"
Dan seseorang yang lain juga berkata
"Berjalanlah, meskipun kamu tidak harus melupakannya. Jangan pernah lupakan dia dan kenangan kalian. Cukup simpan, dan jadikan itu sebagai pembelajaran untuk bahagia."
Ku lihat lukisan pensil yang menggantung di dinding kamarku dan tersenyum. Kali ini aku benar-benar memutuskan untuk berjalan. Menggandeng tangannya yang selama ini menuntunku untuk keluar dari tanah kering yang menjebak kakiku untuk tetap ada disana. 

Tamat.

Terima kasih untuk kak Amir yang menginspirasi cerita ini, 
terimakasih untuk kak Mika, kak Kholid, Novia, Siska, Afi, Emi, mbak Faik.
dan terimakasih untuk bulan Oktober yang menyenangkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar