Berdebar pada awalnya.
Namun tiba-tiba saja merasa terpuruk dan sangat kecewa.
Apakah usahaku selama ini belum maksimal?
Bahkan jika aku pikir lagi, aku sampai mendapatkan hal buruk di kesempatan lain, hanya untuk menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.
Mungkin aku memang salah mengambil keputusan dulu.
Dan inilah akibatnya.
Nilai merah yang terpampang jelas diantara nilai hitam.
Ah... aku seperti ingin marah pada beliau.
Namun bagaimanapun Beliau yang memberiku ilmu.
Aku benar-benar merasa tidak adil dengan semua ini.
Sudah dua kali dan aku sudah berusaha memperbaiki.
Susah sekali meluluhkan hati itu.
Yang pasti kini waktuku tinggal beberapa semester lagi.
Dan setidaknya masih ada kesempatan.
Saat ini aku hanya meminta do'amu Pak, Jika engkau tidak bisa memberi hak ku, doakan saja aku menerima hak dari yang lain.
Tulislah segala tentang kamu. Jadikan tulisan menjadi memorimu. Karena dengan tulisan, dunia akan mengenangmu. Tulislah mimpimu, maka mimpimu bukan hanya akan menjadi sekedar mimpi
Jumat, 30 Januari 2015
Minggu, 25 Januari 2015
Terimakasih Masa Lalu, Untuk Kau Masa Depan (Episode : Kau Yang Terhebat, Dimas)
Terimakasih Masa Lalu, Untuk Kau Masa Depan
(Episode : Kau Yang Terhebat, Dimas)
Writer : Silviana
Persahabatan kami sudah berlangsung sejak lama. Kami
berempat sudah seperti ini sejak kelas 3 SMP. Yang aku ingat saat itu, kami
mulai bersama sejak tinggal di asrama sebelum Ujian Nasional. Hubungan kami
masih baik-baik saja, dan akan tetap baik-baik saja selama rahasia itu tidak
terbongkar. Setelah lulus dari SMP, kami berempat melanjutkan ke SMA yang sama
meskipun dengan jurusan yang berbeda. Dimas dan Yulia mengambil jurusan IPA,
Rio mengambil jurusan IPS, dan aku sendiri Winda mengambil jurusan Bahasa.
Sore itu sekolah sudah mulai sepi. Anak-anak sudah selesai
mengikuti ekstra kulikuler masing-masing. Dan kami berempat masih duduk di
bawah gawang lapangan futsal di samping sekolah. Seorang pria tua penjaga
sekolahpun menegur kami. Ia bertanya apa yang sedang kami lakukan disana.
“Hari sudah menjelang malam. Kenapa kalian masih belum
pulang?” Tanya Bapak-bapak yang akrab kami sapa dengan panggilan pak Yono.
“Kami masih ingin bermain disini, Pak.” Jawab Rio seketika
itu.
“Apa Bapak sudah akan mengunci gerbangnya?” Tanyaku pada pak
Yono.
“Baiklah. Tapi jangan sampai maghrib. Bapak akan segera
menutup gerbangnya saat maghrib tiba.”
Sekitar pukul 17.00 WIB, kami memutuskan untuk pulang.
Setelah keluar dari gerbang, Pak Yono segera menutup dan mengunci gerbang
sekolah. Seperti sudah lama menunggu kami untuk keluar.
Seperti biasa, orang tuaku belum pulang dari bekerja. Inilah
salah satu alasan mengapa aku berani pulang sesore ini. Aku segera masuk ke kamarku dan membersihkan
badan. Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah.
“Itu pasti Ayah dan Ibu.” Pikirku dan kemudian menarik
selimut untuk segera tidur.
**
Langit Siang itu benar-benar cerah. Kami berempat duduk
santai dibawah pohon mangga sambil bermain gitar. Permainan gitar dan suara
merdunya dari dulu selalu membuatku merasa nyaman. Namun keceriaan kami
terhenti saat Yulia berkata ia akan segera meninggalkan Surabaya.
“Kenapa kamu harus pergi, Yul?” Tanya Dimas.
“Aku akan ikut pindah bersama orang tuaku ke Malaysia,
kalian tahu kan aku disini hanya tinggal bersama mereka. Jika aku tidak ikut,
lalu aku dengan siapa?”
“Kamu bisa tinggal bersamaku, Yul. Aku selalu sendiri
dirumah, orang tuaku sibuk bekerja. Kamu bisa tinggal bersama kami.” Jawabku
berharap Yulia menyetujuinya.
Yulia masih tetap diam. Aku tahu apa yang sedang
dipikirkannya. Dia pasti menolak tawaranku tadi dan tetap akan segera pergi
meninggalkan Surabaya.
“Tapi kamu pasti akan kembali ke Surabaya kan, Yul?” Tanya
Rio yang sedari tadi hanya diam.
“Tentu teman-teman. Aku akan kembali kesini. Dan aku tidak
akan melupakan kalian.” Jawab Yulia dengan senyum manisnya.
Kami bertiga ikut mengantar Yulia ke Bandara pagi itu.
Sebagai kenang-kenangan, kami membeli dan memakai gelang persahabatan. Dengan
harapan kami tidak akan melupakan satu sama lain.
**
“Winda, Rio sudah menunggu dibawah.” Teguran ibu mengagetkan lamunanku.
Aku letakkan kembali foto kami berempat dan keluar menemui
Rio. Aku lihat Rio dengan kaos hijaunya sudah menunggu di depan pintu.
“Rio, kenapa tidak masuk saja. Lalu, dimana Dimas? Tidak
jadi ikut?”
“Dimas sudah dimobil. Kamu lama sekali, ngapain aja?”
“Maaf, tadi ada kesalahan teknis sedikit. Yuk berangkat, aku
sudah tidak sabar ingin bertemu Yulia.”
Hari ini Yulia kembali ke Surabaya. Kami sudah menantikan
hari ini sejak lama. Selama dalam perjalanan pulang dari bandara, kami tidak
henti-hentinya bercerita tentang kekonyolan yang dulu sering kami berempat
lakukan. Suasananya masih tetap sama,
bahkan semakin seru karena kami memiliki banyak cerita baru. Yulia tampak
semakin cantik. Hal itu sedikit membuatku merasa iri dan tersaingi. Karena
Dimas dan Rio tidak henti-hentinya menggoda Yulia dan seakan melupakan
keberadaanku disini. Mungkin ini hanya perasaanku saja, maka aku mencoba
menenangkan pikiranku dan fokus dibalik kemudi.
**
(Tok Tok Tok) Pintu rumahku diketuk. Mbak Sri segera
meghampiri dan membukakan pintu untuk tamu.
“Eh Mas Dimas. Silakan masuk, Mas. Saya panggilkan mbak
Winda dulu.”
“Ya mbak, terimakasih mbak Sri.”
Aku keluar kamar bahkan sebelum mbak Sri memanggilku. Dengan
tersenyum ku katakan pada mbak Sri untuk membuatkan minuman dingin. Lalu aku
menghampiri Dimas yang duduk di ruang tamu.
“Hai Dim, tumben kesini sendirian? Rio Mana?”
“Rio pergi sama Yulia, Win. Katanya sih mau jalan-jalan
keliling daerah sini.”
“Lalu,kamu kesini ngapain?” Tanyaku
“Win, kamu masih ingat kan, aku pernah cerita sama kamu
kalau aku suka sama Winda. Dan setelah aku bertemu lagi dengan Winda, aku
menjadi semakin yakin kalau aku benar-benar cinta sama dia.”
Entah mengapa setelah aku mendengar jawaban itu senyumku
seakan terpaksa. Aku mendengarnya
beberapa tahun lalu, dan sekarang aku mendengarnya lagi.
“Ya, aku ingat. Lalu?”
“Kamu mau kan membantuku untuk bisa lebih dekat denganya.”
“Bukankah kita semua sudah dekat?”
“Ya, memang. Tapi maksudku sebagai seorang kekasih. Kamu mau
kan bantu aku, Win?”
“Sebagai teman yang baik, pasti aku akan membantumu.”
Seperti yang aku tahu sejak dulu, Dimas sangat menyukai
Yulia. Dan aku sadar, aku tidak bisa menggantikan posisi Yulia selama beberapa
tahun ini.
**
Yulia berkunjung ke rumahku malam ini. Dia tampak semakin
cantik dengan pipi merona dan senyum penuh bahagia. Kami berdua segera masuk ke
kamar dan mulai bercerita. Cerita Yulia
mengagetkanku seketika itu. Saat ini aku memiliki misi untuk membuat Yulia dan
Dimas dekat, namun ternyata Yulia sudah menemukan pria idamanya. Dan tidak lain
pria itu adalah Rio. Memang selama ini akulah yang sering dijadikan tempat
menyimpan rahasia diantara kami berempat. Dan karena itulah aku tahu semua hal
yang dirasakan setiap dari kami. Aku tidak yakin dapat mengatakan ini pada
Dimas. Aku takut melukai perasaanya.
“Win, kamu tahu tidak? Hari ini aku dan Rio resmi jadian?”
“Jadian?” Responku kaget.
“Ya, Winda. Kami sudah jadian. Aku harap kamu dan Dimas
tidak marah pada kami. Karena persahabatan kita sudah kami berdua rubah
sekarang.”
“Tidak akan ada yang marah padamu, Yul. Kalian jadian, itu
adalah sebuah ketulusan. Aku dan Dimas pasti dapat mengerti kalian.”
Telepon rumah berdering. Namun terdengar mbak Sri segera
mengangkatnya. Tidak lama kemudian, mbak Sri mengetuk pintu kamar dan berkata
bahwa ada telepon untukku. Aku segera mengahampiri kea rah mbak Sri.
“Hallo, ini Winda.”
“Win, kita bisa bertemu besok? Hanya berdua.”
“Dimana?”
“Ice Cream Shop dekat kampus pukul 14.00”
Teleponpun ditutup. Aku kembali ke kamar dan berbaring di
kasur seakan tahu apa yang akan terjadi besok di kedai es krim. Sedangkan gadis
di sampingku masih tersenyum tidak menentu menahan gejolak asmaranya.
**
“Aku pikir kamu akan membantuku, Win.”
“Aku sudah membantumu. Tapi jika Yulia memilih Rio untuk
menjadi pasanganya, lalu aku bisa apa?”
“Seharusnya kamu bisa membantuku lebih keras lagi. Kamu
tahu, aku sangat menyukainya sejak dulu.”
“Dim, apa kamu pernah mencoba mengatakan pada Yulia tentang
perasaanmu? Apa Rio juga tahu?”
Dimas hanya diam. Karena dia sadar bahwa selama ini dia
memang tidak pernah mengatakan hal ini kepada siapapun selain kepadaku. Tanpa bicara, Dimas pergi bersama motornya
meninggalkanku dikedai es sendirian.
Melihat Dimas seperti itu, aku seperti mengaca dan melihat
diriku sendiri. Selama ini aku juga selalu diam dan memendam semuanya
sendirian. Bahkan mereka bertiga tidak ada yang pernah mendengarkan keluh
kesahku. Atau karena aku terlalu mendengarkan mereka sehingga aku merasa tidak
ada gunanya menceritakan hal ini kepada mereka.
Akhir pekan masih berjalan seperti biasa. Kami berempat
pergi ke Bioskop dan ke toko buku. Keadaan juga tidak banyak berubah. Kami masih
tetap seperti biasa, meskipun dua diantara kami memiliki hubungan yang lebih
spesial. Hanya saja sepertinya Dimas masih kecewa kepadaku. Tatapan matanya
sedikit membuatku merasa takut. Aku hanya berharap keadaan seperti ini tidak
berlangsung lama. Karena jujur saja aku tidak tahan jika harus selalu diam pada
Dimas.
**
Kalender menunjukkan 30 Juni. Dimas berulang tahun yang ke
21 hari ini. Kami berempat hanya merayakan secara sederhana seperti biasanya.
Siang itu, saat Rio dan Yulia bercanda berdua, Dimas terlihat sangat terpuruk.
Mungkin dia cemburu. Aku dapat melihat jelas perubahan pada wajahnya.
“Dim, ka…mu masih marah ya sama aku?”
“Tidak, Win. Aku hanya kecewa sama kamu.”
“Aku minta maaf, Dim. Bukannya aku tidak mau membantumu,
tapi…”
Tiba-tiba saja Yulia dan Rio menyusul kami berdua.
Pembicaraan kamipun terhenti karena kami ingin hal ini tetap menjadi rahasia.
“Ciye… yang semakin nempel saja. Aku tahu kok, pasti pria
yang kamu suka itu Dimas kan, Win.” Ucap Yulia.
“Eh. Ap…pa apaan sih. Ngaco saja kamu.” Jawabku gugup.
“Ya ya aku jadi ingat. Ternyata wanita yang kamu suka itu
Winda, Dim? Aku ingat sekali. Kamu pernah bercerita padaku bahwa kau menyukai
salah satu wanita diantara kita. Pasti dia Winda.” Sambung Rio dengan nada
yakin.
Dimas hanya diam dan menatapku sinis. Lalu berkata “Oh jadi
ini sebabnya kamu tidak ingin membantuku, Win. Aku semakin kecewa.”
Dimaspun pergi meninggalkan kami bertiga. Yulia dan Rio
saling menatap satu sama lain, terlihat bingung dan berusaha meminta penjelasan
tentang semua ini.
Sejak kesalahpahaman hari itu, kami tidak pernah berkumpul
lagi. Aku juga masih merasa takut untuk melihat Dimas. Mungkin Dimas sudah
merasa sangat kecewa padaku. Syukurlah tidak selang beberapa lama, aku harus
ikut ke Bandung bersama orang tuaku. dan sejak saat itu pula, kami tidak pernah
bertemu satu sama lain selama kurang lebih 8 bulan.
**
Yulia dan Rio sudah menungguku di salah satu meja di ice
cream shop tempat kami biasa berkumpul dulu. Aku sangat merindukan mereka. Kami saling bercerita hal-hal seru seperti
saat Yulia pulang dari Malaysia dulu. Rasanya kejadian itu terulang kembali. Seorang
pria yang tidak lain adalah Dimas, datang menghampiri kami. Dia masih tampak
begitu tampan.
“Winda, kamu apa kabar?” sapa Dimas padaku.
“Aku baik-baik saja, Dim. Kamu sendiri bagaimana?”
“Aku tidak merasa baikan selama 8 bulan ini. Namun sekarang
aku benar-benar merasa baikan setelah kamu kembali.”
Aku diam beberapa menit. Sampai seorang pelayan café
mengantarkan ice cream pesanan kami.
Tiba-tiba saja Dimas menggenggam tanganku. Yulia dan Rio hanya tersenyum
melihat Dimas yang seakan bersikap romantis padaku.
“Win, aku minta maaf. Aku sudah salah paham sama kamu selama
ini. Aku juga sadar, ternyata aku hanya melihat kedepan tanpa melihat
disampingku. Dan kini aku sadar, aku menyayangimu.” Ucap Dimas lirih.
“Dim, terimakasih ya atas pengertian kamu. Aku bahagia
mendengarnya. Tapi guys… kedatanganku kesini selain aku kangen sama kalian, aku
juga ingin mengantarkan ini.” (memberikan surat undangan)
“Ini apa, Win?” Tanya Rio
“Ini Undangan pertunangan?” sambung Yulia kaget.
“Ya. Aku akan bertunangan 6 hari lagi. Aku harap kalian
datang ya.”
“Tapi Dimas, Win?” Yulia seakan tidak menginginkan ini semua
benar.
Aku melihat kearah wajah Dimas. Ku pegang tanganya. Kini aku
benar-benar melihat wajah pria yang pernah aku puja pucat pasi dan terlihat
kacau. Bahkan lebih kacau daripada saat ia melihat Yulia bersama Rio dulu.
“Aku telat, Win?” ucap Dimas.
Aku menggelengkan kepalaku dan tersenyum. “Kamu tidak pernah
telat, Dimas.”
**
Semua tamu sudah berkumpul di Ruang tengah. Suasana yang
romantis menyelimuti setiap sudut ruangan. Aku berjalan menuju ke tengah
ditemani Yulia yang tersenyum melihatku
segera bertunangan. Dimas berdiri di
ujung tepat dihadapanku. Langkah kakiku semakin mendekati Dimas. Aku bahagia
dia berada disini, di hadapanku. Tepat di hadapannya aku berhenti. Lalu kami
berdua berjalan ke tengah ruangan untuk segera melanjutkan acara tukar cincin.
Seorang pria sudah menunggu diujung jalan. Dan tanganya segera menjemput
tanganku untuk segera berada disampingnya.
“Baiklah, acara yang sudah kita tunggu-tunggu akan segera
dimulai.” Ucap seorang pria yang ditunjuk oleh keluarga kami untuk menjadi
pembawa acara.
Dimas membuka kotak cincin yang sedari tadi dibawanya.
Seorang pria bernama Andi segera mengambil dan memakaikan cincin di jari
manisku. Begitu pula aku yang segera memakaikan cincin ke jarinya setelah
cincin itu melingkar di jariku. Semua orang bertepuk tangan. Termasuk Dimas
yang masih berada disampingku. Seusai
acara, aku menyusul mereka bertiga yang duduk di salah satu bangku tamu.
“Terimakasih, Yul, Rio, dan Dimas. Kalian sudah membantu
menyukseskan acara ini.”
“Sama-sama, Win. Semoga kamu bahagia, ya.” Jawab Yulia.
Aku kembali menatap Dimas. Dia masih tersenyum dalam keadaan
seperti ini. Ku genggam tanganya dan berkata.
“Kamu yang terhebat, Dimas.”
Tidak lama kemudian, Andi menghampiri kami berempat. Andi
tampak begitu mengerti tentang kami. Lagipula, Andi adalah masa depanku yang
telah aku pilih. Aku bahagia telah memiliki hubungan yang serius dengan Andi.
Meskipun mungkin dulu aku sudah banyak berkorban untuk Dimas, namun inilah yang
kami sebut takdir. Selama ini, kami berempat hanya diuji. Tuhan telah menguji
persahabatan kami. Apakah kami akan hancur karena kesalahpahaman, atau bahkan
lebih kuat dengan kesalahpahaman itu.
Satu kalimat yang terucap untuk Dimas dari kami berdua
adalah “Kamu yang terhebat, Dimas. Terimakasih sudah membawakan cincin
pertunangan kami.”
selesai
Label:
Cerpen
Lokasi: Indonesia
Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah 59454, Indonesia
Sabtu, 17 Januari 2015
Titik-Titik Cinta
Titik-Titik Cinta
writer : Silviana
Sebelumnya terimakasih untuk sahabatku Novia :)
Sofi masih tidak percaya
hari itu akan datang beberapa bulan kemudian. Rasanya masih tidak ingin melepas
kebebasan dan mulai bergelut dengan kehidupan yang tidak pernah dia sangka akan
secepat ini. Sofi tahu bahwa waktu tidak mungkin dapat kembali. Dan dia juga
tidak akan bisa menolak hal yang dulu telah dipilih.
"Sofi, kenapa kamu lama sekali, Nak? Bagus sudah menunggu di depan." Terdengar suara wanita setengah baya melepas kesunyian.
"Ya Bu, sebentar." Sofi segera bergegas merapikan pakaian dan keluar dari kamar yang selalu disebut syurga. Seorang pria bernama Bagus sepertinya sudah sejak lama menunggu di ruang tamu. Dengan sangat terpaksa bibir itu tersenyum pada pria yang beberapa bulan lagi akan menjadi suaminya.
"Kamu kenapa Sofi? sepertinya tidak senang aku datang mengunjungimu?" ucap pria itu dengan halus.
"Aku tidak kenapa-kenapa Mas, aku baik-baik saja," jawab Sofi setengah berbohong.
"Sofi, kenapa kamu lama sekali, Nak? Bagus sudah menunggu di depan." Terdengar suara wanita setengah baya melepas kesunyian.
"Ya Bu, sebentar." Sofi segera bergegas merapikan pakaian dan keluar dari kamar yang selalu disebut syurga. Seorang pria bernama Bagus sepertinya sudah sejak lama menunggu di ruang tamu. Dengan sangat terpaksa bibir itu tersenyum pada pria yang beberapa bulan lagi akan menjadi suaminya.
"Kamu kenapa Sofi? sepertinya tidak senang aku datang mengunjungimu?" ucap pria itu dengan halus.
"Aku tidak kenapa-kenapa Mas, aku baik-baik saja," jawab Sofi setengah berbohong.
Sebenarnya pernikahan mereka
bukanlah suatu perjodohan. Manusia menyebutnya sebagai takdir. Sesuatu yang
akhirnya mempertemukan mereka berdua. Sebuah bangku panjang tempat mereka duduk
pun menjadi saksi kebisuan dalam ruang tamu.
“Sebaiknya kita lekas pergi
sekarang,” ucap Bagus setelah melihat
jam tangannya.
Mereka segera pergi
mengendarai motor setelah berpamitan dengan kedua orang tua Sofi.
**
Hari semakin terik. Mereka berteduh di bawah pohon rindang
sebelah warung kecil. Tanpa aba-aba, Bagus meminta izin meninggalkan Sofi untuk
membeli minuman dingin. Memang tidak ada yang salah dengan Bagus. Semua orang tahu
Bagus adalah pria yang baik. Bahkan dia sudah mapan dalam pekerjaanya. Sebenarnya
tidak ada yang perlu ditakuti Sofi jika setelah ini dia akan menghabiskan sisa
hidupnya bersama Bagus.
“Sofi, ini minumnya.” Kata
Bagus sembari mengulurkan minuman itu.
“Terimakasih, Mas.”
“Apa yang kamu pikirkan?
Sejak tadi pagi Mas perhatikan kamu sering melamun.”
“Sofi baik-baik saja kok,
Mas. Mas tidak perlu khawatir seperti itu.”
“Apa karna orang tua Mas
yang meminta kita untuk segera menikah?”
“Bukan, Mas. Sofi justru
tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali, sungguh.”
Bagus diam seakan
membenarkan perkataan Sofi. Dia hanya tersenyum dan menggenggam tangan
kekasihnya.
**
Hari itu akhirnya datang juga.
Semua anggota keluarga sudah berkumpul di ruang tengah. Begitupun Bagus yang
sudah siap di depan meja ijab Kabul. Namun sudah hampir seperempat jam Sofi
belum juga muncul, membuat semua orang cemas dan bertanya-tanya.
“Bu, panggil Sofi sekarang,” ucap
Ayah Sofi kepada istrinya.
Wanita itu segera berdiri dan
berjalan menyusuri lorong ke kamar Sofi.
“(Tok tok tok) Sofi… kamu sudah
selesai, Nak?”
“i… iya bu, sebentar lagi Sofi
keluar.”
Suara Sofi yang seakan sedang
memendam air mata, membuat wanita itu semakin cemas. Dibukanya pintu kamar dan
alangkah terkejutnya ia melihat putrinya menangis di depan cermin.
“Sofi, apa yang terjadi?”
“Tidak apa-apa bu, Sofi hanya
ingin melepas kesedirian Sofi. Karena setelah ini Sofi akan menjadi seorang
istri.”
“kamu cepat rapikan make-up mu
ya, setelah itu kita keluar. Para tamu sudah menunggu kita terlalu lama.”
Sofi menyeka air matanya dan
keluar. Semua orang tersenyum bahagia melihat calon pengantin perempuannya
sudah muncul. Bagus tersenyum ke arah Sofi yang masih tetap berdiri.
Acara ijab kobul itu berlangsung
hikmat. Dan akhirnya apa yang selama ini mengganggu pikiran Sofi sudah ia
jalani. Kini Sofi dan Bagus sudah menjadi pasangan suami istri. Dan mau tidak
mau, Sofi berkewajiban untuk bebakti pada pria itu.
**
Mata itu terbuka setelah Adzan
subuh berkumandang. Dilihatnya seorang pria di sampingnya yang masih tidur
pulas. Tidak terasa sudah seminggu pernikahan mereka berlangsung. Rasanya masih
tidak percaya bahwa sekarang keadaan sudah berubah. Benar-benar berubah.
“Mas, Bangun. Kita sholat subuh.”
“iya dek. Terimakasih sudah membangunkanku.”
Jawab Bagus dengan senyum manisnya.
Setelah selesai sholat, Sofipun seperti
biasa menyiapkan sarapan untuk suaminya, kemudian mempersiapkan kebutuhan Bagus
untuk bekerja. Seminggu dengan keadaan seperti itu membuat Sofi mulai terbiasa. Seakan memang itulah kehidupan yang sudah
digariskan oleh Tuhan untuknya, dan tidak ada jalan lain untuk merubahnya.
**
Keadaan pasar modern ramai
pengunjung. Seorang pria mendorong trolinya dan sekilas melihat-lihat beberapa
barang yang sekiranya ia perlukan. Sofi berjalan mendekati pria itu lantas
berkata.
“Kak Bimo, ini kak Bimo bukan?”
Pria itu berbalik dan tersenyum.
“Dek Sofi, sendirian saja.
Suaminya kemana?”
Sofi seketika tersadar bahwa
dirinya sekarang sudah bersuami. Ia tidak mungkin lagi dapat bersama kak Bimo
seperti dulu. Meskipun mungkin perasaan
itu masih kuat dan membuat hati Sofi berdetak kencang saat bertemu pria itu,
tetap saja itu hanya sebatas detak jantung.
“oh, Mas Bagus kerja, Kak. Kamu
sendiri kenapa sendirian?”
“Jika tidak sendiri, lalu dengan
siapa? Toh kamu sudah bersuami.”
Jawaban Kak Bimo membuat perasaan
Sofi menjadi tidak karuan. Ingin sekali ia bercerita pada pria itu bahwa hingga
saat ini ia belum menemukan kebahagiaan yang dijanjikan Bagus padanya. Seusai
berbelanja, mereka memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah rumah makan
favorite mereka dahulu. Serasa waktu
kembali seperti dahulu, sebelum Sofi menjadi istri sah Bagus.
“Bagaimana pernikahan kalian,
Sof?”
“Pernikahan…? Baik-baik saja,
Kak?”
“Apakah kamu bahagia?”
“Aku… Jelas aku bahagia, Aku
mendapatkan semuanya sekarang.”
“Syukurlah jika kamu bahagia.
Tapi Sof, Jika kamu masih belum bisa ikhlas dan bahagia bersama Bagus, Aku
minta tolong.”
Sofi terdiam sebentar menunggu
kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh Kak Bimo.
“Aku harap kamu belajar untuk
benar-benar ikhlas mulai hari ini. Kalian sudah Menikah, dan sebelum terlambat
karena sekarang baru 2 minggu, kamu ihklaskan semuanya.”
“Tapi kak, Aku masih belum bisa.”
“Belum bisa tidak berarti tidak
bisa, Sof. Kamu harus tahu, kadang Tuhan tidak mengabulkan doa dan apa yang
kamu harapkan. Bukan karena Tuhan tidak meyayangimu. Tapi karena Tuhan tahu apa
yang terbaik bagimu.”
“Ya kak, Sofi tahu itu.”
“Kadang sesuatu yang sangat
berharga tidak terlihat saat kita berada dalam suatu keadaan. Namun, saat
keadaan itu sudah berganti, sesuatu yang berharga itu tiba-tiba muncul bersama
rasa kehilangan. Dan aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaan itu, Sof.”
“Apa yang kamu Maksud, Kak?”
“Begini dek, mungkin saat ini kamu
merasa tidak ada hal yang berharga saat kamu bersama suamimu. Namun, jika suatu
saat kamu akan merasakan kehilangan hal berharga saat kau tidak lagi bersama
suamimu. Jadi, cintai suamimu seperti dia mencintai kamu dengan segenap
jiwanya.”
Sofi terdiam. Ia tahu apa yang
harus ia lakukan mulai saat ini. Mungkin ia memang sudah kehilangan hal
berharga beberapa bulan silam. Namun ia tak ingin kehilangan hal berharga lain
hanya karena ia menginginkan yang telah hilang untuk kembali.
“Sekarang, Ayo aku antar kamu
pulang.”
“Baik kak.”
**
Tidak seperti biasanya Sofi
meminta Bagus untuk mengantarnya ke Pasar. Hari ini hari minggu. Sofi berencana
untuk menghabiskan akhir minggu bersama suaminya. Sekedar memasak dan makan
malam bersama. Selama masak, Bagus hanya memperhatikan Sofi yang terlihat lebih
manis dengan senyum keihlasan.
“Sof, Mas ingin bertanya padamu.”
“Tanya apa, Mas?”
“Mas tahu, kamu belum bisa
menerima Mas saat hari pernikahan kita. Mas juga sudah berusaha untuk membuatmu
bahagia, tapi kamu masih belum bisa memaafkan keegoisan Mas. Tapi, Mas malah
menjadi Aneh saat kamu bersikap seperti ini. Akhir-akhir ini sikap kamu kepada
Mas mulai berubah. Apa kamu sudah mulai menerima Mas?”
“Mas, Sofi sudah tidak
mempermasalahkan semua itu. Sofi sudah benar-benar ikhlas sekarang. Mas adalah
hal berharga milikku saat ini. Aku memang sudah pernah kehilangan hal berharga
dulu. Dan aku tidak ingin kehilanganya lagi sekarang.”
Dapur itu terasa hangat penuh
cinta. Keihklasan membuat keindahan yang belum pernah ada menjadi ada dan
bahkan lebih. Keikhlasan yang membuat hidup lebih berharga daripada sekedar
memiliki.
The end
terimakasih sudah membaca
Label:
Cerpen
Lokasi: Indonesia
Jepara, Central Java, Indonesia
Kamis, 08 Januari 2015
Kursi Roda Kedua
Kursi Roda Kedua
Writer : Silviana
Kicau burung menghiasi suasana pagi itu. di sebuah taman
rumah sakit seorang gadis kecil duduk diatas kursi roda, dibawah pohon rindang
disamping kolam ikan. Gemericik suara tetes-tetes air ikut menyejukkan suasana
pagi yang cerah itu. wajah itu masih terlihat pucat. Dengan baju rumah sakit
yang dilengkapi dengan syal berwarna kelabu yang selalu terikat di lehernya.
Tak lama kemudian seorang perawatpun mendekatinya dengan nampan yang lengkap
dengan bubur, air minum dan beberapa butir obat. Duduk di sebuah bangku panjang
yang berada tepat disamping gadis kecil itu dan dengan tersenyum hangat ia
berkata “dek, makan dulu ya, nanti minum obat. Biar cepat sembuh”. Gadis kecil
itu tak menjawab. Tatapannya terasa kosong.
Perawat itupun tanpa banyak bicara mulai menyuapkan buburnya. Namun
mulut itu tak menyambutnya. Bahkan berusaha menjauh dari sendok yang
dihadapannya. “satu suap aja,yaa” . gadis kecil itu menatapnya terlihat ingin
mengatakan sesuatu. Perawat itu hanya tersenyum. Ia tau gadis kecil itu pasti
masih syok untuk menerima kenyataan pahit itu. saat dokter mengatakan bahwa
ibunya tersayang tak bisa terselamatkan. Dan kini kakinya, entah sampai kapan
ia harus menghabiskan kesehariannya diatas kursi roda. Di usia yang masih tujuh
tahun ini, masa depan masih sangatlah panjang. Namun inilah takdir, Semua tak
bisa menghindar. Seorang pria yang masih terbalut perban di kepalanya mendekati
gadis kecil dan perawat itu. mencoba tetap tersenyum menerima takdir yang telah
digariskan. “sayang,makan ya. Biar cepat sembuh” “aku ingin disuapin mama” pria
itu seketika terdiam. Dan memandang kearah perawat yang seketika itu langsung
meninggalkan mereka. “papa, dinda pengen ketemu mama. Ayo paa” “sayang lihat
keatas. Mama sudah tenang disana. Mama pasti bakal sedih banget jika melihat
kamu gak mau makan, gak mau minum obat. Memang kamu mau liat mama menangis
disana?” “tapi dinda kan pengen ketemu mama pa” “iya sayang, Papa tau kok. suatu
saat nanti kita pasti bisa kumpul sama mama lagi, sekarang kamu makan ya. Nanti
nasinya nangis loh kalo kamu cuekin”. Rasanya memang sangat memukul. Terlebih
bagi Haris. Baru delapan tahun ia menikah. Anak mereka masih berusia tujuh
tahun. Kini istrinya harus pergi meninggalkannya, dan anak semata wayangnya
harus lumpuh. Akankan ia kuat menghadapi semua ini? Dinda masih terlalu kecil
untuk mulai merasakan penderitaan. Tiba tiba tetes air mata tak dapat lagi
dihindarinya.
*
Siang itu haris tampak membereskan beberapa pakaian dan
dimasukkannya kedalam koper besar. Entah apa yang akan dilakukan pada pakaian
pakaian itu. sosok ibu dari almarhuman Lisa (istrinya) masuk ke kamar itu dengan
mendorong kursi roda bersama Dinda. Tak ada yang bersuara disana. Kembali haris
mengencangkan sleting koper mereka satu persatu hingga menimbulkan suara ktreek
ktreek yang melepas kesunyian itu. setelah semua selesai ketiganya pun keluar membawa koper itu
mendekati sebuah mobil yang telah disiapkan oleh supir keluarga Haris,Mang Yono.
Bi Asri pun tak ketinggalan untuk berada di teras rumah itu dengan mata yang
berkaca kaca. Langkah mang Yono seakan membuat tatapan tatapan kosong mereka
tersadarkan. Hanya mengambil koper dan menaruhnya dibagasi mobil tanpa
mengucapkan satu kalimatpun dari mulutnya. Fyuuuh helaan nafas Haris seakan
memulai pembicaan. “bu, kami pergi dulu ya. Ayo Dinda” “nenek, Dinda pergi dulu
ya” dengan mata berkaca kaca ibu sekitar 65 tahun itu hanya menatap mereka satu
persatu secara bergantian. “ya Ris, jaga diri baik baik disana. Jaga Dinda” “ya
bu, kami pamit” pintu mobilpun dibuka mang Yono untuk mereka. Haris segera
membopong putrinya masuk ke mobil dan mang Yono tanpa aba aba langsung melipat
kursi roda dan meletakkannya di bagasi mobil. Beberapa menit mobilpun berjalan
mulai menjauhi teras dimana mereka berpisah tadi.
*
“Heey teman-teman ada murid baru pincang. Hahahaha”
“hahaha pincang, pincang, pincang”
Dinda menangis dengan kerasnya pagi itu, anak mana yang
tidak menangis jika diledek oleh teman-teman barunya seperti itu, yah mereka
semua memang masih anak-anak. Mereka belum mengerti bagaimana kehidupan nyata
yang sesungguhnya. Yang mereka tau hanya bermain dan sekolah. Dua tahun
kemudian nenek Dinda meninggal dunia. Sejak saat itu Haris seakan benar-benar
terputus dari keluarga Lisa. Hanya Dinda yang dia punya saat ini. Namun
pekerjaan yang mewajibkannya pindah ke luar negeri mengharuskannya untuk
menitipkan Dinda di panti asuhan. Waktu itu Dinda masih berumur 10 tahun, ia
tak bisa berbuat apa apa kecuali hanya menangis melihat ayahnya juga ikut pergi
meninggalkannya. Untungnya di panti asusan itu ia memiliki teman baik yang
selalu mencoba membuatnya tersenyum. Dia satu-satunya anak yang seumuran dengan
Dinda disana, dia bernama Riko. Riko sudah berada di panti asuhan ini sejak ia
bayi. Setidaknya Dinda lebih beruntung karena masih mengenal keluarganya
daripada Riko yang sampai saat inipun tidak pernah tau darimana dia berasal.
Saat memasuki kelas 2 SMP, Riko membelikan sepasang tongkat
untuk Dinda dengan tabunganya selama ini pada hari ulang tahunnya, sekaligus
hari perpisahan mereka berdua. Riko diadobsi oleh salah satu keluarga yang
tinggal diluar kota. “Dinda, belajar berdiri ya, jangan pakai kursi roda terus”
hanya kalimat itu yang diucapkan oleh Riko saat menyerahkan hadiahnya pada
Dinda.
*
Pagi itu panti asuhan sedang sepi. Dinda berniat untuk
mencoba berjalan menggunakan tongkat pemberian Riko. Dengan susah payah ia
mencoba berdiri dengan tongkat yang digenggamnya erat. Namun lantai yang licin
membuat tubuhnya terjatuh kelantai dan pinsan.
Mata itupun terbuka dan banyak sekali orang yang
mengelilinginya termasuk pengasuh panti dan seorang dokter muda. “syukurlah
kamu sudah bangun, ibu sangat hawatir melihat kondisimu tadi. Apa yang kamu
lakukan sayang?” “Dinda hanya ingin mencoba berjalan dengan tongkat. Dinda gak
mau jalan dengan kursi roda terus”. Dokter didepan Dindapun tersenyum “Dinda,
kalo kamu ingin bisa berjalan lagi, bagaimana kalau kamu ikut terapi disini”.
Dinda tidak lekas menjawab, melainkan memandang kea rah pengasuh panti yang
selama ini dia anggap menjadi ibunya.
“Dinda tenang saja, biayanya gratis kok. Karna kamu dari
panti asuhan, jadi rumah sakit ini memberikan keringanan buat kamu”. Senyum itu
seketika mengembang dan kepala itupun mengangguk.
*
“Dinda” tegur seorang pria yang tiba-tiba berada didekatnya.
“ya, kamu siapa?” pria itu bukannya menjawab tapi justru
melihat kearah kaki Dinda”
“kamu beneran Dinda? Dinda udah bisa jalan?”
“darimana kamu tau kalau aku dulu gak bisa jalan?”
“mending aku anter kamu pulang dulu, nanti aku certain”
Dinda terlihat bingung dengan pria ini. Darimana dia tau
namanya, masa lalunya, dan rumahnya. Sampai dipanti semua anak-anak terlihat
senang bermain dengan mainan baru mereka.
Ibu pengasuh panti terlihat bahagia diatas kursi rodanya. Faktor usia
mengharuskan ibu untuk berada diatas kursi roda. Dan sekarang adalah saatnya
Dinda membalas jasa ibu yang dulu setia merawatnya saat masih lumpuh.
“ibu, darimana semua mainan ini? Dan siapa dia?”
“kamu tidak ingat siapa dia? Dia yang berusaha buat kamu
berjalan sampai akhirnya jatuh dan pinsan”
“dia, Rikooooooooooooo” Dinda berlari kearah pria itu dan
memeluknya. .. tidak disangkan Riko tumbuh dewasa menjadi pria tampan sehingga
membuatnya lupa.
Sore itu panti terlihat kembali sepi. Adik-adik dinda sedang
les di tempat seorang guru SD yang tidak jauh dari tempat itu. Dinda dan Riko
duduk ditaman yang masih menjadi tempat favorit mereka sejak dulu hingga saat
ini. Suasananya tenang, dengan angin yang berhembus lirih serta dedaunan yang
melambai-lambai dan gemericik air yang bernyanyi. Riko mengeluarkan sebuah
kartu dan memberikanya pada Dinda. Awalnya dinda bertanya Tanya dalam hati apa
maksudnya kartu ini? Sampai akhirnya Riko menjelaskanya. “aku bekerja disana.
Itu perusahaan milik om ku, dan saat ini perusahaan itu sedang membutuhkan
tenaga administrasi. Aku harap kamu tidak menolak tawaranku.”
“ha, yang bener? Ya aku mau. Jelas aku mau, Riko kamu emang
sahabat yang paling baik sedunia” senyum semangat Dinda membuat Riko ikut
tersenyum lega . Dengan begitu rasa bersalahnya karna sudah meninggalkan Dinda
sendiri dipanti setidaknya berkurang.
*
Tidak terasa hari ini adalah bulan ketiga Dinda bekerja di
perusahaan dimana Riko juga bekerja. Riko memang menjadi atasan Dinda disini,namun
ia tetap menjadi sahabat Dinda diluar kantor. Para pemilik perusahaan akan
datang pada hari ini, semua berkumpul di ruang terbuka yang berada di teras
belakang kantor. Seorang pria separuh baya berbadan besar dan tinggi duduk
dibangku paling depan.
“itu pemilik perusahaan ini” bisik Riko di telinga Dinda.
Seusai acara, pria tinggi itu mendekati Riko dan Dinda. “Riko, terimakasih atas
kerja keras kamu selama ini. Oh ya siapa dia? Pacarmu? Sejak kapan kamu ke
kantor membawa pacarmu?”
“oh tidak pak, ini sahabat saya, sudah seperti adik saya
sendiri. dan kebetulan dia juga sudah 3 bulan bekerja di perusahaan ini sebagai
administrastor” jawab Riko dengan lembut.
“oo ya ya, saya pernah dengar ada karyawan baru disini.
Siapa nama kamu? Tanya pria tinggi itu pada Dinda.
“nama saya Dinda Kusuma pak, cukup dipanggil Dinda saja”.
Wajah pria itu tiba-tiba berubah. Seperti ada sesuatu yang
sedang ia fikirkan. Namun sosok wanita yang seketika itu muncul
disampingnya membuat senyumnya kembali
di sudut bibirnya. “baiklah saya pemisi dulu Riko, Dinda”. Pria itupun pergi
bersama wanita yang digandengnya, mungkin dia istrinya.
*
Dinda menangis di taman panti dengan mengenggam foto kusam
ditanganya. Riko berlari kearah panti dan menemui ibu. “bu, dimana Dinda?”
“tadi ibu lihat dia ditaman sedang menangis? Apa yang
terjadi? Kenapa tadi dia pulang lari sambil menangis?” Riko tanpa sempat
menjawab langsung berlari menuju taman panti, membuat ibu merasa semakin
bingung. Riko berjalan mendekati Dinda yang masih saja menangis. Diambilnya
foto kusam itu dari genggaman tanganya. “jadi benar yang aku fikirkan selama
ini? Aku sudah menduganya sejak awal. Aku seperti pernah melihatnya di album
fotomu.” Riko memeluk Dinda dan mengusap punggungnya.
“kenapa kamu hanya diam?” tanya Riko lagi.
“lalu? Apa yang harus aku lakukan? Aku tak bisa memanggilnya
ayah lagi kan? Dia sudah punya keluarga baru. Dan aku hanya bagian dari masa
lalu yang dibuang”
Pria yang ditemui Dinda hari ini,pria tinggi yang merupakan
pemilik perusahaan tertinggi tempat dimana ia bekerja sekarang tidak lain
adalah Haris, Ayah kandung Dinda sendiri. Namun bahkan untuk memanggil anakku,
dia saja pergi bersama wanita lain yang harus Dinda panggil ibu tiri. Yaps
benar, Haris tidak mengakui Dinda sebagai putrinya, putrinya yang lumpuh yang
ditinggalkanya di panti asuhan dan kini menjadi salah satu karyawan terbaik
diperusahaan yang ia pimpin.
Singkat saja, serapat apapun bangkai di sembunyikan, pasti
akan tercium juga. Istri Haris mengetahui bahwa Dinda adalah anak Haris dari
istrinya yang dulu. Semua itu berawal saat anak Haris(adik tiri Dinda) memarahi
Dinda didepan banyak karyawan perusahaan. Haris yang tidak tega melihat anak
gadisnya di permalukan, justru balik marah pada putranya. Semua orang yang
berada di perusahaan itupun terkejut saat haris memeluk Dinda yang menangis
tersedu-sedu. Kejadian itu diadukan oleh putranya pada ibunya. Karna wanita itu
tidak tau menau tentang apa yang sebenarnya terjadi, ia berfikiran bahwa Dinda
adalah gadis yang tidak tau diri karna ingin mendekati pimpinanya. Hari itu
istri Haris datang mencari dinda. Seperti yang ia duga, wanita itu menemukan
dinda bersama Riko dalam ruangan administrasi. “oh jadi begini tingkah laku
kalian. Jadi begini sebenarnya kamu Dinda. Kamu mendekati suami saya padahal
kamu sudah berpacaran dengan Riko”
“maaf ibu, saya bisa jelaskan” ucap Riko mencoba
menghentikan emosi istri pimpinanya.
“kamu diam Riko, jelas-jelas pacarmu mendekati suami saya,
kamu masih saja membelanya. Mulai sekarang kamu saya pecat”
“ibu, ibu tidak bisa seperti itu, yang mengangkat dinda kan
HRD, jadi yang berhak memecat dinda juga HRD” tegas Riko memberikan pembelaan
pada gadis yang sedari tadi bersamanya.
Keributan itu terdengar oleh Haris. Pria itupun menghampiri
ruangan itu. “ada apa ini? Loh ma, kenapa ada disini? Mari kita bicarakan
baik-baik diluar. Tidak enak berada disini. Dan kalian Riko, Dinda kalian juga
ikut bersama kami”
Ke empatnya keluar dan menuju ke sebuah rumah makan yang
tidak jauh dari kantor. Disana Haris mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya
terjadi. Bahwa Dinda adalah anaknya dengan istri pertamanya yang meninggal saat
Dinda masih kecil. Namun istri Haris masih saja tidak bisa menerima jika Dinda
kembali masuk ke kehidupan Haris. “bukankan dia sudah kamu buang dulu? Kenapa
sekarang kamu mau mengambilnya lagi?”. Dinda terdiam dan kemudian berdiri. Ia
segera pergi meninggalkan tempat itu. Dinda benar-benar tak habis pikir.jadi
selama ini dia dibuang? Sengaja ditinggalkan dipanti asuhan dengan alasan akan
melanjutkan pekerjaanya di luar negeri? Ternyata semua itu bohong? Dinda menangis
sepanjang jalan. Ingin sekali ia mengakhiri hidupnya, maka iapun berdiri di
tengah jalan menunggu laju mobil dari arah depanya menghantam tubuh itu. Haris
berlari dari dalam rumah makan setelah melihat laju mobil dari arah utara.
“Dinda kamu gila sayang, awaaas.”
Mata Dinda terbuka dengan berkaca-kaca. Gerakan ayahnya
lebih cepat dari laju mobil itu. “apa yang kamu lakukan sayang? Ayah
menyayangimu. Ayah mohon maafkan ayah Dinda”. Haris mencoba berdiri dengan
tubuh yang sempoyongan. Tubuhnya yang lemas membuatnya bergerak kearah jalan
raya. Dinda terbelalak setelah mendengar teriakan istri Haris dan Riko dari
sebrang jalan, “awas pak Haris. Awaas”. Laju mobil besar yang lebih cepat dari
laju mobil pertama datang kearah Haris. Tubuh Haris yang sempoyongan membuatnya
pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. Dinda segera berdiri dan membawa tubuh ayahnya ke pinggir.
*
Lampu kamar itu terlihat silau saat Dinda membuka matanya.
Semua orang yang ada ditempat itu segera mengelilingi tubuh Dinda yang masih
lemas. Meskipun mobil itu akhirnya berhenti, namun ban mobil depan sempat
melindas kaki Dinda. Haris menangis memeluk tubuh putrinya yang rela
mengorbankan kakinya untuk menyelamatkannya. Padahal yang mereka semua tau,
Dinda barusaja turun dari kursi roda beberapa tahun lalu. Dan sekarang ia akan
berada dikursi roda untuk selamanya. Satu kalimat yang terucap manis dari bibir
Dinda adalah “Ayah belum pernah merasakan duduk diatas kursi roda, ayah pasti
akan kesusahan. Sedangkan Dinda sudah bertahun-tahun hidup diatas kursi roda,
jadi Dinda sudah terbiasa”.
Haris semakin menangis mendengar ucapan putrinya. Semua
orang menangis melihat keadaan Dinda dalam kamar rumah sakit sore itu. Haris
tidak menyangka anak yang dulu berniat ia buang karna cacat, ternyata menyelamatkan
hidupnya dan rela untuk kembali cacat.
Selesai
Label:
Cerpen
Lokasi: Indonesia
Jepara, Central Java, Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)