Selasa, 06 Januari 2015

Bingkai Foto Untukmu



Bingkai Foto Untukmu

writer : silviana


Semua terdiam dan konsentrasi menunggu namanya dipanggil. Ini absen terakhir di semester tiga ini. Akhirnya jam dinding itu tepat menunjukkan pukul 15.00 WIB. Aku sudah bosan mendengarkan pelajaran hari ini. Entah kenapa semenjak aku sadar dia mencintai sosok lain dan itu jelas-jelas bukan aku, keadaan hatiku mulai berubah. Aku kira keadaan ini akan membuatku dan dia sering bersama. memang benar kita sering bersama, dan dengan kebersamaan itu aku mengetahui hal yang paling menyakitkan yang sebenarnya tidak pernah ingin aku ketahui.
Hujan sore itu mengharuskan aku untuk tetap terdiam di lobi kampus menunggu hujan reda. Bukan karna aku tak bisa menerobosnya, namun karna aku enggan untuk pulang. Melihat sosok pria yang dulu pernah aku suka sedang berjalan bersama kekasihnya, membuat seutas senyum mengembang di bibirku. Dia telah menemukannya, dan aku masih mencarinya. Pria itu menghampiriku seperti biasa dan menanyakan tentang perkuliahan hari ini. Meskipun mungkin dari awal hingga perasaan ini hilang, ia tak pernah menyadari bahwa dulu aku diam-diam menaruh hati padanya. Setidaknya semua masih tetap sama. Aku dan Rio masih tetap bersama dalam ikatan pertemanan. Kita masih tetap berbagi dan tak pernah berubah hingga detik ini. Aku tetap bersyukur karna aku telah menjadi bagian dari hidupnya. Bagian yang dulu mungkin tidak aku inginkan, namun aku syukuri sekarang. Sayangnya sosok yang aku harapkan ada di ujung sana, dan dia tak pernah melihatku. Sekalipun tidak pernah karena aku juga tidak pernah mengatakan bahwa aku ada disini. 
Pria dari kejauhan itu tersenyum dan berjalan ke arahku. Seperti biasanya akupun tersenyum untuk mengatakan aku baik-baik saja. Aku mencoba menyapanya dan diapun membalas sapaanku. Karena yang aku tau dia memang pria yang ramah. Tidak lama kemudian diapun ikut duduk di lobi. Namun bukan disampingku, melainkan disamping gadis yang sedari tadi tanpa aku sadari duduk tidak jauh dari tempatku.  Gadis itu berkulit putih, cantik, manis, dan berpenampilan meyakinkan sebagai seorang mahasiswa. Tanpa ada seorangpun yang menyadari, wajahkupun mulai berubah. Aku tidak sedang menangis, aku juga tidak sedang bersedih. Aku hanya merasa sendiri sekarang.
***
Aku terbangunkan oleh dering jam weker merah berbentuk hati di meja belajarku.  Hari ini cuaca cerah dan aku punya aktivitas. Aku harus bersikap professional dalam mengatur perasaanku. Aku senang dengan prinsip itu sekarang. Prinsip yang mengatakan “hal yang paling riskan bagi mahasiswa semester akhir adalah  masih memikirkan perasaan hati” bagiku hal paling riskan itu bukan hanya untuk semerter akhir, namun selama aku kuliah. Dan prinsip itulah yang membuatku benar-benar merasa sendiri hingga sekarang. Aku tau bahwa bukan hanya aku yang merasakan kecewa dalam posisi ini. Meskipun aku tau bahwa mungkin akulah yang paling menyedihkan.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghempaskanya. Kembali ku lihat meja belajarku yang berjajar buku-buku pegangan. Aku turun dari tempat tidur dan menghampirinya, segera aku tutup bingkai foto kosong yang sengaja aku pajang disana. Bila aku fikirkan lagi, aku terlalu boros dengan membeli bingkai foto tanpa pernah aku isi dengan foto seseorang termasuk fotoku sendiri. Ada sebuah harapan disana, ada sebuah mimpi dalam bingkai kosong merah muda itu. Namun mimpi dan harapan itu harus rela sirna setelah jam weker yang berdering membuat mataku terbuka.
Siang ini dikampus aku melihatnya, entah mengapa rasanya masih tetap suka melihat wajah pria itu, masih suka melihat dia tersenyum manis didepanku, dan masih suka melihat tingkah konyolnya yang selalu membuatku tertawa. Seakan tiba-tiba rasa sakit kemarin hilang dalam sekejap dan berganti harapan besar yang selalu kembali. Apakah ini benar-benar yang disebut dengan cinta? Ah, sepertinya aku hanya suka padanya dan aku sangat menolak perasaan ini untuk tetap berada dalam hatiku.
Seperti biasanya, setelah pria itu selesai menemui kekasihnya, diapun segera menemuiku. Syukurlah kekasihnya sangat mengerti bagaimana hubungan kami berjalan. Aku dan Rio kembali duduk bersama di lobi kampus. Aku sangat ingin menanyakan pertanyaan yang sedari kemarin menggangguku. Namun itu tidak mungkin aku tanyakan, karena yang semua orang tau, Rio dan Dimas adalah sahabat dekat. Tidak lama kemudian Dimas bergabung bersama kami, rasanya seakan  bercampur saat itu. Aku hanya harus bersikap sewajarnya dan biasa saja seakan tidak ada yang terjadi dalam hatiku. Dua gadis manis bertubuh mungilpun tiba-tiba datang dari arah belakangku, membuat aku harus mengerti bahwa aku harus segera menyingkir.”sendy, tunggu diruang rapat ya” ucap Rio sebelum aku pergi meninggalkan mereka berempat. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
***
aku memasuki ruang kosong yang hanya berjejer sebuah bangku. Karena belum ada seorangpun disana, akupun menghampiri bangku paling pojok belakang.  Mungkin sekitar 10 menit mereka semua mulai hadir dan mengisi penuh bangku diruang itu, wanita yang bisa disebut teman dekatkupun duduk disebelahku. Keadaan ini berjalan cukup lama dan tanpa perkembangan apapun. Karena aku tak pernah mencoba mengembangkan apa yang sebenarnya aku harapakan dan ingin aku capai. Semua berjalan sebagaimana mestinya tanpa campur tanganku.  Aku hanya ingin tetap diam dan berharap semua perasaan ini secepatnya hilang.
Tiba-tiba saja semester 4 sudah aku hadapi sekarang. Sebenarnya bukan tiba-tiba, tapi karna aku yang tidak merasakan apa-apa kecuali hanya fokus pada pembelajaranku. Aku benar-benar merasa hampa, bahkan aku saja tak yakin bahwa aku masih dapat merasakan bagaimana sebenarnya cara menyukai dan menyayangi juga disayangi oleh seseorang. Dua tahun semua berjalan sesuai dengan diamku. Aku hanya memandang dan tersenyum lalu meneteskan air mata. Setengah semester aku menghilang dari kediaman mereka. Aku tak tau apa yang terjadi pada mereka semua, bahkan aku tidak ingin tau sedikitpun. Berjalan di anjungan kampus sendirian dengan senyum yang semakin terlihat ikhlas seiring berjalannya waktu, seseorang dari belakangku mengusap kepalaku dan tertawa sambil mengucapkan selamat pagi. “selamat pagi” jawabku singkat dengan mengiringi tawanya. Entah aku merasakan hal yang berbeda setelah setengah semerter ini. Yang sempat aku dengar, hubungan mereka tidak berjalan lama. Sebenarnya aku tidak begitu senang mendengar kabar itu, karna aku sangat yakin, meskipun mereka sudah tidak lagi bersama, aku dan dia masih akan tetap seperti dulu. Karna kami sudah memiliki hubungan lain yang mungkin lebih istimewa yakni sebagai teman dekat.
Aku terdiam di depan tangga sampai seseorang menegurku untuk meminta jalan, akupun segera menaiki tangga sampai di lab computer. Yah, lamaranku menjadi asisten dosen TI yang aku kirimkan semerter 3 lalu ternyata diterima.  Diruang itu aku melihat wanita yang dulu sangat aku cemburui saat dia bergandengan dengan Dimas. Dia ada didepanku dan tersenyum, aku benar-benar tak ingin mengingat itu lagi setelah semuanya seakan tidak member keadilan padaku.  Singkat saja, hubungan kami kembali seperti semula. Benar-benar seperti semula. Sampai akhirnya ujian skripsi menanti kami. Kesibukan kami waktu itu masih tetap memberikan ruang untuk kami bertiga bercanda, sampai waktunya kami semua lulus bersama-sama dan mendaftar wisuda April mendatang.
***
Kriiiing, lagi-lagi jam weker setiaku selama 4 tahun membangunkanku dengan senyum ceria, hari ini hari kami diwisuda, setelah aku merasa semua yang aku butuhkan siap termasuk kotak dengan bungkus kertas kado warna biru muda sudah ada didalam tasku, akupun menuruni tangga kamarku. Setidaknya aku mendapatkan apa yang benar-benar aku cari dalam hidupku meskipun selama ini aku harus mengorbankan perasaanku. Aku bahagia bersama kebahagiaan sempurna mereka. Tidak sedikit teman-teman kami yang saling memberikan kado, bingkisan, kenang-kenangan untuk teman dekat mereka. Dan mungkin termasuk aku. Hanya saja aku tak tau harus berkata apa saat memberikanya.
Masih kebiasaan lama, aku duduk di lobi kampus sendiri. Membawa kotak biru yang sedari tadi hanya aku pegang. “Sendy, masih kaya gitu?” terdengar seorang pria berkata dengan tertawa, lebih tepatnya mengejekku karna aku masih tetap duduk sendiri menunggu Rio dan kekasihnya dan Dimas yang tak pernah melihatku. Dimas mendekatiku dengan senyum indah yang selalu membuatku tenang selama ini. “Sen, kamu beneran bakal ke jawa barat habis ini?”. “ya dim, kenapa?”
“ya gak kenapa-kenapa, cuman ya kita bakal gak ketemu lama kan, kita gak bakalan kumpul lagi kaya dulu, ya kan?”
Aku hanya tersenyum dan menunduk. “itu apa sen? Buat siapa? Ciyeee, sendy mau ngasih siapa?”
“ini buat kamu” entah seperti bukan aku yang mengaatakan tadi, kata-kata itu seakan keluar dari bibirku dengan sendirinya membuat pria itu terkejut dan terdiam.
“makasih, tapi aku gak ngasih apa-apa sama kamu”
“gak apa-apa kok” aku hanya bisa tersenyum waktu itu menahan rasa maluku atas apa yangsudah aku lakukan.
***
aku sudah memulainya sejak dua minggu yang lalu. tepat seminggu setelah hari dimana kami diwisuda, aku melanjutkan kehidupanku di kampung halaman ayah. Malam itu, akupun menghempaskan tubuhku diatas kasur empukku. Layar desktop itu masih tetap sama, gambar kami berlima dan sangat menyedihkan saat aku berada ditengah mereka dengan senyum palsu menutup segala lukaku. Melihat pintu kamarku yang terbuka, ibuku menghampiri dengan sebuah kado merah ditanganya. “sendy, tadi ada kiriman buat kamu”. “ya bu, makasih”. Wanita separuh baya itupun segera pergi setelah yakin bahwa barang itu sampai ditanganku. Aku menghembuskan nafas panjang dan membukanya. Ingin rasanya air mataku menetes melihat apa yang ada didalamnya. Bersama larutnya malam, aku terlelap dengan senyum mengembang dibibirku.
Aku terbangunkan oleh kokok ayam dan cahaya fajar yang menembus jendela kamarku. Aku lihat jam weker diatas meja belajarku. Disana tetap berderet barisan buku-buku kuliahku, dan yang membuatku tersenyum pagi itu adalah bingkai foto merah muda berisikan fotonya. Yah, dia mengirimkan bingkai foto itu lagi padaku dan tidak hanya itu, dia juga mengisinya dengan fotonya. Aku bahagia karna diamku selama ini akhirnya membuatku tersenyum dalam akhir penantian. Apa yang aku yakini selama ini tidak sepenuhnya benar. Aku bahagia dia menyayangiku seperti aku menyayanginya.
Terimakasih kamu -_-

 the end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar