Selasa, 05 Mei 2015

Dreams



Selamat malam pembaca setia silvya’s inspirations .
Sudah lama aku tidak posting di blog kesayangan dan satu-satunya yang aku urus diantara blog-blog yang lain.
Jika beberapa postingan terakhir aku hanya memposting artikel tugas, itu karena aku belum memiliki ide untuk menulis lagi.
Semuanya hampa, hidupku berjalan begitu monoton. Hanya bangun tidur, kuliah, pulang, mengerjakan tugas, online, tidur, dan begitu seterusnya.
Si tambatan hati? Hihi aku belum menemukannya hingga sekarang. Mungkin aku terlalu banyak syarat sehingga tidak pernah menemukan seseorang yang cocok. Aku terlalu mencari kesempurnaan. Sedangkan kesempurnaan itu tidak akan pernah ada. Yang ada hanyalah bagaimana kita saling menyempurnakan dengan kekurangan dan kelebihan yang kita miliki masing-masing.
Untuk beberapa postingan kali ini dan yang akan datang, mungkin aku akan mempersembahkan cuplikan cerpen yang terangkum dalam satu cover judul yaitu DREAMS.
DREAMS, mungkin hanya kumpulan mimpi-mimpi fiksi maupun non fiksi (nyata) yang aku sajikan dalam sebuah cerpen seri. Semoga menginspirasi para pembaca silvya’s inspirations. Sebelumnya, aku minta maaf jika nanti dalam penulisan dan alur terdapat kesalahan atau mungkin menyinggung perasaan para pembaca. Dan aku ucapkan pula terimakasih kepada teman-teman yang ikut berpartisipasi dalam alur cerita tersebut. Maaf jika aku menulis kalimat yang pernah kalian ucapkan padaku tanpa meminta izin terlebih dahulu pada kalian.  Namun, itu karena kalimat-kalimat yang kalian ucapkan tanpa sadar telah menginspirasiku.
Untuk pembukaan, seri pertama aku persembahkan DREAMS “Apa aku terdengar begitu menyedihkan?”
Selamat membaca :)

DREAM

Part 1 : Apa aku terdengar begitu menyedihkan?

Gemericik air hujan terdengar begitu lebat. Ku ambil jam weker dimeja belajar. Masih pukul 03.00, masih malam. Lagipula ini hari minggu, kebetulan aku juga sedang tidak sholat dan mataku masih ingin terpejam. Kutarik lagi selimut dan kembali tertidur. Tiba-tiba handphone-ku berdering, segera ku angkat dan terdengar suara wanita disana.
“Cil, kamu dimana?”
“Kost” Jawabku singkat, lalu sambungan itu terputus.
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Uh… rasanya masih malas untuk bangun. Perutku juga masih tidak enak. Karena aku malu pada matahari yang menembus jendela, maka ku putuskan untuk bangun dan membersihkan badan. Baru saja selesai mandi, handphone-pun berdering. Lagi-lagi dia yang menelfon.
“Ya”
“Kamu dimana?”
“Di kamar”
“Aku di depan kamarmu”
Ku buka pintu kamar dan disana dia sudah dalam keadaan rapi.  Lengkap dengan jilbab dan tas tangannya.
“Mau pulang, Mbak?”
“Enggak. Mau mulangin handphone”
“Loh, gak pulang kok mulangin handphone?” Tanyaku penasaran. Wah pasti mau pergi kencan. Pikirku nakal. Setelah dia turun dari lantai dua, aku segera berlari menuju teras belakang kamar. Disana aku dapat melihat siapa yang menunggunya dibawah.
“Mbak, aku lihat loh” Teriakku nakal dari atas
”Wah, ini anak rese. Awas kalo bikin gossip”
Setelah mereka berdua pergi dengan motornya, aku tertawa kecil. Rasanya ikut bahagia melihat mereka. Dan merasa senang karena dapat bahan gossip baru dikelas.
Seharusnya aku tidak perlu ke kampus seperti ini pada hari senin. Karena ada kelas tambahan, pukul 08.00 pagi aku sudah sampai di lobi depan kelas. Seperti yang sudah aku rancang, akupun mengatakan kepada teman-temanku apa yang aku lihat kemarin. semua teman termasuk dia sudah mengetahui sifatku ini. Jadi bagi mereka, ini bukan suatu hal yang mengganggu. Bahkan aku yang terdengar begitu menyedihkan. Tentu saja bumbu yang ku pakai pagi ini meresap dengan cepat. Dan membuat pagi ini seakan penuh canda tawa karna ulahku.
“Oh, ceritanya dia mau pamer ke kamu, Cil. Kalo dia ada yang ngajakin keluar. Nah kamu kan gak ada yang ngajak, Cil.” Sahut teman di depanku dengan nada bercanda.
“Hahaha. Kasihan ini anak, kelamaan jomblo.” Teman disampingnya pun ikut menyumbang suara.
Aku tertawa seakan kalimat-kalimat yang mereka katakan tidak mengenai hatiku. Apa aku terdengar begitu menyedihkan? Terlalu lama jomblo, gak ada yang ngajakin keluar, dan hanya bisa kepo sama teman yang punya gandengan.
Sesampainya di kost, ku ambil foto kecil di sela buku-buku besar.
“Kak, apa aku terdengar begitu menyedihkan? Bukankah aku ini yang telah merubah hidupmu?” Tentu saja foto itu tetap diam dan tak menjawab pertanyaanku. Kata mbak Rina, kita perlu menulis impian-impian kita di kertas, meskipun itu hanya impian konyol. Dan kata Yuniar, saat kita menuliskan impian kita, satu persatu impian itu akan tercapai. Segera ku ambil bolpoin dan buku, dan satu persatu menuliskan impian-impian konyolku.
Satu setengah tahun lagi wisuda,
Dua tahun lagi karir
Tiga tahun lagi karir
Empat tahun lagi karir
Lima tahun lagi menikah dengan kak “K”
Enam tahun lagi memiliki anak pertama dengan kak “K”
Ah… itu konyol sekali. Siapa dia “K”? bahkan aku hanya mampu mengejarnya sampai Jepara. Aku benar-benar terganggu dengan pertanyaan apa aku terdengar begitu menyedihkan?. Kata mbak Rina, Harus mencari kesibukan agar tidak ingat akan kesedihan. Tapi masih tetap saja pertanyaan itu muncul saat aku mencoba istirahat sejenak.

Part 2 : Cukupkah hanya menjadi pengagum rahasia?

Jika saja aku tidak mengingat ada seminar dan kuliah tambahan di hari senin, aku masih enggan untuk kembali ke kost. Pagi ini, pukul 08.00 aku sudah sampai di parkiran kampus.
“Ah, paling jam 09.00 baru dimulai.” Pikirku
Sambil menunggu teman-teman di anjungan kampus, aku menikmati alunan musik yang berasal dari ruangan di atasku. Suaranya dari studio musik sama sekali tidak terdengar. Aku tersenyum mengingat setiap acara seminar, pasti dia perform sebagai bintang tamu. Aku benar-benar menyukainya sejak malam itu. Sekitar satu tahun yang lalu.
“Cil, ayo ke atas.” Ajak salah satu temanku yang baru saja datang.
“Kamu beneran ikut? Kuliahnya bagaimana? Pasti seminarnya molor. Jam 10 baru selesai pembukaan. Masak kita langsung keluar?” Jawabku.
“Tapi sudah sampai kampus. Masih jam segini, Cil. Mau ngapain?”
Aku mengikuti langkah teman-temanku menuju lantai tiga fakultas ekonomi. Setelah registrasi, sengaja kami memilih tempat duduk di belakang dengan alasan agar mudah untuk keluar saat perkuliahan dimulai. Seperti yang aku duga, penampilannya pagi ini membuat sejuk. Aku melihatnya diantara banyaknya peserta pagi ini. Entahlah, apa ini salah satu alasanku mengikuti acara seminar? Untuk melihat dan mendengarnya bernyanyi. Raut wajahnya yang imut saat bernyanyi, otot-ototnya yang seakan keluar saat berada di nada tinggi, ekspresi seperti pemain-pemain band yang ada diluaran, dan gayanya yang cool. Aku benar-benar suka melihatnya. Saat pertama kali aku mendengar suaranya, keadaan tampak gelap dan aku tak melihat. Aku sudah mulai suka bahkan sebelum aku melihatnya.
Perkuliahan telah usai. Karena penasaran dengan acara yang diadakan di fakultas sebelah, aku dan satu temanku memberanikan diri untuk bergabung. Tiba-tiba saja temanku berkata
”Cil. Dari ketiga band yang tampil tadi kira-kira menurut kamu mana yang paling bagus?”
“Em… aku punya jawaban sendiri” Jawabku.
“Yang pertama lagunya slow, mellow. Yang kedua keras, tapi kayaknya bisa banyak lagu deh, kalo yg pertama kan kebanyakan bawain lagu itu-itu mulu. Yang ketiga lumayan. Tapi vokalis yang paling keren ya yang pertama”
“Heh… Siapa? Yang Mana?”
“Yang pertama, Cil. Dari fakultas ekonomi sendiri”
“Oh, kak Agus”
 “Ya ya, jadi namanya Agus. Keren kalo perform, ototnya sampai keluar, menghayati banget”
Aku menghempaskan nafas seketika. Aku ingin mengatakan bahwa aku menyukainya. Tidak lama kemudian, Agus datang ke lingkungan yang sama. Gayanya yang cool membuatku tak bisa berpaling darinya meski untuk melihat acara band yang ada di depanku.
“Agus kesini, Cil. Jangan-jangan dia mau perform. Jangan pulang dulu ya, nunggu dia perform.” Ucap temanku.
“Mbak, Agusnya mana?” Tanyaku saat tak melihatnya di tempat semula.
“Loh, tadi disitu”
“Mbak, Agus itu lucu ya. Aku suka liat dia nyanyi. Gemes gitu liat gayanya di panggung. Salah satu alasan kenapa aku suka ikut seminar ya mungkin dia”
Seketika saja dia memandangku dengan tatapan tajam membuat aku gugup dan takut. Namun tiba-tiba dia tertawa.
“Cil. Kamu suka sama Agus? Ciye-ciye”
“Ah gak kok. Mbak. Cuman gemes aja lihatanya” jawabku singkat, lalu pergi.
Aku masih saja kepo dengan akun social medianya. Terlebih untuk melihat foto-fotonya yang buat bibirku senyum-senyum sendiri. Ke-esokan harinya di kampus seusai jam kuliah, mbak faik berkata
“Sudah, jangan terlalu di impikan.”
Sesaat setelah dia mengatakan itu aku tersadar, aku harus segera bangun dan kembali kuliah. Lagi pula, orang yang aku kagumi tidak mengenalku sama sekali. Mungkin cukup aku untuk menjadi pengagum rahasianya. Yang tersenyum saat melihatnya dan menjadi salah satu yang antusias melihatnya tampil dengan lagu  kesukaanku. Aku tersenyum di belakangmu kak Agus



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar