Terimakasih Masa Lalu, Untuk Kau Masa Depan
(Episode : Kau Yang Terhebat, Dimas)
Writer : Silviana
Persahabatan kami sudah berlangsung sejak lama. Kami
berempat sudah seperti ini sejak kelas 3 SMP. Yang aku ingat saat itu, kami
mulai bersama sejak tinggal di asrama sebelum Ujian Nasional. Hubungan kami
masih baik-baik saja, dan akan tetap baik-baik saja selama rahasia itu tidak
terbongkar. Setelah lulus dari SMP, kami berempat melanjutkan ke SMA yang sama
meskipun dengan jurusan yang berbeda. Dimas dan Yulia mengambil jurusan IPA,
Rio mengambil jurusan IPS, dan aku sendiri Winda mengambil jurusan Bahasa.
Sore itu sekolah sudah mulai sepi. Anak-anak sudah selesai
mengikuti ekstra kulikuler masing-masing. Dan kami berempat masih duduk di
bawah gawang lapangan futsal di samping sekolah. Seorang pria tua penjaga
sekolahpun menegur kami. Ia bertanya apa yang sedang kami lakukan disana.
“Hari sudah menjelang malam. Kenapa kalian masih belum
pulang?” Tanya Bapak-bapak yang akrab kami sapa dengan panggilan pak Yono.
“Kami masih ingin bermain disini, Pak.” Jawab Rio seketika
itu.
“Apa Bapak sudah akan mengunci gerbangnya?” Tanyaku pada pak
Yono.
“Baiklah. Tapi jangan sampai maghrib. Bapak akan segera
menutup gerbangnya saat maghrib tiba.”
Sekitar pukul 17.00 WIB, kami memutuskan untuk pulang.
Setelah keluar dari gerbang, Pak Yono segera menutup dan mengunci gerbang
sekolah. Seperti sudah lama menunggu kami untuk keluar.
Seperti biasa, orang tuaku belum pulang dari bekerja. Inilah
salah satu alasan mengapa aku berani pulang sesore ini. Aku segera masuk ke kamarku dan membersihkan
badan. Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah.
“Itu pasti Ayah dan Ibu.” Pikirku dan kemudian menarik
selimut untuk segera tidur.
**
Langit Siang itu benar-benar cerah. Kami berempat duduk
santai dibawah pohon mangga sambil bermain gitar. Permainan gitar dan suara
merdunya dari dulu selalu membuatku merasa nyaman. Namun keceriaan kami
terhenti saat Yulia berkata ia akan segera meninggalkan Surabaya.
“Kenapa kamu harus pergi, Yul?” Tanya Dimas.
“Aku akan ikut pindah bersama orang tuaku ke Malaysia,
kalian tahu kan aku disini hanya tinggal bersama mereka. Jika aku tidak ikut,
lalu aku dengan siapa?”
“Kamu bisa tinggal bersamaku, Yul. Aku selalu sendiri
dirumah, orang tuaku sibuk bekerja. Kamu bisa tinggal bersama kami.” Jawabku
berharap Yulia menyetujuinya.
Yulia masih tetap diam. Aku tahu apa yang sedang
dipikirkannya. Dia pasti menolak tawaranku tadi dan tetap akan segera pergi
meninggalkan Surabaya.
“Tapi kamu pasti akan kembali ke Surabaya kan, Yul?” Tanya
Rio yang sedari tadi hanya diam.
“Tentu teman-teman. Aku akan kembali kesini. Dan aku tidak
akan melupakan kalian.” Jawab Yulia dengan senyum manisnya.
Kami bertiga ikut mengantar Yulia ke Bandara pagi itu.
Sebagai kenang-kenangan, kami membeli dan memakai gelang persahabatan. Dengan
harapan kami tidak akan melupakan satu sama lain.
**
“Winda, Rio sudah menunggu dibawah.” Teguran ibu mengagetkan lamunanku.
Aku letakkan kembali foto kami berempat dan keluar menemui
Rio. Aku lihat Rio dengan kaos hijaunya sudah menunggu di depan pintu.
“Rio, kenapa tidak masuk saja. Lalu, dimana Dimas? Tidak
jadi ikut?”
“Dimas sudah dimobil. Kamu lama sekali, ngapain aja?”
“Maaf, tadi ada kesalahan teknis sedikit. Yuk berangkat, aku
sudah tidak sabar ingin bertemu Yulia.”
Hari ini Yulia kembali ke Surabaya. Kami sudah menantikan
hari ini sejak lama. Selama dalam perjalanan pulang dari bandara, kami tidak
henti-hentinya bercerita tentang kekonyolan yang dulu sering kami berempat
lakukan. Suasananya masih tetap sama,
bahkan semakin seru karena kami memiliki banyak cerita baru. Yulia tampak
semakin cantik. Hal itu sedikit membuatku merasa iri dan tersaingi. Karena
Dimas dan Rio tidak henti-hentinya menggoda Yulia dan seakan melupakan
keberadaanku disini. Mungkin ini hanya perasaanku saja, maka aku mencoba
menenangkan pikiranku dan fokus dibalik kemudi.
**
(Tok Tok Tok) Pintu rumahku diketuk. Mbak Sri segera
meghampiri dan membukakan pintu untuk tamu.
“Eh Mas Dimas. Silakan masuk, Mas. Saya panggilkan mbak
Winda dulu.”
“Ya mbak, terimakasih mbak Sri.”
Aku keluar kamar bahkan sebelum mbak Sri memanggilku. Dengan
tersenyum ku katakan pada mbak Sri untuk membuatkan minuman dingin. Lalu aku
menghampiri Dimas yang duduk di ruang tamu.
“Hai Dim, tumben kesini sendirian? Rio Mana?”
“Rio pergi sama Yulia, Win. Katanya sih mau jalan-jalan
keliling daerah sini.”
“Lalu,kamu kesini ngapain?” Tanyaku
“Win, kamu masih ingat kan, aku pernah cerita sama kamu
kalau aku suka sama Winda. Dan setelah aku bertemu lagi dengan Winda, aku
menjadi semakin yakin kalau aku benar-benar cinta sama dia.”
Entah mengapa setelah aku mendengar jawaban itu senyumku
seakan terpaksa. Aku mendengarnya
beberapa tahun lalu, dan sekarang aku mendengarnya lagi.
“Ya, aku ingat. Lalu?”
“Kamu mau kan membantuku untuk bisa lebih dekat denganya.”
“Bukankah kita semua sudah dekat?”
“Ya, memang. Tapi maksudku sebagai seorang kekasih. Kamu mau
kan bantu aku, Win?”
“Sebagai teman yang baik, pasti aku akan membantumu.”
Seperti yang aku tahu sejak dulu, Dimas sangat menyukai
Yulia. Dan aku sadar, aku tidak bisa menggantikan posisi Yulia selama beberapa
tahun ini.
**
Yulia berkunjung ke rumahku malam ini. Dia tampak semakin
cantik dengan pipi merona dan senyum penuh bahagia. Kami berdua segera masuk ke
kamar dan mulai bercerita. Cerita Yulia
mengagetkanku seketika itu. Saat ini aku memiliki misi untuk membuat Yulia dan
Dimas dekat, namun ternyata Yulia sudah menemukan pria idamanya. Dan tidak lain
pria itu adalah Rio. Memang selama ini akulah yang sering dijadikan tempat
menyimpan rahasia diantara kami berempat. Dan karena itulah aku tahu semua hal
yang dirasakan setiap dari kami. Aku tidak yakin dapat mengatakan ini pada
Dimas. Aku takut melukai perasaanya.
“Win, kamu tahu tidak? Hari ini aku dan Rio resmi jadian?”
“Jadian?” Responku kaget.
“Ya, Winda. Kami sudah jadian. Aku harap kamu dan Dimas
tidak marah pada kami. Karena persahabatan kita sudah kami berdua rubah
sekarang.”
“Tidak akan ada yang marah padamu, Yul. Kalian jadian, itu
adalah sebuah ketulusan. Aku dan Dimas pasti dapat mengerti kalian.”
Telepon rumah berdering. Namun terdengar mbak Sri segera
mengangkatnya. Tidak lama kemudian, mbak Sri mengetuk pintu kamar dan berkata
bahwa ada telepon untukku. Aku segera mengahampiri kea rah mbak Sri.
“Hallo, ini Winda.”
“Win, kita bisa bertemu besok? Hanya berdua.”
“Dimana?”
“Ice Cream Shop dekat kampus pukul 14.00”
Teleponpun ditutup. Aku kembali ke kamar dan berbaring di
kasur seakan tahu apa yang akan terjadi besok di kedai es krim. Sedangkan gadis
di sampingku masih tersenyum tidak menentu menahan gejolak asmaranya.
**
“Aku pikir kamu akan membantuku, Win.”
“Aku sudah membantumu. Tapi jika Yulia memilih Rio untuk
menjadi pasanganya, lalu aku bisa apa?”
“Seharusnya kamu bisa membantuku lebih keras lagi. Kamu
tahu, aku sangat menyukainya sejak dulu.”
“Dim, apa kamu pernah mencoba mengatakan pada Yulia tentang
perasaanmu? Apa Rio juga tahu?”
Dimas hanya diam. Karena dia sadar bahwa selama ini dia
memang tidak pernah mengatakan hal ini kepada siapapun selain kepadaku. Tanpa bicara, Dimas pergi bersama motornya
meninggalkanku dikedai es sendirian.
Melihat Dimas seperti itu, aku seperti mengaca dan melihat
diriku sendiri. Selama ini aku juga selalu diam dan memendam semuanya
sendirian. Bahkan mereka bertiga tidak ada yang pernah mendengarkan keluh
kesahku. Atau karena aku terlalu mendengarkan mereka sehingga aku merasa tidak
ada gunanya menceritakan hal ini kepada mereka.
Akhir pekan masih berjalan seperti biasa. Kami berempat
pergi ke Bioskop dan ke toko buku. Keadaan juga tidak banyak berubah. Kami masih
tetap seperti biasa, meskipun dua diantara kami memiliki hubungan yang lebih
spesial. Hanya saja sepertinya Dimas masih kecewa kepadaku. Tatapan matanya
sedikit membuatku merasa takut. Aku hanya berharap keadaan seperti ini tidak
berlangsung lama. Karena jujur saja aku tidak tahan jika harus selalu diam pada
Dimas.
**
Kalender menunjukkan 30 Juni. Dimas berulang tahun yang ke
21 hari ini. Kami berempat hanya merayakan secara sederhana seperti biasanya.
Siang itu, saat Rio dan Yulia bercanda berdua, Dimas terlihat sangat terpuruk.
Mungkin dia cemburu. Aku dapat melihat jelas perubahan pada wajahnya.
“Dim, ka…mu masih marah ya sama aku?”
“Tidak, Win. Aku hanya kecewa sama kamu.”
“Aku minta maaf, Dim. Bukannya aku tidak mau membantumu,
tapi…”
Tiba-tiba saja Yulia dan Rio menyusul kami berdua.
Pembicaraan kamipun terhenti karena kami ingin hal ini tetap menjadi rahasia.
“Ciye… yang semakin nempel saja. Aku tahu kok, pasti pria
yang kamu suka itu Dimas kan, Win.” Ucap Yulia.
“Eh. Ap…pa apaan sih. Ngaco saja kamu.” Jawabku gugup.
“Ya ya aku jadi ingat. Ternyata wanita yang kamu suka itu
Winda, Dim? Aku ingat sekali. Kamu pernah bercerita padaku bahwa kau menyukai
salah satu wanita diantara kita. Pasti dia Winda.” Sambung Rio dengan nada
yakin.
Dimas hanya diam dan menatapku sinis. Lalu berkata “Oh jadi
ini sebabnya kamu tidak ingin membantuku, Win. Aku semakin kecewa.”
Dimaspun pergi meninggalkan kami bertiga. Yulia dan Rio
saling menatap satu sama lain, terlihat bingung dan berusaha meminta penjelasan
tentang semua ini.
Sejak kesalahpahaman hari itu, kami tidak pernah berkumpul
lagi. Aku juga masih merasa takut untuk melihat Dimas. Mungkin Dimas sudah
merasa sangat kecewa padaku. Syukurlah tidak selang beberapa lama, aku harus
ikut ke Bandung bersama orang tuaku. dan sejak saat itu pula, kami tidak pernah
bertemu satu sama lain selama kurang lebih 8 bulan.
**
Yulia dan Rio sudah menungguku di salah satu meja di ice
cream shop tempat kami biasa berkumpul dulu. Aku sangat merindukan mereka. Kami saling bercerita hal-hal seru seperti
saat Yulia pulang dari Malaysia dulu. Rasanya kejadian itu terulang kembali. Seorang
pria yang tidak lain adalah Dimas, datang menghampiri kami. Dia masih tampak
begitu tampan.
“Winda, kamu apa kabar?” sapa Dimas padaku.
“Aku baik-baik saja, Dim. Kamu sendiri bagaimana?”
“Aku tidak merasa baikan selama 8 bulan ini. Namun sekarang
aku benar-benar merasa baikan setelah kamu kembali.”
Aku diam beberapa menit. Sampai seorang pelayan café
mengantarkan ice cream pesanan kami.
Tiba-tiba saja Dimas menggenggam tanganku. Yulia dan Rio hanya tersenyum
melihat Dimas yang seakan bersikap romantis padaku.
“Win, aku minta maaf. Aku sudah salah paham sama kamu selama
ini. Aku juga sadar, ternyata aku hanya melihat kedepan tanpa melihat
disampingku. Dan kini aku sadar, aku menyayangimu.” Ucap Dimas lirih.
“Dim, terimakasih ya atas pengertian kamu. Aku bahagia
mendengarnya. Tapi guys… kedatanganku kesini selain aku kangen sama kalian, aku
juga ingin mengantarkan ini.” (memberikan surat undangan)
“Ini apa, Win?” Tanya Rio
“Ini Undangan pertunangan?” sambung Yulia kaget.
“Ya. Aku akan bertunangan 6 hari lagi. Aku harap kalian
datang ya.”
“Tapi Dimas, Win?” Yulia seakan tidak menginginkan ini semua
benar.
Aku melihat kearah wajah Dimas. Ku pegang tanganya. Kini aku
benar-benar melihat wajah pria yang pernah aku puja pucat pasi dan terlihat
kacau. Bahkan lebih kacau daripada saat ia melihat Yulia bersama Rio dulu.
“Aku telat, Win?” ucap Dimas.
Aku menggelengkan kepalaku dan tersenyum. “Kamu tidak pernah
telat, Dimas.”
**
Semua tamu sudah berkumpul di Ruang tengah. Suasana yang
romantis menyelimuti setiap sudut ruangan. Aku berjalan menuju ke tengah
ditemani Yulia yang tersenyum melihatku
segera bertunangan. Dimas berdiri di
ujung tepat dihadapanku. Langkah kakiku semakin mendekati Dimas. Aku bahagia
dia berada disini, di hadapanku. Tepat di hadapannya aku berhenti. Lalu kami
berdua berjalan ke tengah ruangan untuk segera melanjutkan acara tukar cincin.
Seorang pria sudah menunggu diujung jalan. Dan tanganya segera menjemput
tanganku untuk segera berada disampingnya.
“Baiklah, acara yang sudah kita tunggu-tunggu akan segera
dimulai.” Ucap seorang pria yang ditunjuk oleh keluarga kami untuk menjadi
pembawa acara.
Dimas membuka kotak cincin yang sedari tadi dibawanya.
Seorang pria bernama Andi segera mengambil dan memakaikan cincin di jari
manisku. Begitu pula aku yang segera memakaikan cincin ke jarinya setelah
cincin itu melingkar di jariku. Semua orang bertepuk tangan. Termasuk Dimas
yang masih berada disampingku. Seusai
acara, aku menyusul mereka bertiga yang duduk di salah satu bangku tamu.
“Terimakasih, Yul, Rio, dan Dimas. Kalian sudah membantu
menyukseskan acara ini.”
“Sama-sama, Win. Semoga kamu bahagia, ya.” Jawab Yulia.
Aku kembali menatap Dimas. Dia masih tersenyum dalam keadaan
seperti ini. Ku genggam tanganya dan berkata.
“Kamu yang terhebat, Dimas.”
Tidak lama kemudian, Andi menghampiri kami berempat. Andi
tampak begitu mengerti tentang kami. Lagipula, Andi adalah masa depanku yang
telah aku pilih. Aku bahagia telah memiliki hubungan yang serius dengan Andi.
Meskipun mungkin dulu aku sudah banyak berkorban untuk Dimas, namun inilah yang
kami sebut takdir. Selama ini, kami berempat hanya diuji. Tuhan telah menguji
persahabatan kami. Apakah kami akan hancur karena kesalahpahaman, atau bahkan
lebih kuat dengan kesalahpahaman itu.
Satu kalimat yang terucap untuk Dimas dari kami berdua
adalah “Kamu yang terhebat, Dimas. Terimakasih sudah membawakan cincin
pertunangan kami.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar