Sabtu, 17 Januari 2015

Titik-Titik Cinta



Titik-Titik Cinta

writer : Silviana

Sebelumnya terimakasih untuk sahabatku Novia :)

Sofi masih tidak percaya hari itu akan datang beberapa bulan kemudian. Rasanya masih tidak ingin melepas kebebasan dan mulai bergelut dengan kehidupan yang tidak pernah dia sangka akan secepat ini. Sofi tahu bahwa waktu tidak mungkin dapat kembali. Dan dia juga tidak akan bisa menolak hal yang dulu telah dipilih. 
"Sofi, kenapa kamu lama sekali, Nak? Bagus sudah menunggu di depan." Terdengar suara wanita setengah baya melepas kesunyian.
 
"Ya Bu, sebentar." Sofi segera bergegas merapikan pakaian dan keluar dari kamar yang selalu disebut syurga.
  Seorang pria bernama Bagus sepertinya sudah sejak lama menunggu di ruang tamu. Dengan sangat terpaksa bibir itu tersenyum pada pria yang beberapa bulan lagi akan menjadi suaminya.
"Kamu kenapa Sofi? sepertinya tidak senang aku datang mengunjungimu?" ucap pria itu dengan halus.
"Aku tidak kenapa-kenapa Mas, aku baik-baik saja," jawab Sofi setengah berbohong.
Sebenarnya pernikahan mereka bukanlah suatu perjodohan. Manusia menyebutnya sebagai takdir. Sesuatu yang akhirnya mempertemukan mereka berdua. Sebuah bangku panjang tempat mereka duduk pun menjadi saksi kebisuan dalam ruang tamu.
“Sebaiknya kita lekas pergi sekarang,”  ucap Bagus setelah melihat jam tangannya.
Mereka segera pergi mengendarai motor setelah berpamitan dengan kedua orang tua Sofi.
**
Hari semakin terik.  Mereka berteduh di bawah pohon rindang sebelah warung kecil. Tanpa aba-aba, Bagus meminta izin meninggalkan Sofi untuk membeli minuman dingin. Memang tidak ada yang salah dengan Bagus. Semua orang tahu Bagus adalah pria yang baik. Bahkan dia sudah mapan dalam pekerjaanya. Sebenarnya tidak ada yang perlu ditakuti Sofi jika setelah ini dia akan menghabiskan sisa hidupnya bersama Bagus.
“Sofi, ini minumnya.” Kata Bagus sembari mengulurkan minuman itu.
“Terimakasih, Mas.”
“Apa yang kamu pikirkan? Sejak tadi pagi Mas perhatikan kamu sering melamun.”
“Sofi baik-baik saja kok, Mas. Mas tidak perlu khawatir seperti itu.”
“Apa karna orang tua Mas yang meminta kita untuk segera menikah?”
“Bukan, Mas. Sofi justru tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali, sungguh.”
Bagus diam seakan membenarkan perkataan Sofi. Dia hanya tersenyum dan menggenggam tangan kekasihnya.
**
Hari itu akhirnya datang juga. Semua anggota keluarga sudah berkumpul di ruang tengah. Begitupun Bagus yang sudah siap di depan meja ijab Kabul. Namun sudah hampir seperempat jam Sofi belum juga muncul, membuat semua orang cemas dan bertanya-tanya.
“Bu, panggil Sofi sekarang,” ucap Ayah Sofi kepada istrinya.
Wanita itu segera berdiri dan berjalan menyusuri lorong ke kamar Sofi.
“(Tok tok tok) Sofi… kamu sudah selesai, Nak?”
“i… iya bu, sebentar lagi Sofi keluar.”
Suara Sofi yang seakan sedang memendam air mata, membuat wanita itu semakin cemas. Dibukanya pintu kamar dan alangkah terkejutnya ia melihat putrinya menangis di depan cermin.
“Sofi, apa yang terjadi?”
“Tidak apa-apa bu, Sofi hanya ingin melepas kesedirian Sofi. Karena setelah ini Sofi akan menjadi seorang istri.”
“kamu cepat rapikan make-up mu ya, setelah itu kita keluar. Para tamu sudah menunggu kita terlalu lama.”
Sofi menyeka air matanya dan keluar. Semua orang tersenyum bahagia melihat calon pengantin perempuannya sudah muncul. Bagus tersenyum ke arah Sofi yang masih tetap berdiri.
Acara ijab kobul itu berlangsung hikmat. Dan akhirnya apa yang selama ini mengganggu pikiran Sofi sudah ia jalani. Kini Sofi dan Bagus sudah menjadi pasangan suami istri. Dan mau tidak mau, Sofi berkewajiban untuk bebakti pada pria itu.
**
Mata itu terbuka setelah Adzan subuh berkumandang. Dilihatnya seorang pria di sampingnya yang masih tidur pulas. Tidak terasa sudah seminggu pernikahan mereka berlangsung. Rasanya masih tidak percaya bahwa sekarang keadaan sudah berubah. Benar-benar berubah.
“Mas, Bangun. Kita sholat subuh.”
“iya dek. Terimakasih sudah membangunkanku.” Jawab Bagus dengan senyum manisnya.
Setelah selesai sholat, Sofipun seperti biasa menyiapkan sarapan untuk suaminya, kemudian mempersiapkan kebutuhan Bagus untuk bekerja. Seminggu dengan keadaan seperti itu membuat Sofi mulai terbiasa.  Seakan memang itulah kehidupan yang sudah digariskan oleh Tuhan untuknya, dan tidak ada jalan lain untuk merubahnya.
**
Keadaan pasar modern ramai pengunjung. Seorang pria mendorong trolinya dan sekilas melihat-lihat beberapa barang yang sekiranya ia perlukan. Sofi berjalan mendekati pria itu lantas berkata.
“Kak Bimo, ini kak Bimo bukan?”
Pria itu berbalik dan tersenyum.
“Dek Sofi, sendirian saja. Suaminya kemana?”
Sofi seketika tersadar bahwa dirinya sekarang sudah bersuami. Ia tidak mungkin lagi dapat bersama kak Bimo seperti dulu.  Meskipun mungkin perasaan itu masih kuat dan membuat hati Sofi berdetak kencang saat bertemu pria itu, tetap saja itu hanya sebatas detak jantung.
“oh, Mas Bagus kerja, Kak. Kamu sendiri kenapa sendirian?”
“Jika tidak sendiri, lalu dengan siapa? Toh kamu sudah bersuami.”
Jawaban Kak Bimo membuat perasaan Sofi menjadi tidak karuan. Ingin sekali ia bercerita pada pria itu bahwa hingga saat ini ia belum menemukan kebahagiaan yang dijanjikan Bagus padanya. Seusai berbelanja, mereka memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah rumah makan favorite mereka dahulu.  Serasa waktu kembali seperti dahulu, sebelum Sofi menjadi istri sah Bagus.
“Bagaimana pernikahan kalian, Sof?”
“Pernikahan…? Baik-baik saja, Kak?”
“Apakah kamu bahagia?”
“Aku… Jelas aku bahagia, Aku mendapatkan semuanya sekarang.”
“Syukurlah jika kamu bahagia. Tapi Sof, Jika kamu masih belum bisa ikhlas dan bahagia bersama Bagus, Aku minta tolong.”
Sofi terdiam sebentar menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh Kak Bimo.
“Aku harap kamu belajar untuk benar-benar ikhlas mulai hari ini. Kalian sudah Menikah, dan sebelum terlambat karena sekarang baru 2 minggu, kamu ihklaskan semuanya.”
“Tapi kak, Aku masih belum bisa.”
“Belum bisa tidak berarti tidak bisa, Sof. Kamu harus tahu, kadang Tuhan tidak mengabulkan doa dan apa yang kamu harapkan. Bukan karena Tuhan tidak meyayangimu. Tapi karena Tuhan tahu apa yang terbaik bagimu.”
“Ya kak, Sofi tahu itu.”
“Kadang sesuatu yang sangat berharga tidak terlihat saat kita berada dalam suatu keadaan. Namun, saat keadaan itu sudah berganti, sesuatu yang berharga itu tiba-tiba muncul bersama rasa kehilangan. Dan aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaan itu, Sof.”
“Apa yang kamu Maksud, Kak?”
“Begini dek, mungkin saat ini kamu merasa tidak ada hal yang berharga saat kamu bersama suamimu. Namun, jika suatu saat kamu akan merasakan kehilangan hal berharga saat kau tidak lagi bersama suamimu. Jadi, cintai suamimu seperti dia mencintai kamu dengan segenap jiwanya.”
Sofi terdiam. Ia tahu apa yang harus ia lakukan mulai saat ini. Mungkin ia memang sudah kehilangan hal berharga beberapa bulan silam. Namun ia tak ingin kehilangan hal berharga lain hanya karena ia menginginkan yang telah hilang untuk kembali.
“Sekarang, Ayo aku antar kamu pulang.”
“Baik kak.”
**
Tidak seperti biasanya Sofi meminta Bagus untuk mengantarnya ke Pasar. Hari ini hari minggu. Sofi berencana untuk menghabiskan akhir minggu bersama suaminya. Sekedar memasak dan makan malam bersama. Selama masak, Bagus hanya memperhatikan Sofi yang terlihat lebih manis dengan senyum keihlasan.
“Sof, Mas ingin bertanya padamu.”
“Tanya apa, Mas?”
“Mas tahu, kamu belum bisa menerima Mas saat hari pernikahan kita. Mas juga sudah berusaha untuk membuatmu bahagia, tapi kamu masih belum bisa memaafkan keegoisan Mas. Tapi, Mas malah menjadi Aneh saat kamu bersikap seperti ini. Akhir-akhir ini sikap kamu kepada Mas mulai berubah. Apa kamu sudah mulai menerima Mas?”
“Mas, Sofi sudah tidak mempermasalahkan semua itu. Sofi sudah benar-benar ikhlas sekarang. Mas adalah hal berharga milikku saat ini. Aku memang sudah pernah kehilangan hal berharga dulu. Dan aku tidak ingin kehilanganya lagi sekarang.”
Dapur itu terasa hangat penuh cinta. Keihklasan membuat keindahan yang belum pernah ada menjadi ada dan bahkan lebih. Keikhlasan yang membuat hidup lebih berharga daripada sekedar memiliki. 

The end

terimakasih sudah membaca

2 komentar:

  1. :'( terharu sayang :'( cerpennya terlalu keren, Amin semoga alur jalan kehidupan tak jauh beda dengan makna cerpenmu :) makasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih sebelumnya :)
      yang penting tetap semangat :) yang penting itu ikhlas. yang membuat indah kan prosesnya. :)

      Hapus