Titik-Titik Cinta
writer : Silviana
Sebelumnya terimakasih untuk sahabatku Novia :)
Sofi masih tidak percaya
hari itu akan datang beberapa bulan kemudian. Rasanya masih tidak ingin melepas
kebebasan dan mulai bergelut dengan kehidupan yang tidak pernah dia sangka akan
secepat ini. Sofi tahu bahwa waktu tidak mungkin dapat kembali. Dan dia juga
tidak akan bisa menolak hal yang dulu telah dipilih.
"Sofi, kenapa kamu lama sekali, Nak? Bagus sudah menunggu di depan." Terdengar suara wanita setengah baya melepas kesunyian.
"Ya Bu, sebentar." Sofi segera bergegas merapikan pakaian dan keluar dari kamar yang selalu disebut syurga. Seorang pria bernama Bagus sepertinya sudah sejak lama menunggu di ruang tamu. Dengan sangat terpaksa bibir itu tersenyum pada pria yang beberapa bulan lagi akan menjadi suaminya.
"Kamu kenapa Sofi? sepertinya tidak senang aku datang mengunjungimu?" ucap pria itu dengan halus.
"Aku tidak kenapa-kenapa Mas, aku baik-baik saja," jawab Sofi setengah berbohong.
"Sofi, kenapa kamu lama sekali, Nak? Bagus sudah menunggu di depan." Terdengar suara wanita setengah baya melepas kesunyian.
"Ya Bu, sebentar." Sofi segera bergegas merapikan pakaian dan keluar dari kamar yang selalu disebut syurga. Seorang pria bernama Bagus sepertinya sudah sejak lama menunggu di ruang tamu. Dengan sangat terpaksa bibir itu tersenyum pada pria yang beberapa bulan lagi akan menjadi suaminya.
"Kamu kenapa Sofi? sepertinya tidak senang aku datang mengunjungimu?" ucap pria itu dengan halus.
"Aku tidak kenapa-kenapa Mas, aku baik-baik saja," jawab Sofi setengah berbohong.
Sebenarnya pernikahan mereka
bukanlah suatu perjodohan. Manusia menyebutnya sebagai takdir. Sesuatu yang
akhirnya mempertemukan mereka berdua. Sebuah bangku panjang tempat mereka duduk
pun menjadi saksi kebisuan dalam ruang tamu.
“Sebaiknya kita lekas pergi
sekarang,” ucap Bagus setelah melihat
jam tangannya.
Mereka segera pergi
mengendarai motor setelah berpamitan dengan kedua orang tua Sofi.
**
Hari semakin terik. Mereka berteduh di bawah pohon rindang
sebelah warung kecil. Tanpa aba-aba, Bagus meminta izin meninggalkan Sofi untuk
membeli minuman dingin. Memang tidak ada yang salah dengan Bagus. Semua orang tahu
Bagus adalah pria yang baik. Bahkan dia sudah mapan dalam pekerjaanya. Sebenarnya
tidak ada yang perlu ditakuti Sofi jika setelah ini dia akan menghabiskan sisa
hidupnya bersama Bagus.
“Sofi, ini minumnya.” Kata
Bagus sembari mengulurkan minuman itu.
“Terimakasih, Mas.”
“Apa yang kamu pikirkan?
Sejak tadi pagi Mas perhatikan kamu sering melamun.”
“Sofi baik-baik saja kok,
Mas. Mas tidak perlu khawatir seperti itu.”
“Apa karna orang tua Mas
yang meminta kita untuk segera menikah?”
“Bukan, Mas. Sofi justru
tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali, sungguh.”
Bagus diam seakan
membenarkan perkataan Sofi. Dia hanya tersenyum dan menggenggam tangan
kekasihnya.
**
Hari itu akhirnya datang juga.
Semua anggota keluarga sudah berkumpul di ruang tengah. Begitupun Bagus yang
sudah siap di depan meja ijab Kabul. Namun sudah hampir seperempat jam Sofi
belum juga muncul, membuat semua orang cemas dan bertanya-tanya.
“Bu, panggil Sofi sekarang,” ucap
Ayah Sofi kepada istrinya.
Wanita itu segera berdiri dan
berjalan menyusuri lorong ke kamar Sofi.
“(Tok tok tok) Sofi… kamu sudah
selesai, Nak?”
“i… iya bu, sebentar lagi Sofi
keluar.”
Suara Sofi yang seakan sedang
memendam air mata, membuat wanita itu semakin cemas. Dibukanya pintu kamar dan
alangkah terkejutnya ia melihat putrinya menangis di depan cermin.
“Sofi, apa yang terjadi?”
“Tidak apa-apa bu, Sofi hanya
ingin melepas kesedirian Sofi. Karena setelah ini Sofi akan menjadi seorang
istri.”
“kamu cepat rapikan make-up mu
ya, setelah itu kita keluar. Para tamu sudah menunggu kita terlalu lama.”
Sofi menyeka air matanya dan
keluar. Semua orang tersenyum bahagia melihat calon pengantin perempuannya
sudah muncul. Bagus tersenyum ke arah Sofi yang masih tetap berdiri.
Acara ijab kobul itu berlangsung
hikmat. Dan akhirnya apa yang selama ini mengganggu pikiran Sofi sudah ia
jalani. Kini Sofi dan Bagus sudah menjadi pasangan suami istri. Dan mau tidak
mau, Sofi berkewajiban untuk bebakti pada pria itu.
**
Mata itu terbuka setelah Adzan
subuh berkumandang. Dilihatnya seorang pria di sampingnya yang masih tidur
pulas. Tidak terasa sudah seminggu pernikahan mereka berlangsung. Rasanya masih
tidak percaya bahwa sekarang keadaan sudah berubah. Benar-benar berubah.
“Mas, Bangun. Kita sholat subuh.”
“iya dek. Terimakasih sudah membangunkanku.”
Jawab Bagus dengan senyum manisnya.
Setelah selesai sholat, Sofipun seperti
biasa menyiapkan sarapan untuk suaminya, kemudian mempersiapkan kebutuhan Bagus
untuk bekerja. Seminggu dengan keadaan seperti itu membuat Sofi mulai terbiasa. Seakan memang itulah kehidupan yang sudah
digariskan oleh Tuhan untuknya, dan tidak ada jalan lain untuk merubahnya.
**
Keadaan pasar modern ramai
pengunjung. Seorang pria mendorong trolinya dan sekilas melihat-lihat beberapa
barang yang sekiranya ia perlukan. Sofi berjalan mendekati pria itu lantas
berkata.
“Kak Bimo, ini kak Bimo bukan?”
Pria itu berbalik dan tersenyum.
“Dek Sofi, sendirian saja.
Suaminya kemana?”
Sofi seketika tersadar bahwa
dirinya sekarang sudah bersuami. Ia tidak mungkin lagi dapat bersama kak Bimo
seperti dulu. Meskipun mungkin perasaan
itu masih kuat dan membuat hati Sofi berdetak kencang saat bertemu pria itu,
tetap saja itu hanya sebatas detak jantung.
“oh, Mas Bagus kerja, Kak. Kamu
sendiri kenapa sendirian?”
“Jika tidak sendiri, lalu dengan
siapa? Toh kamu sudah bersuami.”
Jawaban Kak Bimo membuat perasaan
Sofi menjadi tidak karuan. Ingin sekali ia bercerita pada pria itu bahwa hingga
saat ini ia belum menemukan kebahagiaan yang dijanjikan Bagus padanya. Seusai
berbelanja, mereka memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah rumah makan
favorite mereka dahulu. Serasa waktu
kembali seperti dahulu, sebelum Sofi menjadi istri sah Bagus.
“Bagaimana pernikahan kalian,
Sof?”
“Pernikahan…? Baik-baik saja,
Kak?”
“Apakah kamu bahagia?”
“Aku… Jelas aku bahagia, Aku
mendapatkan semuanya sekarang.”
“Syukurlah jika kamu bahagia.
Tapi Sof, Jika kamu masih belum bisa ikhlas dan bahagia bersama Bagus, Aku
minta tolong.”
Sofi terdiam sebentar menunggu
kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh Kak Bimo.
“Aku harap kamu belajar untuk
benar-benar ikhlas mulai hari ini. Kalian sudah Menikah, dan sebelum terlambat
karena sekarang baru 2 minggu, kamu ihklaskan semuanya.”
“Tapi kak, Aku masih belum bisa.”
“Belum bisa tidak berarti tidak
bisa, Sof. Kamu harus tahu, kadang Tuhan tidak mengabulkan doa dan apa yang
kamu harapkan. Bukan karena Tuhan tidak meyayangimu. Tapi karena Tuhan tahu apa
yang terbaik bagimu.”
“Ya kak, Sofi tahu itu.”
“Kadang sesuatu yang sangat
berharga tidak terlihat saat kita berada dalam suatu keadaan. Namun, saat
keadaan itu sudah berganti, sesuatu yang berharga itu tiba-tiba muncul bersama
rasa kehilangan. Dan aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaan itu, Sof.”
“Apa yang kamu Maksud, Kak?”
“Begini dek, mungkin saat ini kamu
merasa tidak ada hal yang berharga saat kamu bersama suamimu. Namun, jika suatu
saat kamu akan merasakan kehilangan hal berharga saat kau tidak lagi bersama
suamimu. Jadi, cintai suamimu seperti dia mencintai kamu dengan segenap
jiwanya.”
Sofi terdiam. Ia tahu apa yang
harus ia lakukan mulai saat ini. Mungkin ia memang sudah kehilangan hal
berharga beberapa bulan silam. Namun ia tak ingin kehilangan hal berharga lain
hanya karena ia menginginkan yang telah hilang untuk kembali.
“Sekarang, Ayo aku antar kamu
pulang.”
“Baik kak.”
**
Tidak seperti biasanya Sofi
meminta Bagus untuk mengantarnya ke Pasar. Hari ini hari minggu. Sofi berencana
untuk menghabiskan akhir minggu bersama suaminya. Sekedar memasak dan makan
malam bersama. Selama masak, Bagus hanya memperhatikan Sofi yang terlihat lebih
manis dengan senyum keihlasan.
“Sof, Mas ingin bertanya padamu.”
“Tanya apa, Mas?”
“Mas tahu, kamu belum bisa
menerima Mas saat hari pernikahan kita. Mas juga sudah berusaha untuk membuatmu
bahagia, tapi kamu masih belum bisa memaafkan keegoisan Mas. Tapi, Mas malah
menjadi Aneh saat kamu bersikap seperti ini. Akhir-akhir ini sikap kamu kepada
Mas mulai berubah. Apa kamu sudah mulai menerima Mas?”
“Mas, Sofi sudah tidak
mempermasalahkan semua itu. Sofi sudah benar-benar ikhlas sekarang. Mas adalah
hal berharga milikku saat ini. Aku memang sudah pernah kehilangan hal berharga
dulu. Dan aku tidak ingin kehilanganya lagi sekarang.”
Dapur itu terasa hangat penuh
cinta. Keihklasan membuat keindahan yang belum pernah ada menjadi ada dan
bahkan lebih. Keikhlasan yang membuat hidup lebih berharga daripada sekedar
memiliki.
:'( terharu sayang :'( cerpennya terlalu keren, Amin semoga alur jalan kehidupan tak jauh beda dengan makna cerpenmu :) makasih
BalasHapusterimakasih sebelumnya :)
Hapusyang penting tetap semangat :) yang penting itu ikhlas. yang membuat indah kan prosesnya. :)