Kamis, 08 Januari 2015

Kursi Roda Kedua



Kursi Roda Kedua

Writer : Silviana

Kicau burung menghiasi suasana pagi itu. di sebuah taman rumah sakit seorang gadis kecil duduk diatas kursi roda, dibawah pohon rindang disamping kolam ikan. Gemericik suara tetes-tetes air ikut menyejukkan suasana pagi yang cerah itu. wajah itu masih terlihat pucat. Dengan baju rumah sakit yang dilengkapi dengan syal berwarna kelabu yang selalu terikat di lehernya. Tak lama kemudian seorang perawatpun mendekatinya dengan nampan yang lengkap dengan bubur, air minum dan beberapa butir obat. Duduk di sebuah bangku panjang yang berada tepat disamping gadis kecil itu dan dengan tersenyum hangat ia berkata “dek, makan dulu ya, nanti minum obat. Biar cepat sembuh”. Gadis kecil itu tak menjawab. Tatapannya terasa kosong.  Perawat itupun tanpa banyak bicara mulai menyuapkan buburnya. Namun mulut itu tak menyambutnya. Bahkan berusaha menjauh dari sendok yang dihadapannya. “satu suap aja,yaa” . gadis kecil itu menatapnya terlihat ingin mengatakan sesuatu. Perawat itu hanya tersenyum. Ia tau gadis kecil itu pasti masih syok untuk menerima kenyataan pahit itu. saat dokter mengatakan bahwa ibunya tersayang tak bisa terselamatkan. Dan kini kakinya, entah sampai kapan ia harus menghabiskan kesehariannya diatas kursi roda. Di usia yang masih tujuh tahun ini, masa depan masih sangatlah panjang. Namun inilah takdir, Semua tak bisa menghindar. Seorang pria yang masih terbalut perban di kepalanya mendekati gadis kecil dan perawat itu. mencoba tetap tersenyum menerima takdir yang telah digariskan. “sayang,makan ya. Biar cepat sembuh” “aku ingin disuapin mama” pria itu seketika terdiam. Dan memandang kearah perawat yang seketika itu langsung meninggalkan mereka. “papa, dinda pengen ketemu mama. Ayo paa” “sayang lihat keatas. Mama sudah tenang disana. Mama pasti bakal sedih banget jika melihat kamu gak mau makan, gak mau minum obat. Memang kamu mau liat mama menangis disana?” “tapi dinda kan pengen ketemu mama pa” “iya sayang, Papa tau kok. suatu saat nanti kita pasti bisa kumpul sama mama lagi, sekarang kamu makan ya. Nanti nasinya nangis loh kalo kamu cuekin”. Rasanya memang sangat memukul. Terlebih bagi Haris. Baru delapan tahun ia menikah. Anak mereka masih berusia tujuh tahun. Kini istrinya harus pergi meninggalkannya, dan anak semata wayangnya harus lumpuh. Akankan ia kuat menghadapi semua ini? Dinda masih terlalu kecil untuk mulai merasakan penderitaan. Tiba tiba tetes air mata tak dapat lagi dihindarinya.  
*
Siang itu haris tampak membereskan beberapa pakaian dan dimasukkannya kedalam koper besar. Entah apa yang akan dilakukan pada pakaian pakaian itu. sosok ibu dari almarhuman Lisa (istrinya) masuk ke kamar itu dengan mendorong kursi roda bersama Dinda. Tak ada yang bersuara disana. Kembali haris mengencangkan sleting koper mereka satu persatu hingga menimbulkan suara ktreek ktreek yang melepas kesunyian itu. setelah semua selesai  ketiganya pun keluar membawa koper itu mendekati sebuah mobil yang telah disiapkan oleh supir keluarga Haris,Mang Yono. Bi Asri pun tak ketinggalan untuk berada di teras rumah itu dengan mata yang berkaca kaca. Langkah mang Yono seakan membuat tatapan tatapan kosong mereka tersadarkan. Hanya mengambil koper dan menaruhnya dibagasi mobil tanpa mengucapkan satu kalimatpun dari mulutnya. Fyuuuh helaan nafas Haris seakan memulai pembicaan. “bu, kami pergi dulu ya. Ayo Dinda” “nenek, Dinda pergi dulu ya” dengan mata berkaca kaca ibu sekitar 65 tahun itu hanya menatap mereka satu persatu secara bergantian. “ya Ris, jaga diri baik baik disana. Jaga Dinda” “ya bu, kami pamit” pintu mobilpun dibuka mang Yono untuk mereka. Haris segera membopong putrinya masuk ke mobil dan mang Yono tanpa aba aba langsung melipat kursi roda dan meletakkannya di bagasi mobil. Beberapa menit mobilpun berjalan mulai menjauhi teras dimana mereka berpisah tadi.
*
“Heey teman-teman ada murid baru pincang. Hahahaha”
“hahaha pincang, pincang, pincang”
Dinda menangis dengan kerasnya pagi itu, anak mana yang tidak menangis jika diledek oleh teman-teman barunya seperti itu, yah mereka semua memang masih anak-anak. Mereka belum mengerti bagaimana kehidupan nyata yang sesungguhnya. Yang mereka tau hanya bermain dan sekolah. Dua tahun kemudian nenek Dinda meninggal dunia. Sejak saat itu Haris seakan benar-benar terputus dari keluarga Lisa. Hanya Dinda yang dia punya saat ini. Namun pekerjaan yang mewajibkannya pindah ke luar negeri mengharuskannya untuk menitipkan Dinda di panti asuhan. Waktu itu Dinda masih berumur 10 tahun, ia tak bisa berbuat apa apa kecuali hanya menangis melihat ayahnya juga ikut pergi meninggalkannya. Untungnya di panti asusan itu ia memiliki teman baik yang selalu mencoba membuatnya tersenyum. Dia satu-satunya anak yang seumuran dengan Dinda disana, dia bernama Riko. Riko sudah berada di panti asuhan ini sejak ia bayi. Setidaknya Dinda lebih beruntung karena masih mengenal keluarganya daripada Riko yang sampai saat inipun tidak pernah tau darimana dia berasal.
Saat memasuki kelas 2 SMP, Riko membelikan sepasang tongkat untuk Dinda dengan tabunganya selama ini pada hari ulang tahunnya, sekaligus hari perpisahan mereka berdua. Riko diadobsi oleh salah satu keluarga yang tinggal diluar kota. “Dinda, belajar berdiri ya, jangan pakai kursi roda terus” hanya kalimat itu yang diucapkan oleh Riko saat menyerahkan hadiahnya pada Dinda.
*
Pagi itu panti asuhan sedang sepi. Dinda berniat untuk mencoba berjalan menggunakan tongkat pemberian Riko. Dengan susah payah ia mencoba berdiri dengan tongkat yang digenggamnya erat. Namun lantai yang licin membuat tubuhnya terjatuh kelantai dan pinsan.
Mata itupun terbuka dan banyak sekali orang yang mengelilinginya termasuk pengasuh panti dan seorang dokter muda. “syukurlah kamu sudah bangun, ibu sangat hawatir melihat kondisimu tadi. Apa yang kamu lakukan sayang?” “Dinda hanya ingin mencoba berjalan dengan tongkat. Dinda gak mau jalan dengan kursi roda terus”. Dokter didepan Dindapun tersenyum “Dinda, kalo kamu ingin bisa berjalan lagi, bagaimana kalau kamu ikut terapi disini”. Dinda tidak lekas menjawab, melainkan memandang kea rah pengasuh panti yang selama ini dia anggap menjadi ibunya.
“Dinda tenang saja, biayanya gratis kok. Karna kamu dari panti asuhan, jadi rumah sakit ini memberikan keringanan buat kamu”. Senyum itu seketika mengembang dan kepala itupun mengangguk.
*
“Dinda” tegur seorang pria yang tiba-tiba berada didekatnya.
“ya, kamu siapa?” pria itu bukannya menjawab tapi justru melihat kearah kaki Dinda”
“kamu beneran Dinda? Dinda udah bisa jalan?”
“darimana kamu tau kalau aku dulu gak bisa jalan?”
“mending aku anter kamu pulang dulu, nanti aku certain”
Dinda terlihat bingung dengan pria ini. Darimana dia tau namanya, masa lalunya, dan rumahnya. Sampai dipanti semua anak-anak terlihat senang bermain dengan mainan baru mereka.  Ibu pengasuh panti terlihat bahagia diatas kursi rodanya. Faktor usia mengharuskan ibu untuk berada diatas kursi roda. Dan sekarang adalah saatnya Dinda membalas jasa ibu yang dulu setia merawatnya saat masih lumpuh.
“ibu, darimana semua mainan ini? Dan siapa dia?”
“kamu tidak ingat siapa dia? Dia yang berusaha buat kamu berjalan sampai akhirnya jatuh dan pinsan”
“dia, Rikooooooooooooo” Dinda berlari kearah pria itu dan memeluknya. .. tidak disangkan Riko tumbuh dewasa menjadi pria tampan sehingga membuatnya lupa.
Sore itu panti terlihat kembali sepi. Adik-adik dinda sedang les di tempat seorang guru SD yang tidak jauh dari tempat itu. Dinda dan Riko duduk ditaman yang masih menjadi tempat favorit mereka sejak dulu hingga saat ini. Suasananya tenang, dengan angin yang berhembus lirih serta dedaunan yang melambai-lambai dan gemericik air yang bernyanyi. Riko mengeluarkan sebuah kartu dan memberikanya pada Dinda. Awalnya dinda bertanya Tanya dalam hati apa maksudnya kartu ini? Sampai akhirnya Riko menjelaskanya. “aku bekerja disana. Itu perusahaan milik om ku, dan saat ini perusahaan itu sedang membutuhkan tenaga administrasi. Aku harap kamu tidak menolak tawaranku.”
“ha, yang bener? Ya aku mau. Jelas aku mau, Riko kamu emang sahabat yang paling baik sedunia” senyum semangat Dinda membuat Riko ikut tersenyum lega . Dengan begitu rasa bersalahnya karna sudah meninggalkan Dinda sendiri dipanti setidaknya berkurang.
*
Tidak terasa hari ini adalah bulan ketiga Dinda bekerja di perusahaan dimana Riko juga bekerja. Riko memang menjadi atasan Dinda disini,namun ia tetap menjadi sahabat Dinda diluar kantor. Para pemilik perusahaan akan datang pada hari ini, semua berkumpul di ruang terbuka yang berada di teras belakang kantor. Seorang pria separuh baya berbadan besar dan tinggi duduk dibangku paling depan.
“itu pemilik perusahaan ini” bisik Riko di telinga Dinda. Seusai acara, pria tinggi itu mendekati Riko dan Dinda. “Riko, terimakasih atas kerja keras kamu selama ini. Oh ya siapa dia? Pacarmu? Sejak kapan kamu ke kantor membawa pacarmu?”
“oh tidak pak, ini sahabat saya, sudah seperti adik saya sendiri. dan kebetulan dia juga sudah 3 bulan bekerja di perusahaan ini sebagai administrastor” jawab Riko dengan lembut.
“oo ya ya, saya pernah dengar ada karyawan baru disini. Siapa nama kamu? Tanya pria tinggi itu pada Dinda.
“nama saya Dinda Kusuma pak, cukup dipanggil Dinda saja”.
Wajah pria itu tiba-tiba berubah. Seperti ada sesuatu yang sedang ia fikirkan. Namun sosok wanita yang seketika itu muncul disampingnya  membuat senyumnya kembali di sudut bibirnya. “baiklah saya pemisi dulu Riko, Dinda”. Pria itupun pergi bersama wanita yang digandengnya, mungkin dia istrinya.
*
Dinda menangis di taman panti dengan mengenggam foto kusam ditanganya. Riko berlari kearah panti dan menemui ibu. “bu, dimana Dinda?”
“tadi ibu lihat dia ditaman sedang menangis? Apa yang terjadi? Kenapa tadi dia pulang lari sambil menangis?” Riko tanpa sempat menjawab langsung berlari menuju taman panti, membuat ibu merasa semakin bingung. Riko berjalan mendekati Dinda yang masih saja menangis. Diambilnya foto kusam itu dari genggaman tanganya. “jadi benar yang aku fikirkan selama ini? Aku sudah menduganya sejak awal. Aku seperti pernah melihatnya di album fotomu.” Riko memeluk Dinda dan mengusap punggungnya.
“kenapa kamu hanya diam?” tanya Riko lagi.
“lalu? Apa yang harus aku lakukan? Aku tak bisa memanggilnya ayah lagi kan? Dia sudah punya keluarga baru. Dan aku hanya bagian dari masa lalu yang dibuang”
Pria yang ditemui Dinda hari ini,pria tinggi yang merupakan pemilik perusahaan tertinggi tempat dimana ia bekerja sekarang tidak lain adalah Haris, Ayah kandung Dinda sendiri. Namun bahkan untuk memanggil anakku, dia saja pergi bersama wanita lain yang harus Dinda panggil ibu tiri. Yaps benar, Haris tidak mengakui Dinda sebagai putrinya, putrinya yang lumpuh yang ditinggalkanya di panti asuhan dan kini menjadi salah satu karyawan terbaik diperusahaan yang ia pimpin.
Singkat saja, serapat apapun bangkai di sembunyikan, pasti akan tercium juga. Istri Haris mengetahui bahwa Dinda adalah anak Haris dari istrinya yang dulu. Semua itu berawal saat anak Haris(adik tiri Dinda) memarahi Dinda didepan banyak karyawan perusahaan. Haris yang tidak tega melihat anak gadisnya di permalukan, justru balik marah pada putranya. Semua orang yang berada di perusahaan itupun terkejut saat haris memeluk Dinda yang menangis tersedu-sedu. Kejadian itu diadukan oleh putranya pada ibunya. Karna wanita itu tidak tau menau tentang apa yang sebenarnya terjadi, ia berfikiran bahwa Dinda adalah gadis yang tidak tau diri karna ingin mendekati pimpinanya. Hari itu istri Haris datang mencari dinda. Seperti yang ia duga, wanita itu menemukan dinda bersama Riko dalam ruangan administrasi. “oh jadi begini tingkah laku kalian. Jadi begini sebenarnya kamu Dinda. Kamu mendekati suami saya padahal kamu sudah berpacaran dengan Riko”
“maaf ibu, saya bisa jelaskan” ucap Riko mencoba menghentikan emosi istri pimpinanya.
“kamu diam Riko, jelas-jelas pacarmu mendekati suami saya, kamu masih saja membelanya. Mulai sekarang kamu saya pecat”
“ibu, ibu tidak bisa seperti itu, yang mengangkat dinda kan HRD, jadi yang berhak memecat dinda juga HRD” tegas Riko memberikan pembelaan pada gadis yang sedari tadi bersamanya.
Keributan itu terdengar oleh Haris. Pria itupun menghampiri ruangan itu. “ada apa ini? Loh ma, kenapa ada disini? Mari kita bicarakan baik-baik diluar. Tidak enak berada disini. Dan kalian Riko, Dinda kalian juga ikut bersama kami”
Ke empatnya keluar dan menuju ke sebuah rumah makan yang tidak jauh dari kantor. Disana Haris mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa Dinda adalah anaknya dengan istri pertamanya yang meninggal saat Dinda masih kecil. Namun istri Haris masih saja tidak bisa menerima jika Dinda kembali masuk ke kehidupan Haris. “bukankan dia sudah kamu buang dulu? Kenapa sekarang kamu mau mengambilnya lagi?”. Dinda terdiam dan kemudian berdiri. Ia segera pergi meninggalkan tempat itu. Dinda benar-benar tak habis pikir.jadi selama ini dia dibuang? Sengaja ditinggalkan dipanti asuhan dengan alasan akan melanjutkan pekerjaanya di luar negeri? Ternyata semua itu bohong? Dinda menangis sepanjang jalan. Ingin sekali ia mengakhiri hidupnya, maka iapun berdiri di tengah jalan menunggu laju mobil dari arah depanya menghantam tubuh itu. Haris berlari dari dalam rumah makan setelah melihat laju mobil dari arah utara. “Dinda kamu gila sayang, awaaas.”
Mata Dinda terbuka dengan berkaca-kaca. Gerakan ayahnya lebih cepat dari laju mobil itu. “apa yang kamu lakukan sayang? Ayah menyayangimu. Ayah mohon maafkan ayah Dinda”. Haris mencoba berdiri dengan tubuh yang sempoyongan. Tubuhnya yang lemas membuatnya bergerak kearah jalan raya. Dinda terbelalak setelah mendengar teriakan istri Haris dan Riko dari sebrang jalan, “awas pak Haris. Awaas”. Laju mobil besar yang lebih cepat dari laju mobil pertama datang kearah Haris. Tubuh Haris yang sempoyongan membuatnya pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. Dinda segera berdiri dan  membawa tubuh ayahnya ke pinggir.
*
Lampu kamar itu terlihat silau saat Dinda membuka matanya. Semua orang yang ada ditempat itu segera mengelilingi tubuh Dinda yang masih lemas. Meskipun mobil itu akhirnya berhenti, namun ban mobil depan sempat melindas kaki Dinda. Haris menangis memeluk tubuh putrinya yang rela mengorbankan kakinya untuk menyelamatkannya. Padahal yang mereka semua tau, Dinda barusaja turun dari kursi roda beberapa tahun lalu. Dan sekarang ia akan berada dikursi roda untuk selamanya. Satu kalimat yang terucap manis dari bibir Dinda adalah “Ayah belum pernah merasakan duduk diatas kursi roda, ayah pasti akan kesusahan. Sedangkan Dinda sudah bertahun-tahun hidup diatas kursi roda, jadi Dinda sudah terbiasa”.
Haris semakin menangis mendengar ucapan putrinya. Semua orang menangis melihat keadaan Dinda dalam kamar rumah sakit sore itu. Haris tidak menyangka anak yang dulu berniat ia buang karna cacat, ternyata menyelamatkan hidupnya dan rela untuk kembali cacat.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar