Kursi Roda Kedua
Writer : Silviana
Kicau burung menghiasi suasana pagi itu. di sebuah taman
rumah sakit seorang gadis kecil duduk diatas kursi roda, dibawah pohon rindang
disamping kolam ikan. Gemericik suara tetes-tetes air ikut menyejukkan suasana
pagi yang cerah itu. wajah itu masih terlihat pucat. Dengan baju rumah sakit
yang dilengkapi dengan syal berwarna kelabu yang selalu terikat di lehernya.
Tak lama kemudian seorang perawatpun mendekatinya dengan nampan yang lengkap
dengan bubur, air minum dan beberapa butir obat. Duduk di sebuah bangku panjang
yang berada tepat disamping gadis kecil itu dan dengan tersenyum hangat ia
berkata “dek, makan dulu ya, nanti minum obat. Biar cepat sembuh”. Gadis kecil
itu tak menjawab. Tatapannya terasa kosong.
Perawat itupun tanpa banyak bicara mulai menyuapkan buburnya. Namun
mulut itu tak menyambutnya. Bahkan berusaha menjauh dari sendok yang
dihadapannya. “satu suap aja,yaa” . gadis kecil itu menatapnya terlihat ingin
mengatakan sesuatu. Perawat itu hanya tersenyum. Ia tau gadis kecil itu pasti
masih syok untuk menerima kenyataan pahit itu. saat dokter mengatakan bahwa
ibunya tersayang tak bisa terselamatkan. Dan kini kakinya, entah sampai kapan
ia harus menghabiskan kesehariannya diatas kursi roda. Di usia yang masih tujuh
tahun ini, masa depan masih sangatlah panjang. Namun inilah takdir, Semua tak
bisa menghindar. Seorang pria yang masih terbalut perban di kepalanya mendekati
gadis kecil dan perawat itu. mencoba tetap tersenyum menerima takdir yang telah
digariskan. “sayang,makan ya. Biar cepat sembuh” “aku ingin disuapin mama” pria
itu seketika terdiam. Dan memandang kearah perawat yang seketika itu langsung
meninggalkan mereka. “papa, dinda pengen ketemu mama. Ayo paa” “sayang lihat
keatas. Mama sudah tenang disana. Mama pasti bakal sedih banget jika melihat
kamu gak mau makan, gak mau minum obat. Memang kamu mau liat mama menangis
disana?” “tapi dinda kan pengen ketemu mama pa” “iya sayang, Papa tau kok. suatu
saat nanti kita pasti bisa kumpul sama mama lagi, sekarang kamu makan ya. Nanti
nasinya nangis loh kalo kamu cuekin”. Rasanya memang sangat memukul. Terlebih
bagi Haris. Baru delapan tahun ia menikah. Anak mereka masih berusia tujuh
tahun. Kini istrinya harus pergi meninggalkannya, dan anak semata wayangnya
harus lumpuh. Akankan ia kuat menghadapi semua ini? Dinda masih terlalu kecil
untuk mulai merasakan penderitaan. Tiba tiba tetes air mata tak dapat lagi
dihindarinya.
*
Siang itu haris tampak membereskan beberapa pakaian dan
dimasukkannya kedalam koper besar. Entah apa yang akan dilakukan pada pakaian
pakaian itu. sosok ibu dari almarhuman Lisa (istrinya) masuk ke kamar itu dengan
mendorong kursi roda bersama Dinda. Tak ada yang bersuara disana. Kembali haris
mengencangkan sleting koper mereka satu persatu hingga menimbulkan suara ktreek
ktreek yang melepas kesunyian itu. setelah semua selesai ketiganya pun keluar membawa koper itu
mendekati sebuah mobil yang telah disiapkan oleh supir keluarga Haris,Mang Yono.
Bi Asri pun tak ketinggalan untuk berada di teras rumah itu dengan mata yang
berkaca kaca. Langkah mang Yono seakan membuat tatapan tatapan kosong mereka
tersadarkan. Hanya mengambil koper dan menaruhnya dibagasi mobil tanpa
mengucapkan satu kalimatpun dari mulutnya. Fyuuuh helaan nafas Haris seakan
memulai pembicaan. “bu, kami pergi dulu ya. Ayo Dinda” “nenek, Dinda pergi dulu
ya” dengan mata berkaca kaca ibu sekitar 65 tahun itu hanya menatap mereka satu
persatu secara bergantian. “ya Ris, jaga diri baik baik disana. Jaga Dinda” “ya
bu, kami pamit” pintu mobilpun dibuka mang Yono untuk mereka. Haris segera
membopong putrinya masuk ke mobil dan mang Yono tanpa aba aba langsung melipat
kursi roda dan meletakkannya di bagasi mobil. Beberapa menit mobilpun berjalan
mulai menjauhi teras dimana mereka berpisah tadi.
*
“Heey teman-teman ada murid baru pincang. Hahahaha”
“hahaha pincang, pincang, pincang”
Dinda menangis dengan kerasnya pagi itu, anak mana yang
tidak menangis jika diledek oleh teman-teman barunya seperti itu, yah mereka
semua memang masih anak-anak. Mereka belum mengerti bagaimana kehidupan nyata
yang sesungguhnya. Yang mereka tau hanya bermain dan sekolah. Dua tahun
kemudian nenek Dinda meninggal dunia. Sejak saat itu Haris seakan benar-benar
terputus dari keluarga Lisa. Hanya Dinda yang dia punya saat ini. Namun
pekerjaan yang mewajibkannya pindah ke luar negeri mengharuskannya untuk
menitipkan Dinda di panti asuhan. Waktu itu Dinda masih berumur 10 tahun, ia
tak bisa berbuat apa apa kecuali hanya menangis melihat ayahnya juga ikut pergi
meninggalkannya. Untungnya di panti asusan itu ia memiliki teman baik yang
selalu mencoba membuatnya tersenyum. Dia satu-satunya anak yang seumuran dengan
Dinda disana, dia bernama Riko. Riko sudah berada di panti asuhan ini sejak ia
bayi. Setidaknya Dinda lebih beruntung karena masih mengenal keluarganya
daripada Riko yang sampai saat inipun tidak pernah tau darimana dia berasal.
Saat memasuki kelas 2 SMP, Riko membelikan sepasang tongkat
untuk Dinda dengan tabunganya selama ini pada hari ulang tahunnya, sekaligus
hari perpisahan mereka berdua. Riko diadobsi oleh salah satu keluarga yang
tinggal diluar kota. “Dinda, belajar berdiri ya, jangan pakai kursi roda terus”
hanya kalimat itu yang diucapkan oleh Riko saat menyerahkan hadiahnya pada
Dinda.
*
Pagi itu panti asuhan sedang sepi. Dinda berniat untuk
mencoba berjalan menggunakan tongkat pemberian Riko. Dengan susah payah ia
mencoba berdiri dengan tongkat yang digenggamnya erat. Namun lantai yang licin
membuat tubuhnya terjatuh kelantai dan pinsan.
Mata itupun terbuka dan banyak sekali orang yang
mengelilinginya termasuk pengasuh panti dan seorang dokter muda. “syukurlah
kamu sudah bangun, ibu sangat hawatir melihat kondisimu tadi. Apa yang kamu
lakukan sayang?” “Dinda hanya ingin mencoba berjalan dengan tongkat. Dinda gak
mau jalan dengan kursi roda terus”. Dokter didepan Dindapun tersenyum “Dinda,
kalo kamu ingin bisa berjalan lagi, bagaimana kalau kamu ikut terapi disini”.
Dinda tidak lekas menjawab, melainkan memandang kea rah pengasuh panti yang
selama ini dia anggap menjadi ibunya.
“Dinda tenang saja, biayanya gratis kok. Karna kamu dari
panti asuhan, jadi rumah sakit ini memberikan keringanan buat kamu”. Senyum itu
seketika mengembang dan kepala itupun mengangguk.
*
“Dinda” tegur seorang pria yang tiba-tiba berada didekatnya.
“ya, kamu siapa?” pria itu bukannya menjawab tapi justru
melihat kearah kaki Dinda”
“kamu beneran Dinda? Dinda udah bisa jalan?”
“darimana kamu tau kalau aku dulu gak bisa jalan?”
“mending aku anter kamu pulang dulu, nanti aku certain”
Dinda terlihat bingung dengan pria ini. Darimana dia tau
namanya, masa lalunya, dan rumahnya. Sampai dipanti semua anak-anak terlihat
senang bermain dengan mainan baru mereka.
Ibu pengasuh panti terlihat bahagia diatas kursi rodanya. Faktor usia
mengharuskan ibu untuk berada diatas kursi roda. Dan sekarang adalah saatnya
Dinda membalas jasa ibu yang dulu setia merawatnya saat masih lumpuh.
“ibu, darimana semua mainan ini? Dan siapa dia?”
“kamu tidak ingat siapa dia? Dia yang berusaha buat kamu
berjalan sampai akhirnya jatuh dan pinsan”
“dia, Rikooooooooooooo” Dinda berlari kearah pria itu dan
memeluknya. .. tidak disangkan Riko tumbuh dewasa menjadi pria tampan sehingga
membuatnya lupa.
Sore itu panti terlihat kembali sepi. Adik-adik dinda sedang
les di tempat seorang guru SD yang tidak jauh dari tempat itu. Dinda dan Riko
duduk ditaman yang masih menjadi tempat favorit mereka sejak dulu hingga saat
ini. Suasananya tenang, dengan angin yang berhembus lirih serta dedaunan yang
melambai-lambai dan gemericik air yang bernyanyi. Riko mengeluarkan sebuah
kartu dan memberikanya pada Dinda. Awalnya dinda bertanya Tanya dalam hati apa
maksudnya kartu ini? Sampai akhirnya Riko menjelaskanya. “aku bekerja disana.
Itu perusahaan milik om ku, dan saat ini perusahaan itu sedang membutuhkan
tenaga administrasi. Aku harap kamu tidak menolak tawaranku.”
“ha, yang bener? Ya aku mau. Jelas aku mau, Riko kamu emang
sahabat yang paling baik sedunia” senyum semangat Dinda membuat Riko ikut
tersenyum lega . Dengan begitu rasa bersalahnya karna sudah meninggalkan Dinda
sendiri dipanti setidaknya berkurang.
*
Tidak terasa hari ini adalah bulan ketiga Dinda bekerja di
perusahaan dimana Riko juga bekerja. Riko memang menjadi atasan Dinda disini,namun
ia tetap menjadi sahabat Dinda diluar kantor. Para pemilik perusahaan akan
datang pada hari ini, semua berkumpul di ruang terbuka yang berada di teras
belakang kantor. Seorang pria separuh baya berbadan besar dan tinggi duduk
dibangku paling depan.
“itu pemilik perusahaan ini” bisik Riko di telinga Dinda.
Seusai acara, pria tinggi itu mendekati Riko dan Dinda. “Riko, terimakasih atas
kerja keras kamu selama ini. Oh ya siapa dia? Pacarmu? Sejak kapan kamu ke
kantor membawa pacarmu?”
“oh tidak pak, ini sahabat saya, sudah seperti adik saya
sendiri. dan kebetulan dia juga sudah 3 bulan bekerja di perusahaan ini sebagai
administrastor” jawab Riko dengan lembut.
“oo ya ya, saya pernah dengar ada karyawan baru disini.
Siapa nama kamu? Tanya pria tinggi itu pada Dinda.
“nama saya Dinda Kusuma pak, cukup dipanggil Dinda saja”.
Wajah pria itu tiba-tiba berubah. Seperti ada sesuatu yang
sedang ia fikirkan. Namun sosok wanita yang seketika itu muncul
disampingnya membuat senyumnya kembali
di sudut bibirnya. “baiklah saya pemisi dulu Riko, Dinda”. Pria itupun pergi
bersama wanita yang digandengnya, mungkin dia istrinya.
*
Dinda menangis di taman panti dengan mengenggam foto kusam
ditanganya. Riko berlari kearah panti dan menemui ibu. “bu, dimana Dinda?”
“tadi ibu lihat dia ditaman sedang menangis? Apa yang
terjadi? Kenapa tadi dia pulang lari sambil menangis?” Riko tanpa sempat
menjawab langsung berlari menuju taman panti, membuat ibu merasa semakin
bingung. Riko berjalan mendekati Dinda yang masih saja menangis. Diambilnya
foto kusam itu dari genggaman tanganya. “jadi benar yang aku fikirkan selama
ini? Aku sudah menduganya sejak awal. Aku seperti pernah melihatnya di album
fotomu.” Riko memeluk Dinda dan mengusap punggungnya.
“kenapa kamu hanya diam?” tanya Riko lagi.
“lalu? Apa yang harus aku lakukan? Aku tak bisa memanggilnya
ayah lagi kan? Dia sudah punya keluarga baru. Dan aku hanya bagian dari masa
lalu yang dibuang”
Pria yang ditemui Dinda hari ini,pria tinggi yang merupakan
pemilik perusahaan tertinggi tempat dimana ia bekerja sekarang tidak lain
adalah Haris, Ayah kandung Dinda sendiri. Namun bahkan untuk memanggil anakku,
dia saja pergi bersama wanita lain yang harus Dinda panggil ibu tiri. Yaps
benar, Haris tidak mengakui Dinda sebagai putrinya, putrinya yang lumpuh yang
ditinggalkanya di panti asuhan dan kini menjadi salah satu karyawan terbaik
diperusahaan yang ia pimpin.
Singkat saja, serapat apapun bangkai di sembunyikan, pasti
akan tercium juga. Istri Haris mengetahui bahwa Dinda adalah anak Haris dari
istrinya yang dulu. Semua itu berawal saat anak Haris(adik tiri Dinda) memarahi
Dinda didepan banyak karyawan perusahaan. Haris yang tidak tega melihat anak
gadisnya di permalukan, justru balik marah pada putranya. Semua orang yang
berada di perusahaan itupun terkejut saat haris memeluk Dinda yang menangis
tersedu-sedu. Kejadian itu diadukan oleh putranya pada ibunya. Karna wanita itu
tidak tau menau tentang apa yang sebenarnya terjadi, ia berfikiran bahwa Dinda
adalah gadis yang tidak tau diri karna ingin mendekati pimpinanya. Hari itu
istri Haris datang mencari dinda. Seperti yang ia duga, wanita itu menemukan
dinda bersama Riko dalam ruangan administrasi. “oh jadi begini tingkah laku
kalian. Jadi begini sebenarnya kamu Dinda. Kamu mendekati suami saya padahal
kamu sudah berpacaran dengan Riko”
“maaf ibu, saya bisa jelaskan” ucap Riko mencoba
menghentikan emosi istri pimpinanya.
“kamu diam Riko, jelas-jelas pacarmu mendekati suami saya,
kamu masih saja membelanya. Mulai sekarang kamu saya pecat”
“ibu, ibu tidak bisa seperti itu, yang mengangkat dinda kan
HRD, jadi yang berhak memecat dinda juga HRD” tegas Riko memberikan pembelaan
pada gadis yang sedari tadi bersamanya.
Keributan itu terdengar oleh Haris. Pria itupun menghampiri
ruangan itu. “ada apa ini? Loh ma, kenapa ada disini? Mari kita bicarakan
baik-baik diluar. Tidak enak berada disini. Dan kalian Riko, Dinda kalian juga
ikut bersama kami”
Ke empatnya keluar dan menuju ke sebuah rumah makan yang
tidak jauh dari kantor. Disana Haris mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya
terjadi. Bahwa Dinda adalah anaknya dengan istri pertamanya yang meninggal saat
Dinda masih kecil. Namun istri Haris masih saja tidak bisa menerima jika Dinda
kembali masuk ke kehidupan Haris. “bukankan dia sudah kamu buang dulu? Kenapa
sekarang kamu mau mengambilnya lagi?”. Dinda terdiam dan kemudian berdiri. Ia
segera pergi meninggalkan tempat itu. Dinda benar-benar tak habis pikir.jadi
selama ini dia dibuang? Sengaja ditinggalkan dipanti asuhan dengan alasan akan
melanjutkan pekerjaanya di luar negeri? Ternyata semua itu bohong? Dinda menangis
sepanjang jalan. Ingin sekali ia mengakhiri hidupnya, maka iapun berdiri di
tengah jalan menunggu laju mobil dari arah depanya menghantam tubuh itu. Haris
berlari dari dalam rumah makan setelah melihat laju mobil dari arah utara.
“Dinda kamu gila sayang, awaaas.”
Mata Dinda terbuka dengan berkaca-kaca. Gerakan ayahnya
lebih cepat dari laju mobil itu. “apa yang kamu lakukan sayang? Ayah
menyayangimu. Ayah mohon maafkan ayah Dinda”. Haris mencoba berdiri dengan
tubuh yang sempoyongan. Tubuhnya yang lemas membuatnya bergerak kearah jalan
raya. Dinda terbelalak setelah mendengar teriakan istri Haris dan Riko dari
sebrang jalan, “awas pak Haris. Awaas”. Laju mobil besar yang lebih cepat dari
laju mobil pertama datang kearah Haris. Tubuh Haris yang sempoyongan membuatnya
pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. Dinda segera berdiri dan membawa tubuh ayahnya ke pinggir.
*
Lampu kamar itu terlihat silau saat Dinda membuka matanya.
Semua orang yang ada ditempat itu segera mengelilingi tubuh Dinda yang masih
lemas. Meskipun mobil itu akhirnya berhenti, namun ban mobil depan sempat
melindas kaki Dinda. Haris menangis memeluk tubuh putrinya yang rela
mengorbankan kakinya untuk menyelamatkannya. Padahal yang mereka semua tau,
Dinda barusaja turun dari kursi roda beberapa tahun lalu. Dan sekarang ia akan
berada dikursi roda untuk selamanya. Satu kalimat yang terucap manis dari bibir
Dinda adalah “Ayah belum pernah merasakan duduk diatas kursi roda, ayah pasti
akan kesusahan. Sedangkan Dinda sudah bertahun-tahun hidup diatas kursi roda,
jadi Dinda sudah terbiasa”.
Haris semakin menangis mendengar ucapan putrinya. Semua
orang menangis melihat keadaan Dinda dalam kamar rumah sakit sore itu. Haris
tidak menyangka anak yang dulu berniat ia buang karna cacat, ternyata menyelamatkan
hidupnya dan rela untuk kembali cacat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar